2.1 Definisi Konflik Politik
Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua persfektif atau
pendekatan yang saling bertentangan untuk memandang masyarakat. Kedua
perspektif tersebut adalah perspektif konflik (pendekatan structural konflik)
dan perspektif konsesus (pendekatan structural-fungsional). Perspektif konflik
menyakatakan bahwa masyarakat selalu berada pada ruang konflik yang terjadi
secara terus-menerus, baik pada tingkat dan skala kecil maupun skala besar
dalam setiap masyarakat. Pandangan perspektif konflik ini dilandaskan pada
sebuah asumsi utama, yakni :
1.
Masyarakat pada dasarnya tidak terlepas
dari kekuatan-kekuatan dominan. Kekuatan dominan ini dapat berupa pemodal
(orang yang memiliki kekuasaan dibidang ekonomi) atau negara (penguasa).
2.
Masyarakat mencakup berbagai bagian yang
memiliki kepentingan berbeda dan saling bertentangan. Karena itu, masyarakat
selalu dalam keadaan konflik.
Perspektif
konflik ini sangat berseberangan dengan perfektif fungsional. Pendekatan
fungsional ini berasumsi bahwa masyarakat mencakup bagian-bagian yang berbeda
fungsi, tetapi saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Selain itu,
masyarakat terintegrasi atas dasar suatu nilai yang disepakati bersama sehingga
masayarakat selalu dalam keadaan seimbang dan harmonis.
Kritik
perspektif konflik terhadap pandangan fungsionalis adalah bahwa nilai-nilai
bersama yang diyakini telah menjadi kesepakatan antar masyarakat, bukanlah
suatu nilai yang diciptakan bersama, melainkan terlebih dahulu diciptakan oleh
kekuatan yang dominan. Nilai-nilai tersebut bukanlah suatu konsesus yang nyata,
tetapi tak lebih dan rekayasa kekuatan dominan yang dipaksakan kepada masyarakat.
Dahrendorf
(Johnson, 193) meringkas asumsi teori fungsionalis (atau konsesus atau
integritas) yang bertentangan dengan teori konflik menurutnya, teori fungsional
menyatakan bahwa :
1.
Setiap masyarakat merupakan suatu
struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap dan stabil.
2.
Setiap masyarakat merupakan suatu
struktur elemen-elemen yang terintegritas dengan baik.
3.
Setiap elemen dalam suatu masyarakat
memiliki fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya mayarakat itu
sebagai suatu sistem.
4.
Setiap struktur sosial yang berfungsi
didasarkan pada suatu konsesus nilai diantara para anggotanya.
Sementara
teori konflik menurut Dahrendorf adalah :
1.
Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada
proses perubahan, perubahan sosial ada dimana-mana.
2.
Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan
perpecahan dan konflik, konflik sosial ada dimana-mana.
3.
Setiap elemen pada setiap masyarakat
menyumbang disintegrasi dan perubahan, dan
4.
Setiap masyarakat didasarkan pada
paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Berangkat
dari persfektif dan asumsi konflik politik diatas, tampaknya pertentangan dan
perbedaan menjadi kunci dalam mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan
konflik politik. Hal ini misalnya tergambar dari beberapa definisi tentang
konflik itu sendiri yang dikemukakan oleh para sarjana.
1.
Konflik didefinisikan sebagai
pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara individu-individu atau
kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama (Achmad Fedyani Syarifudin:
1986:7)
2.
Konflik adalah suatu gejala yang wajar
terjadi dalam setiap masyarakat yang selalu mengalami perubahan sosial dan
kebudayaan (Lewis S. Cosen, dalam Syarifudin, 1986).
3.
Konflik politik adalah percekcokan,
pertentangan, perselisihan dan ketegangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995).
Dari titik ini, dapat disimpulkan bahwa konflik
adalah “gejala pertentangan dalam masyarakat yang berkenaan dengan mata rantai
kekuasaan dan Negara”.
2.2
Bentuk
dan Penyebab Konflik Politik
1. Bentuk
konflik Politik
Konflik dalam masyarakat dibedakan menjadi macam-macam
bentuk konflik. Diantaranya:
a. Konflik Pribadi atau Individu
Konflik ini terjadi antara orang per orang. Masalah yang
melandasi konflik pribadi atau individu ini adalah masalah pribadi. Konflik ini
bisa terjadi jika sejak awal diantara mereka sudah tidak ada rasa simpati dan
tidak saling menyukai. Namun bisa juga terjadi pada orang yang sudah lama
saling kenal dan menjalin hubungan baik. Dalam perjalanan persahabatan itu
terjadi konflik yang tidak bisa disatukan.
b. Konflik Rasial
Konflik Rasial adalah pertentangan kelompok ras yang berbeda
karena kepentingan dan kebudayaan yang saling bertabrakan. Konflik Rasial
umumnya terjadi karena salah satu ras merasa sebagai golongan yang paling
unggul dan paling sempurna di antara ras lainnya.
c. Konflik Politik
Masalah politik sering mengakibatkan
terjadinya konflik diantara masyarakat. Konflik politik merupakan konflik yang
menyangkut golongan-golongan dalam masyarakat maupun diantara negara-negara
yang berdaulat.
d. Konflik Antarkelas Sosial
Konflik antarkelas sosial merupakan pertentangan antara dua
kelas sosial. Konflik itu terjadi umumnya dipicu oleh perbedaan kepentingan
antara kedua golongan tersebut.
e. Konflik Internasional
Konflik internasional, yaitu pertentangan yang melibatkan
beberapa kelompok Negara (blok), karena perbedaan kepentingan. Banyak kasus
terjadinya konflik internasional sebenarnya bermula dari konflik dua negara
karena masalah politik dan ekonomi. Konflik berkembang menjadi konflik
internasional karena masing-masing pihak mencari kawan atau sekutu yang memiliki
kesamaan visi atau tujuan terhadap masalah yang dipertentangkan.
f. Konflik Antar Kelompok
Konflik antar kelompok terjadi karena persaingan dalam
mendapatkan mata pencaharian hidup yang sama atau karena pemaksaan unsur-unsur
budaya asing. Selain itu, karena ada pemaksaan agama, dominasi politik, atau
adanya konflik tradisional yang terpendam.
g. Konflik Antar Generasi
Konflik antar generasi adalah konflik yang terjadi karena
adanya mobilitas sosial yang menyebabkan pergeseran hubungan antara generasi
satu dengan generasi lain. Dengan demikian, terjadilah suatu permasalahan, yang
satu ingin mempertahankan nilai yang sama, sedangkan yang lain ingin
mengubahnya.
h. Konflik Antar Penganut Agama
Dengan dijiwai toleransi dan saling menghormati, kehidupan
beragama di Indonesia dapat dikatakan rukun. Meskipun demikian, dalam hubungan
antar penganut agama, mungkin saja timbul kesalahpahaman karena sikap prasangka
negative dari penganut agama yang satu terhadap yang lain.
2.
Penyebab
Konflik Politik
Simon Fisher, dkk.
(2000), dalam bukunya Working With Conflik: Skill dan Strategis For Action
(diterjemahkan S.N. Kartikasari, dkk., “ mengelola konflik ketampilaan dan
strategi untuk bertindak), menjelaskan tentang berbagai teori penyebab
terjadinya konflik :
1. Teori
hubungan mayarakat
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya
polarisasi yang terus terjadi dalam masyarakat sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan (distrust) dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini
adalah :
a. Meningkatkan
komunikasi dan saling pengertian antar kelompok yang mengalami konflik.
b. Mengusahakan
toleransi agar masyarakat bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
2.
Teori negoisasi prinsip
Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya
posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh
pihak-pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori negoisasi
prinsip ini adalah:
a. Membantu
pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan
berbagai masalah dan isu,dan mendorong pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang
berkonflik untuk melakukan negoisasi yang dilandasi kepentingan mereka daripada
posisi tertentu yang sudah tetap.
b. Melancarkan
proses pencapaian kesepakatan yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah
pihak atau semua pihak (win-win solution for all).
3.
Teori kebutuhan manusia
Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan
oleh kebutuhan dasar manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi
bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau sengaja
dihambat oleh pihak lain. Kebutuhan dasar manusia biasanya menyangkut tiga hal,
yakni kebutuhan fisik, mental, dan sosial.
Sasaran yang dicapai teori ini adalah :
a. Membantu
pihak-pihak yang sedang berkonflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan
secara bersama-sama mengenai kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi sehingga
memperoleh pilihan-pilihan (alterantif-alternatif) untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
b. Membantu
agar pihak-pihak yang mengalami konflik dapat meraih kesepakatan untuk memenuhi
kebutuhan dasar semua pihak.
4.
Teori identitas
Teori ini berasumsi bahwa konflik terjadi akibat
adanya identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan masalalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
a. Melalui
fasilitas komunikasi dan dialog antar pihak yang mengalami konflik. Mereka
diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka
rasakan masing-masing dan untuk membangun mepati dan rekonsiliasi diantara
mereka (pihak-pihak yang berkonflik).
b. Meraih
kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
5.
Teori kesalahpahaman antarbudaya
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan adanya
ketidakcocokan dalam cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
a. Menambah
pengetahuan bagi pihak-pihak yang mengalami konflik.
b. Mengurangi
stereotip negative yang mereka miliki tentang pihak atau kelompok lain.
c. Meningkatkan
keefektifan komunikasi antarbudaya.
6.
Teori Transformasi Konflik
Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh
masalah-masalah social, budaya, dan ekonomi.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
a. Mengubah
beberapa struktur yang dapat menimbulkan terjadinya ketidaksetaraan,
ketidakadilan, dan kesenjangan ekonomi.
b. Meningkatkan
ikatan hubungan sikap jangka panjang di antarpihak atau antarkelompok yang
mengalami konflik.
c. Mengembangkan
berbagai proses dan system untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan ,
perdamaian, rekonsiliasi, dan legitimasi atau pengakuan.
2.3
Resolusi
Konflik
1.
Pengertian
Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa
Inggris adalah conflict resolution memiliki makna yang berbeda-beda
menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster
Dictionary menurut Levine adalah :
a.
Tindakan mengurai suatu permasalahan
b.
Pemecahan
c.
Penghapusan atau penghilangan permasalahan
Sedangkan Weitzman dalam Morton and Coleman,
mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah
bersama (solve a problem together). Lain halnya dengan Simon Fisher,
dkk, yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab
konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara
kelompok-kelompok yang berseteru.
2.
Resolusi
Konflik model John Davies
John Davies, seorang ilmuwan University of
Marylands Center For internasional development dan Conflik, Management, seperti
dikutip Ahmad Doli Kurnia (2005:35-36), membedakan 3 pendekatan dalam
pengelolaan konflik.
a.
Pendekatan berdasarkan kekuasaan
(power-based approach), menggunakan kekuatan kekuasaan untuk memecahkan semua
jenis konflik. Seandainya sifat pemerintahan adalah otoriter (autborian),
pemecahan konflik tampak pada tingkat permukaan (surface), tidak sampai pada
tingkat akar penyebab konflik.
b.
Pendekatan berdasarkan hukum
(right-based approach). Pendeketan ini biasanya lebih menggunakan hukum, adat,
norma dan system hukum sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi
dimasyarakat. Akan tetapi, struktur politik di Indonesia memungkinkan untuk
melakukan subordinasi penegak hukum pada kepentingan-kepentingan pemegang
kekuasaan sehingga hukum hanya dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan.
c.
Pendekatan berdasarkan kepentingan
(interst-based approach). Pendekatan ini berupa untuk membangun pemecahan yang
mencerminkan nilai, kebutuhan dan kepentingan yang terpendam dalam hati pihak
yang bertentangan.
3.
Resolusi
konflik model Ted Robert Gu
Ted Robert Gur dalam “
A Risk Asassement of ethnopolitical Robellion” di Measurs, yang dikutip Ahmad Doli
Jurnia (2005:37), mengungkapkan bahwa dari jumlah penduduk sebanyak 1 miliyar
atau 17,7 % penduduk bumi (pada tahun 1995), ada 268 kelompok penduduk
minoritas yang politis dan hidup di 112 negara.
Ironisnya, sebagian
besar kelompok minoritas yang memiliki potensi untuk berkonflik terkonsentrasi
dikawasan Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan. Beberapa kelompok yang
hidup diwilayah-wilayah tersebut menderita gangguan terjadinya perang sipil
yang cukup besar, dan 40% dari 68 pemberontakan etnopolitik yang aktif didunia
selama 1945-1995 terdapat dikawasan antara afganistan dan Filipina.
Ted Robert Gur
mengidentifikasi enam kelompok minoritas Asia yang memiliki resiko
ethnorabellion yang tinggi, yakni: Timor-Timur, Hindu, Pakistan, Lhotshampas
(Bhutan), Zomis (Burma atau Myanmar), Turkem (Republik Rakyat Cina), dan Papua
(Irian Jaya). Sikap pemberontakan etnopolitik ditimbulkan oleh:
a.
Adanya perasaan tidak adil atas
penyesalan yang dilakukan kelompok berwenang.
b.
Adanya pengalaman represi dari kelompok
dominan terhadap kelompok lain sehingga menimbulkan rasa dendam dan benci
(commo n grievances) dikalangan kelompok yang direpresif.
c.
Hilangnya kebebasan dan otonomi yang
pernah dimiliki oleh suatu kelompok.
d.
Adanya diskriminasi aktif, baik dalam
bidang politik, ekonomi, maupun budaya, dianggap dapat mengancam status
kelompok.
e.
Adanya organisasi-organisasi militant
yang bisa menggalang mobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan.
Model asassement risiko
dimaksudkan untuk mengungkap potensi dan kemungkinan terjadinya letupan
pemberontakan, bukan dimaksudkan untuk meramal atau meprediksi. Dengan modal
asassement risiko ini, dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mesti dilihat
dan dimonitor sehingga bisa dikelola secara lebih baik.
4. Kemampuan Resolusi Konflik
Bodine and
Crawford dalam Jones dan Kmitta, merumuskan beberapa macam kemampuan yang
sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya:
a. Kemampuan
orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu
tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan,
toleransi, harga diri.
b. Kemampuan
persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami
bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi
seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau
memberi penilaian sepihak.
c. Kemampuan
emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola
berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan
emosi negatif lainnya.
d. Kemampuan
komunikasi
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan
orang lain, memahami lawan bicara, berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami,
dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam
pernyatan yang netral atau kurang emosional.
e. Kemampuan
berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan
memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan
keluar.
f.
Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam
resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis
situasi konflik yang sedang dialami.
Tidak jauh
berbeda, Scannell juga menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk
dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi:
a) keterampilan berkomunikasi,
b) kemampuan menghargai perbedaan,
c) kepercayaan terhadap sesama, dan
d) kecerdasan emosi.
Dari pemaparan ahli tersebut di atas
dapat kita ketahui bahwa dalam proses resolusi konflik diperlukan
kemampuan-kemampuan tertentu untuk mencari solusi konflik secara konstruktif.
Kemampuan tersebut di antaranya yaitu kemampuan orientasi, kemampuan persepsi
atau menghargai perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan emosi, kemampuan
berkomunikasi, kemampuan berfikir kreatif, dan kemampuan berfikir kritis.
5.
Pelaksanaan Resolusi Konflik
Di dalam suatu kelompok, konflik adalah sesuatu yang
tak terhindarkan. Ketika anggota kelompok menyatakan masalah mereka dan mencari
solusinya, konflik menjadi sumberdaya yang berharga dibandingkan sebuah masalah
yang harus diselesaikan. Sebagaimana pengertian di atas, resolusi konflik
artinya adalah suatu metode dan proses terkonsep yang digunakan untuk membantu
menyelesaikan konflik dengan damai.
Menurut Forsyth, ada beberapa metode untuk melakukan
pelaksanaan resolusi konflik, sehingga dapat mengubah anggota kelompok yang
berselisih menjadi sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, di antaranya
adalah sebagai berikut:
1.
Commitment => Negotiation
Konflik
dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok merasa yakin dengan posisinya dan
tidak ada keinginan untuk mengalah satu sama lain, namun konflik dapat
diredakan ketika anggota kelompok memutuskan untuk bernegosiasi untuk mencapai
kesepakatan yang dapat menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi adalah
proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota atau lebih untuk
mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka
dan saling bertukar gagasan.
Negosiasi
terkadang lebih dari sekedar tawar-menawar atau saling berkompromi. Seperti
negosiasi distributif, kedua belah pihak menyembunyikan orientasi kompetitif
mereka dan secara bergantian sampai salah satu pihak mendapatkan sesuatu yang
lebih baik dari pihak yang lainnya. Di lain pihak, seperti yang ditulis oleh
Roger Fisher and William Ury, negosiasi integratif bertujuan untuk bekerjasama
dengan anggota kelompok untuk meningkatkan kinerja kooperatif dan hasil yang integratif
yang menguntungkan kedua belah pihak. Fisher dan Ury juga menyarankan anggota
kelompok untuk membuat sesi penyelesaian masalah dan bekerja sama untuk
menemukan solusi.
2.
Misperception => Understanding
Konflik
seringkali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-orang sering menganggap
bahwa orang lain ingin berkompetisi dengan mereka namun pada kenyataannya orang
lain tersebut hanya ingin bekerjasama dengan mereka. Mereka mengira ketika
orang lain mengkritik ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang mengkritik
mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain tersebut adalah
untuk menguntungkan pihak mereka.
Anggota
kelompok harus menghilangkan pola fikir seperti itu dengan cara berkomunikasi
secara aktif terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi. Komunikasi tidak
cukup untuk menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman
serta tipu muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota kelompok untuk
saling percaya, namun itu juga dapat menjadi “boomerang” bagi kelompok
dengan adanya “curahan hati” dari anggota kelompok yang menunjukkan
kebencian maupun ketidaksukaan pada anggota lain.
3. Strong
Tactics => Cooperative Tactics
Ada berbagai cara anggota kelompok
untuk mengatasi konflik mereka. Beberapa dari mereka hanya melihat kepada
masalah mereka dan berharap masalah itu akan hilang dengan sendirinya. Beberapa
anggota lainnya mendiskusikan masalah mereka, terkadang dengan tenang dan
rasional, namun terkadang dengan marah dan keras. Yang lainnya mencari pihak yang
netral untuk menjadi moderator dalam konflik tersebut. Dan mirisnya, ada
anggota yang menggunakan kekerasan fisik. Taktik yang digunakan untuk
menyelesaikan konflik pada dasarnya ada 4 (empat) kategori yaitu:
a. Avoiding
Pada dasarnya taktik ini adalah
usaha untuk menghindari konflik tersebut dan berharap konflik itu akan hilang
dengan sendirinya. Orang-orang yang mengadopsi taktik ini biasanya menghindari meeting,
mengubah bahan pembicaraan ataupun keluar dari kelompok tersebut.
b. Yielding
Anggota kelompok dalam menyelesaikan
masalah yang besar maupun kecil dengan menyerahkan keputusan kepada orang lain.
Setelah melalui proses diskusi dan negosiasi, anggota kelompok merasa gagasan
mereka salah dan akhirnya menyetujui gagasan anggota kelompok lainnya. Yielding
biasa terjadi akibat pola fikir anggota yang berubah dan setuju dengan
pendapat lainnya ataupun tekanan yang ada di dalam diri mereka.
c. Fighting
Pada sejumlah orang, mereka ingin
menyelesaikan konflik dengan memaksa anggota lainnya untuk menerima pandangan
mereka. Mereka melihat konflik sebagai situasi menang-kalah dan menggunakan
taktik yang kompetitif dan kuat untuk mengintimidasi anggota yang lain.
d. Cooperating
Anggota yang mengandalkan kerjasama
dalam mengatasi konflik cenderung mencari solusi yang dapat diterima semua
pihak. Mereka tidak memaksakan kehendak dan kompetitif. Alih-alih mereka
menunjukkan akar dari permasalahan dan mencari solusi yang tepat untuk masalah
mereka. Orientasi ini disebut sebagai win-win solution karena
mengganggap hasil yang menyangkut orang lain merupakan hasil mereka juga.
Metode avoiding
dan fighting dianggap metode yang negatif karena berpotensi
melahirkan konflik yang baru dan membiarkan konflik yang ada sehingga tidak
terselesaikan. Di lain pihak metode yielding dan cooperating
merupakan metode yang baik dan menghasilkan solusi yang dapat diterima semua
pihak. Sedangkan metode fighting dan cooperating merupakan metode
yang aktif karena adanya usaha nyata untuk menyelesaikan konflik sedangkan
metode avoiding dan yielding merupakan metode yang pasif.
4. Upward =>
Downward Conflict Spirals
Kerjasama yang konsisten diantara
orang untuk jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan rasa saling percaya.
Tetapi ketika anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling
percaya akan menjadi lebih sukar dipahami. Ketika seseorang tidak dapat
mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing untuk mempertahankan hal yang
menguntungkan dirinya atau hal yang dapat menghilangkan persaingan adalah tit-for-tat
atau TFT. Tit-for-tat adalah strategi tawar menawar yang berawal
dari kerjasama, tapi kemudian meniru pilihan yang dibuat orang lain. Dengan
kata lain, orang akan bersaing jika orang lain bersaing dan orang akan
bekerjasama jika orang lain bekerjasama.
5. Many => One
Individu yang tidak terlibat dalam
masalah tidak seharusnya memihak salah satu pihak melainkan harus menjadi
mediator dalam konflik tersebut. Pihak ketiga (netral) dapat membantu meredakan
konflik dengan cara:
a.
Meredakan frustasi dan kebencian dengan memberi kedua
belah pihak sebuah kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka.
b. Jika
komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk meluruskan masalah.
c. Pihak ketiga
dapat menyelamatkan “muka” dari yang berkonflik dengan membebankan kesalahan
pada diri mereka sendiri.
d. Pihak ketiga
dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat diterima oleh kedua pihak.
e. Pihak ketiga
dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti lokasi, tempat duduk,
formalitas komunikasi, batasan waktu, hadirin dan agenda.
f. Pihak ketiga
dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan proses penyelesaian masalah
secara integratif.
Namun, jika pihak-pihak ingin
menyelesaikan konflik dengan cara mereka sendiri, maka intervensi dari pihak
ketiga akan dianggap sebagai gangguan yang tidak diinginkan.
Keefektifan pihak ketiga tergantung
dari kekuatan mereka di dalam kelompok. Di dalam prosedur inquisitorial,
pihak ketiga akan memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak dan
memutuskan hasil yang harus diterima semua pihak. Di dalam arbitration kedua
belah pihak memberikan argumen-argumen kepada pihak ketiga yang akan membuat
sebuah keputusan berdasarkan argumen yang diberikan. Di dalam moot kedua
pihak dan pihak ketiga berdiskusi, di situasi yang terbuka dan tidak formal
tentang masalah dan solusi yang memungkinkan.
6. Anger =>
Composure
Ketika keadaan “memanas”, anggota
kelompok yang bertentangan harus mampu mengontrol emosi mereka. Metode yang
efektif untuk mengontrol emosi adalah dengan berhitung 1 sampai 10 atau
menyampaikan humor atau lelucon di kelompok. Humor dapat memberikan emosi yang
positif dan dapat meredam emosi yang negatif seperti amarah. Kelompok juga
dapat melestarikan budaya seperti pelarangan penunjukan emosi negatif, salah
satu contohnya adalah amarah.
2.4
Pola
Penyelesaian Konflik
Coser (1956:62) menyatakan bahwa semakin dekat suatu
hubungan, semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin
besar juga kecenderungan untuk menekan daripada mengungkapkan rasa permusuhan.
Adapun pada hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan dapat relative bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi
dalam hubungan-hubungan primer yang keterlibatan total para partisipan, membuat
pengungkapan perasaan demikian sebagai bahaya bagi hubungan tersebut.
Yang menjadi paradoks ialah semakin dekat hubungan,
semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi, semakin lama
perasaan demikian ditekan, semakin penting pengungkapannya demi mempertahankan
hubungan itu sendiri. Karena dalam suatu hubungan yang intim, keseluruhan
kepribadian sangat boleh jadi terlibat. Dengan demikian, konflik itu keika
benar-benar meledak mungkin sekali akan menjadi konflik yang sangat besar.
Dengan demikian, menurut proporsisi coser, bila
segala sesuatu dianggap sama, konflik antara dua orang yang tidak saling kenal
akan kurang tajam bila dibandingkan dengan konflik antara suami-istri. Dalam
hubungan yang intim, orang dapat mencoba menekan rasa permusuhan demi
menghindari konflik. Akan tetapi, tindakan itu sendiri dapat menyebabkan
akumulasi permusuhan yang akan meledak bilamana konflik tersebut berkembang.
Bagaimanapun beratnya masalah ketika konflik meledak
dalam hubungan yang intim itu, Coser menegaskan bahwa tidak ada konflik tidak
bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan demikian.
Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda dari hubungan yang hidup,
sedangkan tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang
menandakan kelak akan suasana yang benar-benar kacau.
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau
konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang
berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara
bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
a. Gencatan
senjata,
yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna
melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya :
untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau
mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan
lain-lain.
b. Abitrasi,
yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang
memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak.
Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam
masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih
maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
c. Mediasi,
yaitu
penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang
mengikat. Contoh : PBB
membantu
menyelesaikan perselisihan antara Indonesia
dengan
Belanda.
d. Konsiliasi,
yaitu
usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga
tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia
tetap
penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemeapai
kestabilan n Tenaga Kerja. Bertugas
menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur,
dan lain-lain.
e. Stalemate,
yaitu
keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang
seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini
terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur.
Sebagai contoh : adu senjata
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet
pada masa Perang dingin.
Adapun
cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a)
Elimination,
yaitu
pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang
diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan
sebagainya.
b)
Subjugation
atau
domination,
yaitu
orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang
atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara
pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
c)
Majority
rule, yaitu suara terbanyak
yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan
argumentasi.
e)
Kompromi,
yaitu
jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
f)
Integrasi,
yaitu
mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai
diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.
2.5
Integrasi Sosial
1.
Pengertian
Integrasi Sosial
Integrasi berasal dari
bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara
unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga
menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
Definisi lain mengenai
integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan
bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih
tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu :
b. Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu.
Integrasi sosial adalah
jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu adalah
unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan.
Dalam KBBI di sebutkan
bahwa integrasi adalah pembauan sesuatu yang tertentu hingga menjadi kesatuan
yang utuh dan bulat. Istilah pembauran tersebut mengandung arti masuk ke dalam,
menyesuikan, menyatu, atau melebur sehingga menjadi satu.
Banton (dalam Sunarto,
2000 : 154) mendefinisikan integrasi sebagai suatu pola hubungan yang mengakui
adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting
pada perbedaan ras tersebut.
Menurut pandangan para
penganut fungsionalisme structural, system social senantiasa terintegrasi di
atas dua landasan berikut:
a.
Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi
di atas tumbuhnya consensus di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang
nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental.
b.
Masyarakat terintegrasi karena berbagai
anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan social
(cross-cutting affiliations).
Suatu integrasi sosial
di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan,
baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya.
Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena adanya
saling ketergantungan di antara berbagai kelompok.
2.
Syarat-Syarat Integrasi Sosial
Integrasi social akan terbentuk di masyarakat apabila
sebagian besar anggota masyarakat tersebut memiliki kesepakatan tentang
batas-batas territorial dari suatu wilayah atau negara tempat mereka tinggal.
Selain itu, sebagian besar masyarakat tersebut
bersepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang di bangun, termasuk
nilai-nilai, norma-norma, dan lebih tinggi lagi adalah pranata-pranata sosial
yang berlaku dalam masyarakatnya, guna mempertahankan keberadaan masyarakat
tersebut. Selain itu, karakteristik yang di bentuk sekaligus manandai batas dan
corak masyarakatnya.
Menurut William F. Ogburn da Mayer Nimkoff, syarat
berhasilnya suatu integrasi sosial adalah:
a.
Anggota-anggota
masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan satu
dengan yang lainnya. Hal ini berarti kebutuhan fisik berupa sandang dan pangan
serta kebutuhan sosialnya dapat di penuhi oleh budayanya. Terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan ini menyebabkan masyarakat perlu saling menjaga keterikatan
antara satu dengan lainnya.
b.
Masyarakat berhasil
menciptakan kesepakatan (consensus) bersama mengenai norma-norma dan nilai-nilai
sosial yang di lestarikan dan di jadikan pedoman dalam berinteraksi satu dengan
yang lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang di larag menurut kebudayaannya.
c.
Norma-norma dan nilai
social itu berlaku cukup lama dan di jalankan secara konsisten serta tidak
mengalami perubahan sehingga dapat menjadi aturan baku dalam melangsungkan
proses interaksi sosial.
3.
Batas Interferensi dan Integrasi
Batas antara peristiwa interferensi dan
integrasi adalah dimana peristiwa interferensi dipandang sebagai pengacau
karena merusak system suatu bahasa, tetap disisi lain dipandang sebagai suatu
mekanisme yang paling penting dan dominan untuk mengembangkan suatu bahasa yang
masih perlu pengembangan
Oleh sebagian sosiolinguis, masalah
integrasi merupakan masalah yang sulit dibedakan dari interferensi. Chair dan
Agustina (1995:168) mengacu pada pendapat Mackey, menyatakan bahwa
integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu
dan dianggap sudah menjadi bagian dari bahasa tersebut. Tidak dianggap lagi sebagai
unsur pinjaman atau pungutan.
Mackey dalam Mustakim (1994:13)
mengungkapkan bahwa masalah interferensi adalah nisbi, tetapi kenisbiannya itu
dapat diukur. Menurutnya, interferensi dapat ditetapkan berdasarkan penemuan
adanya integrasi, yang juga bersifat nisbi. Dalam hal ini, kenisbian integrasi
itu dapat diketahui dari suatu bentuk leksikal. Misalnya, sejumlah orang
menganggap bahwa bentuk leksikal tertentu sudah terintegrasi, tetapi sejumlah
orang yang lain menganggap belum.
Senada dengan itu, Weinrich (1970:11)
mengemukakan bahwa jika suatu unsur interferensi terjadi secara berulang-ulang
dalam tuturan seseorang atau sekelompok orang sehingga semakin lama unsur
itu semakin diterima sebagai bagian dari sistem bahasa mereka, maka
terjadilah integrasi. Dari pengertian ini dapat diartikan bahwa interferensi
masih dalam proses, sedangkan integrasi sudah menetap dan diakui sebagai bagian
dari bahasa penerima.
Berkaitan dengan hal tersebut, ukuran
yang digunakan untuk menentukan keintegrasian suatu unsur serapan adalah kamus.
Dalam hal ini, jika suatu unsur serapan atau interferensi sudah dicantumkan
dalam kamus bahasa penerima, dapat dikatakan unsur itu sudah terintegrasi.
Sebaliknya, jika unsur tersebut belum tercantum dalam kamus bahasa penerima
unsur itu belum terintegrasi.
Dalam proses integrasi unsur serapan
itu telah disesuaikan dengan sistem atau kaidah bahasa penyerapnya, sehingga
tidak terasa lagi keasingannya. Penyesuaian bentuk unsur integrasi itu tidak
selamanya terjadi begitu cepat, bisa saja berlangsung agak lama. Proses
penyesuaian unsur integrasi akan lebih cepat apabila bahasa sumber dengan
bahasa penyerapnya memiliki banyak persamaan dibandingkan unsur serapan yang
berasal dari bahasa sumber yang sangat berbeda sistem dan kaidah-kaidahnya.
Cepat lambatnya unsur serapan itu menyesuaikan diri terikat pula pada segi
kadar kebutuhan bahasa penyerapnya. Sikap penutur bahasa penyerap merupakan
faktor kunci dalam kaitan penyesuaian bentuk serapan itu.
Jangka waktu penyesuaian unsur
integrasi tergantung pada tiga faktor antara lain :
1.
Perbedaan
dan persamaan sistem bahasa sumber dengan bahasa penyerapnya.
2.
Unsur
serapan itu sendiri, apakah sangat dibutuhkan atau hanya sekedarnya sebagai
pelengkap.
3.
Sikap
bahasa pada penutur bahasa penyerapnya.
A.A. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Sosiologi Politik Konsep dan Dinamika Perkembangan, Cv. Pustaka
Setia, Bandung, 2007, Hlm. 181
Ng. Philipus dan Nurul Aini, Sosiologi dan Politik, PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta, 2004, Hlm. 50
(diakses pada tanggal 13 November
2014 Pukul 20.05 WIB)
(diakses pada tanggal 13 November
2014 Pukul 20.05 WIB)
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Gatara, A.A. Said dan Said, Moh.Dzulkiah. Sosiologi Politik Konsep
dan Dinamika Perkembangan. Bandung:Cv. Pustaka Setia. 2007.
Philipus, Ng dan Aini, Nurul. Sosiologi dan Politik.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004.
B.
Internet
(diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.00 WIB)
(diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.05
WIB)
(diakses pada tanggal 13 November 2014 Pukul 20.10
WIB)