Selasa, 17 Februari 2015

SOSIOLOGI ANTROLPOLOGI



2.1  Wujud Kebudayaan
2.1.1   Pengertian Wujud Kebudayaan
Wujud merupakan sesuatu yang dapat dilihat. Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sangsakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.
Koentjaraningrat juga menerangkan bahwa pada dasarnya banyak sarjana yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Namun, pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan, tidak ada perbedaan dari definsi.
Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut Koentjaraningrat  merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”
Kebudayaan merupakan sebuah fungsi transmisi, maksudnya adalah dalam kebudayaan terjadi proses peralihan/perubahan daKebudayaan=cultuur (bahasa belanda)=culture (bahasa inggris)=tsaqafah (bahasa arab), berasal dari perkataan latin : “colere” yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu diartikan sama (Koentjaraningrat, 1980:195). Namun dalam IBD dibedakan antara budaya dan kebudayaan, karena IBD berbicara tentang dunia idea tau nilai, bukan hasil fisiknya. Secara sederhana pengertian kebudayaan dan budaya dalam IBD mengacu pada pengertian sebagai berikut :
a.         Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan  dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
b.          Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut dengan istilah budaya atau sering disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan.
Kebudayaan ataupun yang disebut peradaban, mengandung pengertian luas, meliputi pemahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat-istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat (Taylor, 1897:19).
Kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh symbol-simbol yang menyusun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan benda-benda materi, pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai. Ketentuan-ketentuan ahli kebudayaan itu sudah bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat umum meskipun dalam praktek, arti kebudayaan menurut pendapat umum ialah suatu yang berharga atau baik (Bakker, 1984:21).
1.     Ki Hajar Dewantara
 Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.


2.         Koentjaraningrat
Mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya
manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.
3.         A.L. Kroeber dan C.Kluckhohn (1952:34)
Dalam bukunyan Culture, a critical review of concepts and definitions mengatakan bahwa kebudayaan adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya.
4.           Malinowski
Malinowski menyebutkan bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai system kebutuhan manusia. Tiap tingkat kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Misalnya, guna memenuhi kebutuhan manusia akan keselamatannya maka timbul kebudayaan yang berupa perlindungan, yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu, seperti lembaga kemasyarakatan.
5.         E.B Taylor (1873:30)
Dalam bukunya Primitive Culture kebudayaan adalah suatu satu kesatuan atau jalinan kompleks, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, susila, hokum, adat-istiadat dan kesanggupan-kesanggupan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
Wujud kebudayaan merupakan bentuk yang dihasilkan oleh pemikiran kebudayaan. Adapun wujud kebudayaan menurut J.J. Hoenigman, ada tiga wujud kebudayaan, yakni:
a.         Gagasan
Yaitu wujud kebudayaan yang berupa gagasan, ide, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba, disentuh dan bukan barang yang nyata. Jika gagasan ini dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan tersebut berada dalam karangan-karangan atau tulisan-tulisan. Misalnya: kitab kuno, prasati dan lain sebagainya.

b.         Aktivitas
Yaitu tindakan atau aktivitas manusia yang berasal dari pemikiran kebudayaan. Wujud kedua ini sering disebut dengan sistem sosial, terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang sering berinteraksi. Sifatnya nyata, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, dapat diamati dan didokumentasikan. Misalnya: sistem adat, sitem kemasyarakatan dan lain sebagainya.
c.         Artefak
Yaitu wujud fisik berupa hasil aktivitas atau karya manusia dalam masyarakat yang berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, didokumentasikan serta sifatnya wujud konkret. Misalnya: Patung, bangunan dan lain sebagainya.
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora, yaitu :
1)        Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
2)        Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
3)        Lembaga sosial
Lembaga sosial dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem sosial yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan sosial masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier.
4)        Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi.
5)        Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
6)        Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Hasil buah budi (budaya) manusia itu dapat kita bagi menjadi 2 macam :
a.    Kebudayaan material (lahir), yaitu kebudayaan yang berwujud kebendaan,    misalnya : rumah, gedung, alat-alat senjata, mesin-mesin, pakaian dan sebagainya.
b.    Kebudayaan immaterial (spiritual=batin), yaitu : kebudayaan, adat istiadat, bahasa, ilmu pengetahuan dan sebagainya.

2.2  Unsur Kebudayaan
2.2.1   Pengertian Unsur Kebudayaan
Mengenai unsur kebudayaan, dalam bukunya pengantar Ilmu Antropologi, Koenjtaraningrat, mengambil sari dari berbagai kerangka yang disusun para sarjana Antropologi, mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yang kemudian disebut unsur-unsur kebudayaan universal.
2.2.2   Pembagian Unsur-Unsur Kebudayaan
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
a)         Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
1.    alat-alat teknologi.
2.    sistem ekonomi.
3.    Keluarga.
4.    kekuasaan politik
b)        Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
1.    sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota   masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya.
2.    organisasi ekonomi.
3.    alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama).
4.    Organisasi kekuatan (politik).
Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Dengan adanya unsur tersebut, kebudayaan disini lebih mengandung makna totalitas daripada sekedar penjumlahan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Menurut Kluckhohn ada tujuh unsure dalam kebudayaan universal, yaitu :
1.      Sistem religi dan upacara keagamaan (Berkenaan dengan agama dan
kepercayaan yang dianut dalam suatu masyarakat.) merupakan produk manusia sebagai homo religious. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang Mahabesar yang dapat “menghitam-putihkan” kehidupannya. Oleh karena itu, manusia takut sehingga menyembah-Nya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Untuk membujuk kekuatan besar tersebut agar mau menuruti kamauan manusia, dilakukan usaha yang diwujudkan dalam system religi dan upacara keagamaan.
2.      Sistem organisasi  kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan), merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah. Namun, dengan akalnya manusia membentuk kekuatan dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
3.      Sistem pengetahuan (Meliputi teknologi dan kepandaian dalam hal tertentu) merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, disamping itu dapat juga dari pemikiran orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat apa yang telah diketahui, kemudian menyampaikannya kepada orang lain melalui bahasa menyebabkan pengetahuan ini menyebar luas.
4.      Sistem mata pencaharian hidup, yang merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.
5.      Sistem teknologi dan peralatan, merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya daripada binatang.
6.      Bahasa, merupakan produk dari manusia sebagai homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda (kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan, dan akhirnya menjadi bahasa tulisan.
7.      Kesenian, merupakan hasil dari manusia sebagai homo esteticus. Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya maka manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya.
Perlu dimengerti bahwa unsur-unsur kebudayaan yang membentuk struktur kebudayaan itu tidak berdiri lepas dengan lainnya. Kebudayaan bukan hanya sekedar merupakan jumlah dari unsur-unsurnya saja, melainkan merupakan keseluruhan dari unsur-unsur tersebut yang saling berkaitan erat (integrasi), yang membentuk kesatuan yang harmonis. Masing-masing unsur saling mempengaruhi secara timbale-balik. Apabila terjadi perubahan pada salah satu unsur, maka akan menimbulkan perubahan pada unsur  yang lain pula.

2.3  Relasi Wujud dan Unsur Kebudayaan dengan Pendidikan
Dalam hal ini, penulis dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antara wujud dan unsur kebudayaan dengan pendidikan adalah bahwasanya dengan mempelajari wujud dan unsur kebudayaan dapat menambah pengetahuan mengenai bentuk-bbentuk unsur dan kebudayaan yang ada di dunia.
Di samping itu, dengan adanya wuju kebudayaan yang meliputi benda-benda yang dapat dilihat dan dirasakan maka dapat menambah pengetahuan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia pada zaman dahulu dan berupaya menciptakan kebudayaan yang baru di masa yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA

Soerjono Soekanto, (2007), Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, tanggal 26 Oktober 2013.

 

Minggu, 15 Februari 2015

KONFLIK POLITIK



2.1  Definisi Konflik Politik
Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua persfektif atau pendekatan yang saling bertentangan untuk memandang masyarakat. Kedua perspektif tersebut adalah perspektif konflik (pendekatan structural konflik) dan perspektif konsesus (pendekatan structural-fungsional). Perspektif konflik menyakatakan bahwa masyarakat selalu berada pada ruang konflik yang terjadi secara terus-menerus, baik pada tingkat dan skala kecil maupun skala besar dalam setiap masyarakat. Pandangan perspektif konflik ini dilandaskan pada sebuah asumsi utama, yakni :
1.         Masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan dominan. Kekuatan dominan ini dapat berupa pemodal (orang yang memiliki kekuasaan dibidang ekonomi) atau negara (penguasa).
2.         Masyarakat mencakup berbagai bagian yang memiliki kepentingan berbeda dan saling bertentangan. Karena itu, masyarakat selalu dalam keadaan konflik.[1]
Perspektif konflik ini sangat berseberangan dengan perfektif fungsional. Pendekatan fungsional ini berasumsi bahwa masyarakat mencakup bagian-bagian yang berbeda fungsi, tetapi saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Selain itu, masyarakat terintegrasi atas dasar suatu nilai yang disepakati bersama sehingga masayarakat selalu dalam keadaan seimbang dan harmonis.
Kritik perspektif konflik terhadap pandangan fungsionalis adalah bahwa nilai-nilai bersama yang diyakini telah menjadi kesepakatan antar masyarakat, bukanlah suatu nilai yang diciptakan bersama, melainkan terlebih dahulu diciptakan oleh kekuatan yang dominan. Nilai-nilai tersebut bukanlah suatu konsesus yang nyata, tetapi tak lebih dan rekayasa kekuatan dominan yang dipaksakan kepada masyarakat.
Dahrendorf (Johnson, 193) meringkas asumsi teori fungsionalis (atau konsesus atau integritas) yang bertentangan dengan teori konflik menurutnya, teori fungsional menyatakan bahwa :
1.         Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap dan stabil.
2.         Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang terintegritas dengan baik.[2]
3.         Setiap elemen dalam suatu masyarakat memiliki fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya mayarakat itu sebagai suatu sistem.
4.         Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsesus nilai diantara para anggotanya.
Sementara teori konflik menurut Dahrendorf adalah :
1.         Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial ada dimana-mana.
2.         Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, konflik sosial ada dimana-mana.
3.         Setiap elemen pada setiap masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan, dan
4.         Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Berangkat dari persfektif dan asumsi konflik politik diatas, tampaknya pertentangan dan perbedaan menjadi kunci dalam mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan konflik politik. Hal ini misalnya tergambar dari beberapa definisi tentang konflik itu sendiri yang dikemukakan oleh para sarjana.[3]
1.         Konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama (Achmad Fedyani Syarifudin: 1986:7)
2.         Konflik adalah suatu gejala yang wajar terjadi dalam setiap masyarakat yang selalu mengalami perubahan sosial dan kebudayaan (Lewis S. Cosen, dalam Syarifudin, 1986).
3.         Konflik politik adalah percekcokan, pertentangan, perselisihan dan ketegangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995).
Dari titik ini, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah “gejala pertentangan dalam masyarakat yang berkenaan dengan mata rantai kekuasaan dan Negara”.[4]

2.2    Bentuk dan Penyebab Konflik Politik
1.      Bentuk konflik Politik
Konflik dalam masyarakat dibedakan menjadi macam-macam bentuk konflik. Diantaranya:
a.       Konflik Pribadi atau Individu
Konflik ini terjadi antara orang per orang. Masalah yang melandasi konflik pribadi atau individu ini adalah masalah pribadi. Konflik ini bisa terjadi jika sejak awal diantara mereka sudah tidak ada rasa simpati dan tidak saling menyukai. Namun bisa juga terjadi pada orang yang sudah lama saling kenal dan menjalin hubungan baik. Dalam perjalanan persahabatan itu terjadi konflik yang tidak bisa disatukan.
b.      Konflik Rasial
Konflik Rasial adalah pertentangan kelompok ras yang berbeda karena kepentingan dan kebudayaan yang saling bertabrakan. Konflik Rasial umumnya terjadi karena salah satu ras merasa sebagai golongan yang paling unggul dan paling sempurna di antara ras lainnya.
c.       Konflik Politik
Masalah politik sering mengakibatkan terjadinya konflik diantara masyarakat. Konflik politik merupakan konflik yang menyangkut golongan-golongan dalam masyarakat maupun diantara negara-negara yang berdaulat.
d.      Konflik Antarkelas Sosial
Konflik antarkelas sosial merupakan pertentangan antara dua kelas sosial. Konflik itu terjadi umumnya dipicu oleh perbedaan kepentingan antara kedua golongan tersebut.
e.       Konflik Internasional
Konflik internasional, yaitu pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok Negara (blok), karena perbedaan kepentingan. Banyak kasus terjadinya konflik internasional sebenarnya bermula dari konflik dua negara karena masalah politik dan ekonomi. Konflik berkembang menjadi konflik internasional karena masing-masing pihak mencari kawan atau sekutu yang memiliki kesamaan visi atau tujuan terhadap masalah yang dipertentangkan.
f.       Konflik Antar Kelompok
Konflik antar kelompok terjadi karena persaingan dalam mendapatkan mata pencaharian hidup yang sama atau karena pemaksaan unsur-unsur budaya asing. Selain itu, karena ada pemaksaan agama, dominasi politik, atau adanya konflik tradisional yang terpendam.
g.      Konflik Antar Generasi
Konflik antar generasi adalah konflik yang terjadi karena adanya mobilitas sosial yang menyebabkan pergeseran hubungan antara generasi satu dengan generasi lain. Dengan demikian, terjadilah suatu permasalahan, yang satu ingin mempertahankan nilai yang sama, sedangkan yang lain ingin mengubahnya.
h.      Konflik Antar Penganut Agama
Dengan dijiwai toleransi dan saling menghormati, kehidupan beragama di Indonesia dapat dikatakan rukun. Meskipun demikian, dalam hubungan antar penganut agama, mungkin saja timbul kesalahpahaman karena sikap prasangka negative dari penganut agama yang satu terhadap yang lain.[5]



2.      Penyebab Konflik Politik
Simon Fisher, dkk. (2000), dalam bukunya Working With Conflik: Skill dan Strategis For Action (diterjemahkan S.N. Kartikasari, dkk., “ mengelola konflik ketampilaan dan strategi untuk bertindak), menjelaskan tentang berbagai teori penyebab terjadinya konflik :
1.    Teori hubungan mayarakat
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya polarisasi yang terus terjadi dalam masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda.
  Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
a.    Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antar kelompok yang mengalami konflik.
b.    Mengusahakan toleransi agar masyarakat bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
2.         Teori negoisasi prinsip
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak-pihak yang mengalami konflik.[6]


Sasaran yang hendak dicapai dalam teori negoisasi prinsip ini adalah:
a.    Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu,dan mendorong pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang berkonflik untuk melakukan negoisasi yang dilandasi kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
b.    Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak atau semua pihak (win-win solution for all).
3.         Teori kebutuhan manusia
Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau sengaja dihambat oleh pihak lain. Kebutuhan dasar manusia biasanya menyangkut tiga hal, yakni kebutuhan fisik, mental, dan sosial.
Sasaran yang dicapai teori ini adalah :
a.    Membantu pihak-pihak yang sedang berkonflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan secara bersama-sama mengenai kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi sehingga memperoleh pilihan-pilihan (alterantif-alternatif) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.[7]
b.    Membantu agar pihak-pihak yang mengalami konflik dapat meraih kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
4.         Teori identitas
Teori ini berasumsi bahwa konflik terjadi akibat adanya identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masalalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
a.    Melalui fasilitas komunikasi dan dialog antar pihak yang mengalami konflik. Mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun mepati dan rekonsiliasi diantara mereka (pihak-pihak yang berkonflik).
b.    Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.[8]
5.         Teori kesalahpahaman antarbudaya
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan adanya ketidakcocokan dalam cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
a.    Menambah pengetahuan bagi pihak-pihak yang mengalami konflik.
b.    Mengurangi stereotip negative yang mereka miliki tentang pihak atau kelompok lain.
c.    Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
6.         Teori Transformasi Konflik
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah social, budaya, dan ekonomi.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
a.    Mengubah beberapa struktur yang dapat menimbulkan terjadinya ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kesenjangan ekonomi.
b.    Meningkatkan ikatan hubungan sikap jangka panjang di antarpihak atau antarkelompok yang mengalami konflik.
c.    Mengembangkan berbagai proses dan system untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan , perdamaian, rekonsiliasi, dan legitimasi atau pengakuan.[9]

2.3    Resolusi Konflik
1.    Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine adalah :
a.         Tindakan mengurai suatu permasalahan
b.         Pemecahan
c.         Penghapusan atau penghilangan permasalahan
Sedangkan Weitzman dalam Morton and Coleman, mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together). Lain halnya dengan Simon Fisher, dkk, yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.[10]

2.      Resolusi Konflik model John Davies
John Davies, seorang ilmuwan University of Marylands Center For internasional development dan Conflik, Management, seperti dikutip Ahmad Doli Kurnia (2005:35-36), membedakan 3 pendekatan dalam pengelolaan konflik.
a.         Pendekatan berdasarkan kekuasaan (power-based approach), menggunakan kekuatan kekuasaan untuk memecahkan semua jenis konflik. Seandainya sifat pemerintahan adalah otoriter (autborian), pemecahan konflik tampak pada tingkat permukaan (surface), tidak sampai pada tingkat akar penyebab konflik.[11]
b.         Pendekatan berdasarkan hukum (right-based approach). Pendeketan ini biasanya lebih menggunakan hukum, adat, norma dan system hukum sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dimasyarakat. Akan tetapi, struktur politik di Indonesia memungkinkan untuk melakukan subordinasi penegak hukum pada kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan sehingga hukum hanya dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan.
c.         Pendekatan berdasarkan kepentingan (interst-based approach). Pendekatan ini berupa untuk membangun pemecahan yang mencerminkan nilai, kebutuhan dan kepentingan yang terpendam dalam hati pihak yang bertentangan.[12]

3.      Resolusi konflik model Ted Robert Gu
Ted Robert Gur dalam “ A Risk Asassement of ethnopolitical Robellion” di Measurs, yang dikutip Ahmad Doli Jurnia (2005:37), mengungkapkan bahwa dari jumlah penduduk sebanyak 1 miliyar atau 17,7 % penduduk bumi (pada tahun 1995), ada 268 kelompok penduduk minoritas yang politis dan hidup di 112 negara.[13]
Ironisnya, sebagian besar kelompok minoritas yang memiliki potensi untuk berkonflik terkonsentrasi dikawasan Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Beberapa kelompok yang hidup diwilayah-wilayah tersebut menderita gangguan terjadinya perang sipil yang cukup besar, dan 40% dari 68 pemberontakan etnopolitik yang aktif didunia selama 1945-1995 terdapat dikawasan antara afganistan dan Filipina.
Ted Robert Gur mengidentifikasi enam kelompok minoritas Asia yang memiliki resiko ethnorabellion yang tinggi, yakni: Timor-Timur, Hindu, Pakistan, Lhotshampas (Bhutan), Zomis (Burma atau Myanmar), Turkem (Republik Rakyat Cina), dan Papua (Irian Jaya). Sikap pemberontakan etnopolitik ditimbulkan oleh:
a.         Adanya perasaan tidak adil atas penyesalan yang dilakukan kelompok berwenang.
b.         Adanya pengalaman represi dari kelompok dominan terhadap kelompok lain sehingga menimbulkan rasa dendam dan benci (commo n grievances) dikalangan kelompok yang direpresif.
c.         Hilangnya kebebasan dan otonomi yang pernah dimiliki oleh suatu kelompok.
d.        Adanya diskriminasi aktif, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya, dianggap dapat mengancam status kelompok.
e.         Adanya organisasi-organisasi militant yang bisa menggalang mobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan.[14]


Model asassement risiko dimaksudkan untuk mengungkap potensi dan kemungkinan terjadinya letupan pemberontakan, bukan dimaksudkan untuk meramal atau meprediksi. Dengan modal asassement risiko ini, dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mesti dilihat dan dimonitor sehingga bisa dikelola secara lebih baik.[15]

4.      Kemampuan Resolusi Konflik
Bodine and Crawford dalam Jones dan Kmitta, merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya:
a.       Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.
b.      Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.


c.       Kemampuan emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif lainnya.
d.      Kemampuan komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain, memahami lawan bicara, berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami, dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang emosional.
e.       Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
f.       Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.

Tidak jauh berbeda, Scannell juga menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi:

a) keterampilan berkomunikasi,
b) kemampuan menghargai perbedaan,
c) kepercayaan terhadap sesama, dan
d) kecerdasan emosi.

Dari pemaparan ahli tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa dalam proses resolusi konflik diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif. Kemampuan tersebut di antaranya yaitu kemampuan orientasi, kemampuan persepsi atau menghargai perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir kreatif, dan kemampuan berfikir kritis.[16]

5.      Pelaksanaan Resolusi Konflik
Di dalam suatu kelompok, konflik adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Ketika anggota kelompok menyatakan masalah mereka dan mencari solusinya, konflik menjadi sumberdaya yang berharga dibandingkan sebuah masalah yang harus diselesaikan. Sebagaimana pengertian di atas, resolusi konflik artinya adalah suatu metode dan proses terkonsep yang digunakan untuk membantu menyelesaikan konflik dengan damai.
Menurut Forsyth, ada beberapa metode untuk melakukan pelaksanaan resolusi konflik, sehingga dapat mengubah anggota kelompok yang berselisih menjadi sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Commitment => Negotiation
Konflik dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok merasa yakin dengan posisinya dan tidak ada keinginan untuk mengalah satu sama lain,  namun konflik dapat diredakan ketika anggota kelompok memutuskan untuk bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan yang  dapat menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan.
Negosiasi terkadang lebih dari sekedar tawar-menawar atau saling berkompromi. Seperti negosiasi distributif, kedua belah pihak menyembunyikan orientasi kompetitif mereka dan secara bergantian sampai salah satu pihak mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari pihak yang lainnya. Di lain pihak, seperti yang ditulis oleh Roger Fisher and William Ury, negosiasi integratif bertujuan untuk bekerjasama dengan anggota kelompok untuk meningkatkan kinerja kooperatif dan hasil yang integratif yang menguntungkan kedua belah pihak. Fisher dan Ury juga menyarankan anggota kelompok untuk membuat sesi penyelesaian masalah dan bekerja sama untuk menemukan solusi.
2.      Misperception => Understanding
Konflik seringkali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-orang  sering menganggap bahwa orang lain ingin berkompetisi dengan mereka namun pada kenyataannya orang lain tersebut hanya ingin bekerjasama dengan mereka. Mereka mengira ketika orang lain mengkritik ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang mengkritik mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain tersebut adalah untuk menguntungkan pihak mereka.
Anggota kelompok harus menghilangkan pola fikir seperti itu dengan cara berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi. Komunikasi tidak cukup untuk menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman serta tipu muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota kelompok untuk saling percaya, namun itu juga dapat menjadi “boomerang” bagi kelompok dengan adanya “curahan hati” dari anggota kelompok yang menunjukkan kebencian maupun ketidaksukaan pada anggota lain.[17]

3.      Strong Tactics => Cooperative Tactics
Ada berbagai cara anggota kelompok untuk mengatasi konflik mereka. Beberapa dari mereka hanya melihat kepada masalah mereka dan berharap masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Beberapa anggota lainnya mendiskusikan masalah mereka, terkadang dengan tenang dan rasional, namun terkadang dengan marah dan keras. Yang lainnya mencari pihak yang netral untuk menjadi moderator dalam konflik tersebut. Dan mirisnya, ada anggota yang menggunakan kekerasan fisik. Taktik yang digunakan untuk menyelesaikan konflik pada dasarnya ada 4 (empat) kategori yaitu:
a.       Avoiding
Pada dasarnya taktik ini adalah usaha untuk menghindari konflik tersebut dan berharap konflik itu akan hilang dengan sendirinya. Orang-orang yang mengadopsi taktik ini biasanya menghindari meeting, mengubah bahan pembicaraan ataupun keluar dari kelompok tersebut.
b.       Yielding
Anggota kelompok dalam menyelesaikan masalah yang besar maupun kecil dengan menyerahkan keputusan kepada orang lain. Setelah melalui proses diskusi dan negosiasi, anggota kelompok merasa gagasan mereka salah dan akhirnya menyetujui gagasan anggota kelompok lainnya. Yielding biasa terjadi akibat pola fikir anggota yang berubah dan setuju dengan pendapat lainnya ataupun tekanan yang ada di dalam diri mereka.
c.       Fighting
Pada sejumlah orang, mereka ingin menyelesaikan konflik dengan memaksa anggota lainnya untuk menerima pandangan mereka. Mereka melihat konflik sebagai situasi menang-kalah dan menggunakan taktik yang kompetitif dan kuat untuk mengintimidasi anggota yang lain.
d.      Cooperating
Anggota yang mengandalkan kerjasama dalam mengatasi konflik cenderung mencari solusi yang dapat diterima semua pihak. Mereka tidak memaksakan kehendak dan kompetitif. Alih-alih mereka menunjukkan akar dari permasalahan dan mencari solusi yang tepat untuk masalah mereka. Orientasi ini disebut sebagai win-win solution karena mengganggap hasil yang menyangkut orang lain merupakan hasil mereka juga.
Metode avoiding dan fighting dianggap metode yang negatif karena berpotensi melahirkan konflik yang baru dan membiarkan konflik yang ada sehingga tidak terselesaikan. Di lain pihak metode yielding dan cooperating merupakan metode yang baik dan menghasilkan solusi yang dapat diterima semua pihak. Sedangkan metode fighting dan cooperating merupakan metode yang aktif karena adanya usaha nyata untuk menyelesaikan konflik sedangkan metode avoiding dan yielding merupakan metode yang pasif.
4.      Upward => Downward Conflict Spirals
Kerjasama yang konsisten diantara orang untuk jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi ketika anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling percaya akan menjadi lebih sukar dipahami. Ketika seseorang tidak dapat mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing untuk mempertahankan hal yang menguntungkan dirinya atau hal yang dapat menghilangkan persaingan adalah tit-for-tat atau TFT. Tit-for-tat adalah strategi tawar menawar yang berawal dari kerjasama, tapi kemudian meniru pilihan yang dibuat orang lain. Dengan kata lain, orang akan bersaing jika orang lain bersaing dan orang akan bekerjasama jika orang lain bekerjasama.
5.       Many => One
Individu yang tidak terlibat dalam masalah tidak seharusnya memihak salah satu pihak melainkan harus menjadi mediator dalam konflik tersebut. Pihak ketiga (netral) dapat membantu meredakan konflik dengan cara:
a.    Meredakan frustasi dan kebencian dengan memberi kedua belah pihak sebuah kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka.
b.    Jika komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk meluruskan masalah.
c.    Pihak ketiga dapat menyelamatkan “muka” dari yang berkonflik dengan membebankan kesalahan pada diri mereka sendiri.
d.   Pihak ketiga dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat diterima oleh kedua pihak.
e.    Pihak ketiga dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti lokasi, tempat duduk, formalitas komunikasi, batasan waktu, hadirin dan agenda.
f.     Pihak ketiga dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan proses penyelesaian masalah secara integratif.
Namun, jika pihak-pihak ingin menyelesaikan konflik dengan cara mereka sendiri, maka intervensi dari pihak ketiga akan dianggap sebagai gangguan yang tidak diinginkan.
Keefektifan pihak ketiga tergantung dari kekuatan mereka di dalam kelompok. Di dalam  prosedur inquisitorial, pihak ketiga akan memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak dan memutuskan hasil yang harus diterima semua pihak. Di dalam arbitration kedua belah pihak memberikan argumen-argumen kepada pihak ketiga yang akan membuat sebuah keputusan berdasarkan argumen yang diberikan. Di dalam moot  kedua pihak dan pihak ketiga berdiskusi, di situasi yang terbuka dan tidak formal tentang masalah dan solusi yang memungkinkan.
6.      Anger => Composure
Ketika keadaan “memanas”, anggota kelompok yang bertentangan harus mampu mengontrol emosi mereka. Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah dengan berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan humor atau lelucon di kelompok. Humor dapat memberikan emosi yang positif dan dapat meredam emosi yang negatif seperti amarah. Kelompok juga dapat melestarikan budaya seperti pelarangan penunjukan emosi negatif, salah satu contohnya adalah amarah.[18]

2.4    Pola Penyelesaian Konflik
Coser (1956:62) menyatakan bahwa semakin dekat suatu hubungan, semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan daripada mengungkapkan rasa permusuhan. Adapun pada hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relative bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubungan primer yang keterlibatan total para partisipan, membuat pengungkapan perasaan demikian sebagai bahaya bagi hubungan tersebut.
Yang menjadi paradoks ialah semakin dekat hubungan, semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi, semakin lama perasaan demikian ditekan, semakin penting pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam suatu hubungan yang intim, keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat. Dengan demikian, konflik itu keika benar-benar meledak mungkin sekali akan menjadi konflik yang sangat besar.
Dengan demikian, menurut proporsisi coser, bila segala sesuatu dianggap sama, konflik antara dua orang yang tidak saling kenal akan kurang tajam bila dibandingkan dengan konflik antara suami-istri. Dalam hubungan yang intim, orang dapat mencoba menekan rasa permusuhan demi menghindari konflik. Akan tetapi, tindakan itu sendiri dapat menyebabkan akumulasi permusuhan yang akan meledak bilamana konflik tersebut berkembang.
Bagaimanapun beratnya masalah ketika konflik meledak dalam hubungan yang intim itu, Coser menegaskan bahwa tidak ada konflik tidak bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan demikian. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda dari hubungan yang hidup, sedangkan tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak akan suasana yang benar-benar kacau.[19]
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
a.       Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
b.      Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
c.       Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
d.      Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemeapai kestabilan n Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
e.       Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
f.       Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a)      Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.
b)      Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
c)      Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.
d)     Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.
e)      Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
f)       Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.[20]

2.5    Integrasi Sosial
1.    Pengertian Integrasi Sosial
Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
a.    Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu.
b.    Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu.
Integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan.
Dalam KBBI di sebutkan bahwa integrasi adalah pembauan sesuatu yang tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Istilah pembauran tersebut mengandung arti masuk ke dalam, menyesuikan, menyatu, atau melebur sehingga menjadi satu.
Banton (dalam Sunarto, 2000 : 154) mendefinisikan integrasi sebagai suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut.
Menurut pandangan para penganut fungsionalisme structural, system social senantiasa terintegrasi di atas dua landasan berikut:
a.         Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya consensus di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental.
b.         Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan social (cross-cutting affiliations).
Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya.
Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok.[21]
2.      Syarat-Syarat Integrasi Sosial
Integrasi social akan terbentuk di masyarakat apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut memiliki kesepakatan tentang batas-batas territorial dari suatu wilayah atau negara tempat mereka tinggal.
Selain itu, sebagian besar masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang di bangun, termasuk nilai-nilai, norma-norma, dan lebih tinggi lagi adalah pranata-pranata sosial yang berlaku dalam masyarakatnya, guna mempertahankan keberadaan masyarakat tersebut. Selain itu, karakteristik yang di bentuk sekaligus manandai batas dan corak masyarakatnya.
Menurut William F. Ogburn da Mayer Nimkoff, syarat berhasilnya suatu integrasi sosial adalah:
a.         Anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti kebutuhan fisik berupa sandang dan pangan serta kebutuhan sosialnya dapat di penuhi oleh budayanya. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ini menyebabkan masyarakat perlu saling menjaga keterikatan antara satu dengan lainnya.
b.        Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (consensus) bersama mengenai norma-norma dan nilai-nilai sosial yang di lestarikan dan di jadikan pedoman dalam berinteraksi satu dengan yang lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang di larag menurut kebudayaannya.
c.         Norma-norma dan nilai social itu berlaku cukup lama dan di jalankan secara konsisten serta tidak mengalami perubahan sehingga dapat menjadi aturan baku dalam melangsungkan proses interaksi sosial.[22]
3.      Batas Interferensi dan Integrasi
Batas antara peristiwa interferensi dan integrasi adalah dimana peristiwa interferensi dipandang sebagai pengacau karena merusak system suatu bahasa, tetap disisi lain dipandang sebagai suatu mekanisme yang paling penting dan dominan untuk mengembangkan suatu bahasa yang masih perlu pengembangan
Oleh sebagian sosiolinguis, masalah integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa  integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.
Mackey dalam Mustakim (1994:13) mengungkapkan bahwa masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah orang yang lain menganggap belum.
Senada dengan itu, Weinrich (1970:11) mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur itu  semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian dari bahasa penerima.
Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus. Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi. Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya. Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu.
Jangka waktu  penyesuaian unsur integrasi tergantung pada tiga faktor antara lain :
1.        Perbedaan dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya.
2.        Unsur serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai pelengkap.
3.        Sikap bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.[23]




[1] A.A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik Konsep dan Dinamika Perkembangan, Cv. Pustaka Setia, Bandung, 2007, Hlm. 181

[2] Ibid, Hlm. 182
[3] Ibid, Hlm. 182
[4] Ibid, Hlm. 183
[5] http://hanzputara.blogspot.com/2012/12/makalah-konflik-dan-prosespolitik.html (diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.00 WIB)


[6] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 183
[7] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 184
[8] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 184
[9] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 185
[10] http://wahyuwijiutomo123.blogspot.com/2014/04/makalah-resolusi-konflik.html (diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.10 WIB)
[11] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 185
[12] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 186
[13] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 186
[14] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 186-187
[15] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 187
[16] http://wahyuwijiutomo123.blogspot.com/2014/04/makalah-resolusi-konflik.html (diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.10 WIB)

[17] http://wahyuwijiutomo123.blogspot.com/2014/04/makalah-resolusi-konflik.html (diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.10 WIB)

[18] http://wahyuwijiutomo123.blogspot.com/2014/04/makalah-resolusi-konflik.html (diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.10 WIB)

[19] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 187-188
[20] Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2004, Hlm. 50


[21] Ibid, Hlm. 52

(diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.05 WIB)

(diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.05 WIB)


DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku
Gatara, A.A. Said dan Said, Moh.Dzulkiah. Sosiologi Politik Konsep dan Dinamika Perkembangan. Bandung:Cv. Pustaka Setia. 2007.
Philipus, Ng dan Aini, Nurul. Sosiologi dan Politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004.

B.       Internet
(diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.00 WIB)
(diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.05 WIB)
(diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.10 WIB)