BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kewenangan politik dan legitimasi politik selalu
menjadi bagian yang tak terpisahkan karena seseorang dapat memiliki kewenangan,
dengan terlebih dahulu memiliki legitimasi (keabsahan) dalam menentukan suatu
kebijakan untuk kepentingan sebuah Negara.
Kewenangan tentu berbeda dengan kekuasaan, sebab
dalam suatu kewenangan ada kaidah-kaidah yang mengikat setiap anggota lembaga
untuk menciptakan keseimbangan pada setiap komponen lembaga. Dalam hal ini
Undang-undang Dasar tahun 1945 dan pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
menjadi aturan pokok bagi setiap warga dan para pelaku politik.
Kewenangan politik tidak selamanya dapat sejalan
dengan keinginan masyarakat. Sebab, menentukan sebuah kebijakan public, berarti
harus ada kesepakatan untuk memnentukan prioritas utama dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat, antara pembuat kebijakan dan masyarakat. Namun kebijakan
public harus tetap dilakukan meskipun adanya perselisihan pendapat ataupun
konflik yang membuat kondisi politik menjadi kurang stabil. Sehingga, dalam hal
ini legitimasi politik berperan untuk member pengakuan bahwa setiap kebijakan
yang diputuskan adalah yang terbaik untuk kepentingan masyarakat dimana
kebijakan politik itu disahkan. Sehingga, bagaimana cara seorang mendapatkan
kewenangan politik juga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap
pembuat kebijakan tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud antara legitimasi sosiologis
dan legitimasi etis ?
2.
Apa yang dimaksud dengan legitimasi
kekuasaan negara menurut beberapa pemikir ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah tersebut dapat disimpulkan tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud legitimasi sosiologis dan legitimasi etis.
2. Untuk
mengetahui legitimasi kekuasaan Negara menurut beberapa pemikir.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Antara Legitimasi Sosiologis dan
Legitimasi Etis
Tinjauan etis mengenai kekuasaan (power, authority) pertama-tama
berkenaan dengan masalah legitimasinya. Kata legitimasi berasal dari bahasa
latin yaitu lex, yang berarti hukum. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah
legitimasi bukan hanya mengacu kepada kesesuaian dengan hukum formal tetapi
juga hukum-hukum kemasyarakatan dan norma-norma etis. Padanan kata yang agaknya
paling tepat untuk istilah legitimasi adalah kewenangan dan keabsahan.
Didalam suatu system social senantiasa terdapat
orang-orang yang memiliki hak dan tanggung jawab yang lebih besar dalam
bertindak, termasuk untuk hal-hal yang
menyangkut kehidupan orang-orang lainnya. Orang seperti itu disebut sebagai
orang yang memiliki kekuasaan atau punya wewenang untuk mengambil keputusan
yang berpengaruh terhadap khalayak. Dengan demikian, kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk memengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.[1] Pada
zaman dulu, ketika sebagian besar Negara di dunia diperintah dengan system
monarki, legitimasi kekuasaan biasanya bersifat religi. Masyarakat tunduk pada
kekuasaan raja-raja adalah satu-satunya manusia yang memegang amanat Tuhan
serta memiliki kekuatan-kekuatan adi-kodrati. Beberapa bangsa bahkan meyakini
bahwa raja adalah keturunan langsung dari Tuhan. Selain itu mereka percaya
bahwa apa saja yang diperintahkan raja merupakan amanat suci yang sudah pasti
membawa kebaikan bagi mereka. Akan tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa
legitimasi religious itu tidak cukup untuk menjamin bahwa hak-hak istimewa yang
telah dipersembahkan untuk raja-raja itu dipergunakan sebagaimana mestinya.
Banyak tokoh-tokoh monarki yang memperoleh kekuasaan secara turun-menurun
ternyata tidak becus dalam menjalankan roda pemerintahan. Lebih dari itu,
sejarah penuh dengan kisah tentang kelaliman raja atau kaisar yang berkuasa
mutlak yang hanya membawa kesengsaraan bagi rakyatnya. Pendobrakan terhadap
legitimasi kekuasaan religius melahirkan legitimasi sosiologis., bahwa
keabsahan kekuasaan seharusnya ditentukan secara rasional untuk kepentingan
bersama dalam suatu organisasi raksasa yang dikenal sebagai Negara. Konsep
legitimasi sosiologis mendasarkan diri pada fenomena bahwa sekelompok anggota
masyarakat bersedia dengan suka rela menyerahkan hak kepada orang yang terpilih
untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu yang mneyangkut
setiap anggota masyarakat tersebut. Sudah barang tentu pengertian yang inhern
dalam kebijakan tersebut adalah segala bentuk pengambilan keputusan yang
bermanfaat, atau sekurang-kurangnya tidak merugikan, bagi setiap unsur atau
anggota masyarakat tadi. Weber melihat adanya tiga corak legitimasi sosiologis
melalui konsepsinya tentang domination dalam masyarakat.
1. Kewenangan
tradisional (traditional domination)
Bahwa
kekuasaan untuk mengambil keputusan umum diserahkan kepada seorang berdasarkan
keyakinan- keyakinan tradisional. Misalnya, seorang diberi hak atau kekuasaan
karena ia berasal dari golongan bangsawan atau dinasti yang memang sudah
memerintah untuk kurun waktu yang lama. Jenis kewenangan ini mirip dengan
legitimasi religious.[2]
2.
Kewenangan kharismatik
Yang
mengambil landasan pada charisma pribadi seseorang sehingga ia dikagumi dan
dihormati oleh khalayak. Tokoh-tokoh seperti Mahamat Ghandi atau Adolf Hilter
adalah termasuk pemimpin yang memiliki kekuasaan yang bersandar pada keweangan
kharismatik.
3.
Kewenangan legal-rasional
Yang
mengambil landasan dari hukum-hukum formal dan rasional bagi dipegangnya
kekusaan oleh seorang pemimpin. Kehidupan kenegaraan yang modern lebih banyak
menggunakan konsepsi kewenangan legal-rasional. Hampir setiap perdana menteri.
Atau konselir yang memerintah dewasa ini termasuk dalam kelompok penguasa
legal-rasional.[3]
Legitimasi
sosiologis menyangkut proses interaksi didalam masyarakat yang memungkinkan
sebagian besar kelompok social setuju bahwa seseorang patut memimpin mereka
dalam periode pemerintahan tertentu.[4]
Ini ditentukan oleh keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang
melekat patut dihormati. Apabila bagian terbesar dari masyarakat sudah memikiki
keyakinan tersebut, kekuasaan itu dianggap absah secara sosiologis. Singkatnya
legitimasi sosiologis mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata
membuat masyarakat mau menerima wewenang penguasa.[5]
Paham sosiologis ini mengandung beberapa perbedaan mendasar dengan paham ilmu
etika tentang legitimasi yang hendak kita telaah lebih lanjut. Jika legitimasi
sosiologis melihat kewenangan atas kekuasaan berdasarkan bulat tidaknya
kesepakatan yang terjelma dalam masyarakat, legitimasi etis melihat kesesuaian
antara dasar-dasar kekuasaan itu dari sudut norma-norma moral. Dengan demikian
legitimasi etis bukan sekedar menyangkut opini masyarakat mengenai keabsahan seseorang
dalam kekusaannya, bukan pula hanya berkaitan dengan tatanan hukum tertulis
yang berlaku didalamnya, tetapi lebih dari itu ia mencoba meletakkan
prinsip-prinsip moral atas kekuasaan tadi. Jika dibandingkan dengan jenis
legitimasi yang lain, kita akan memperoleh beberapa ciri yang spesifik mengenai
legitimasi etis.
1.
Kerangka legitimasi etis mengandaikan
bahwa setiap persoalan yang menyangkut manusia hendaknya diselesaikan secara
etis termasuk persoalan kekuasaan. Hal yang dipertanyakan dalam hal ini adalah
apakah kedudukan seseorang yang punya hak untuk mengatur perilaku sejumlah
besar orang itu memang telah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai moral. Jika
disuatu Negara sering sekali terjadi pemberontakan, gerakan separatis, atau
usaha-usaha kudeta (meskipun suatu rezim sudah berusaha untuk berbuat
sebaik-baiknya), maka paham etika menuntut agar rezim tersebut bersedia
meneliti kembali apakah dirinya memang sudah layak menduduki kekuasaan itu.
Masalahnya tidak sekadar bagaimana menumpas pemberontakan atau mencegah
gerakan-gerakan kudeta itu, melainkan apa yang mendorong orang-orang untuk
bertindak makar serta legalitas moral dari kebijakan-kebijakan yang diambil
rezim selama ia berkuasa. Inilah perbedaan pokok paham etis dengan paham pragmatis
maupun utilitarian.
2.
Legitimasi etis berada dibelakang setiap
tatanan normatif dalam prilaku manusia. Etika menjadi landasan dari setiap
kodifikasi peraturan hukum pada suatu Negara. Oleh karena itu, paham etis tidak
dilecehkan oleh perubahan situasi kemasyarakatan atau positivitas hukum. Dialah
yang justru menjadi kekuatan pokok yang menopang aturan-aturan hukum yang terdapat
dalam masyarakat. Norma etika tidak saja diperkenankan mempertanyakan hukum
positif, aturan perilaku, pandangan hidup, tetapi bahkan boleh dan bisa
mempertahankan doktrin dan ideology yang mendasari cara pandang suatu bangsa.
Ideologi suatu bangsa acapkali memiliki visi sempit yang hanya melihat apakah
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang penguasa sudah cocok dengan
ajaran yang terkandung dalam ideology tersebut, ia mensyaratkan bahwa
pertama-tama ideologi itu mesti diterima. Etika, dilain pihak tidak pernah
mengacu pada salah satu ideology secara buta. Etika memiliki ruang-ruang yang
demikian luas untuk memperdebatkan setiap doktrin, apapun bentuk doktrin
tersebut sehingga secara asasi etika kebal terhadap kemungkinan
disalahgunakannya ideology untuk membenarkan kebijakan-kebijakan pihak
penguasa.[6]
Akhirnya,
karena etika tidak mendasarkan dari pada pandangan-pandangan moral de facto
yang berlaku dalam msyarakat saja, legitimasi eris tak kan pernah dibatasi oleh
ruang dan waktu. Legitimasi kekuasaan , misalnya, tidak dapat dibuktikan dari
kenyataan bahwa setiap anggota masyarakat dalam suatu Negara tunduk kepada perintah-perintah
seorang penguasa. Selalu terdapat kemungkinan bahwa ketundukan atau ketaatan
itu tercipta karena naluri, paksaan ataupun ancaman. Oleh sebab itu, pengertian
legitimasi etis terkadang berada diluar apa yang diterima oleh kebanyakan orang
pada lingkup social tertentu. Bahwa sebagian besar orang sudah memiliki
kesepakatan bulat mengenai suatu tatanan tersebut sudah benar secara etis.
Jumlah orang yang menganut suatu pendapat moral tidak menentukan benar tidaknya
pendapat tersebut. Dari sini kita dapat menangkap esensi paham ilmu etika
mengenai kekuasaan. Bila pihak-pihak tertentu sudah mulai bersaing meraih
kekuasaan dan merasakan berbagai keuntungan dari kekuasaan itu, alasan-alasan
pembenar (judgements) untuk mendudukinya sudah tidak murni lagi.
Pembenaran-pembenaran itu mungkin sekali telah ditunggangi oleh berbagai bentuk
kepentingan. Hanya dengan menakar alasan-alasan pembenar itu melalui nilai-nilai moral yang terdapat dalam etika, kita akan mengetahui besarnya legitimasi
kekuasaan secara hakiki.
2.2 Lagitimasi Kekuasaan Negara Menurut
Beberapa Pemikir
Tak dapat disangkal lagi bahwa setiap individu
memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan masing-masing, menginginkan supaya
kepentingan itu terpenuhi. Namun terpenuhinya suatu kepentingan biasanya
menuntut pemenuhan kepentingan yang lain sehingga kepuasan setiap orang
mustahil bisa tercapai. Guna menjaga keutuhan system dari adanya berbagai
gejolak yang diakibatkan perselisihan kepentingan itu diperlukan pranata Negara
sebagai pihak yang berwenang mengatur, menyesuaikan, atau menentukan prioritas
bagi terpenuhinya kepentingan serta tujuan berbagai pihak. Negara adalah suatu
bentukan permanen yang terdiri dari orang-orang yang hidup bersama dalam suatu
teritori dan organisasi dibawah suatu pemerintahan yang bebas dari control luar
serta membentuk memberlakukan hukum didalam batas-batas Negara tersebut. Unsur
pokok yang biasanya dikaitkan dengan Negara adalah :
1.
Penduduk atau sekelompok orang, yang
jumlahnya relative besar,
2.
Wilayah/teritori yang pasti,
3.
Organisasi politik atau system
pemerintahan yang mengorganisasi kelompok tersebut ke dalam suatu “ tubuh
politik”,dan
4.
Kedaulatan (sovereignty).
Istilah
pemerintahan (government) merujuk kepada orang-orang yang memiliki fungsi
control politis pada waktu tertentu. Maka aparat pemerintahan berbeda dengan
warga Negara biasa yang menjadi anggota Negara tetapi tidak menjadi bagian dari
tubuh pemerintah. Kedaulatan memiliki dua aspek. Ia mensyaratkan adanya
kebebasan eksternal maupun otoritas internal, atau kekuatan untuk memberlakukan
hukum dan memaksakan ketaatan.
Didalam proses politik, Negara adalah satu-satunya
sosok yang paling berhak menentukan prioritas pemenuhan kepentingan jika
terjadi perselisihan kepentingan antar warganya. Masalah yang dihadapi setiap
Negara secara internal ialah bagaimana menempatkan kepentingan komunitas pada
kedudukan yang lebih tinggi di atas kepentingan individu manapun. Akan tetapi,
dalam melaksanakan kekuasaannya itu Negara tidak bisa bertindak
sewenang-wenang. Betapapun setiap tindakan Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan baik secara sosiologis maupun secara etis. Untuk itu ada
baiknya diuraikan serba sedikit beberapa pemikiran dari filsuf dan ahli
kenegaraan mengenai persoalan kekuasaan Negara ini.[7]
1.
Plato
Sebagai seorang filsuf, Plato terpengaruh ajaran
Socrates bahwa kebajikan (virtue) berisi pengetahuan mengenai hal-hal yang
baik, karena itu masalah bagi kita semua adalah membangun suatu Negara yang
didalamnya semua orang tertarik pada kebajikan. Bermula dari system logika yang
menyatakan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang harmonis dan baik,
dalam bukunya Res Publica Plato mengemukakan postulat utopia paling asasi bahwa
mereka yang mempunyai kekuatan nalar terbesar hendaknya diberi kekuasaan
terbesar untuk memerintah. Kecermerlangan pemikiran plato bukan sekadar
menyangkut teori “meritokrasi” yang dikemukakannya, tetapi juga dapat dilihat
dari kenyataan bahwa dialah pemikir yang pertama-tama berbicara mengenai Negara
ideal. Dia bermaksud membangun suatu masyarakat dimana orang banyak menyumbang
kepada kemakmuran komunitas (sehingga semua individu mewujudkan potensi mereka
sepenuhnya) tanpa adanya kekuasaan kolektif yang merusak.
Dalam model distribusi kekuasaan antara penguasa dan
yang dikuasai, plato mengandaikan bahwa para penguasa memperoleh hak memakai
kekuasaan untuk mencapai kebaikan public dari kecerdasan mereka yang luar
biasa. Oleh sebab itu, dengan merujuk
kepada system monarki yang lazim pada waktu itu, plato merumuskan bahwa
pemerintahan akan adil jika raja yang berkuasa adalah seorang yang bijaksana.
Kebijaksanaan (wisdom) kebanyakan dimiliki oleh filsuf. Maka konsepsi tentang
“filsuf raja” atau “raja filsuf” banyak disebut sebagai inti teori plato mengenai
kekuasaan Negara. Selain itu Plato mengatakan bahwa kebaikan public akan
tercapai jika setiap potensi individu terpenuhi. Oligarki musti dicegah untuk
menghindari supaya kelas penguasa tidak justru melayani diri mereka sendiri.
Teori-teori Plato memang masih mengandung banyak
kelemahan karena adanya beberapa pertanyaan mendasar yang belum menjawab.
Misalnya, bagaimana orang dapat menjamin bahwa “filsuf raja” akan punya
ketulusan hati dalam usaha mereka mengejar keadilan dan tidak menjadi korup?
Bagaimana setiap individu dapat mengetahui pontensi-potensinya? Sementara itu,
jika dibandingkan dengan kondisi Negara-negara modern sekarang ini, model Plato
terasa sangat utopis. Untuk menerima model ini kita perlu menerima pemikiran
bahwa kualitas dasar individu secara alamiah berbeda. Seolah-olah orang-orang
memang terlahir untuk menjadi raja, tentara, atau rakyat jelata. Model itu
sebenarnya juga sekadar menawarkan suatu bentuk Negara-kota yang ideal dengan
penduduk sekitar 50.000 orang. Betapapun abstrak dan utopisnya, pemikiran plato
sudah mampu menjadi peletak dasar sistem kenegaraan modern. Legitimasi Negara
tidak harus selalu dikaitkan dengan hal-hal supernatural dan masalah-masalah
sacral yang ada diluar jangkauan pemikiran manusia.[8]
2.
Thomas
Aquinas
Pemikir ini berusaha mendobrak keasyikan
masyarakatnya dengan tempat mereka dalam kota manusia, hal-hal dunia, dan
pemilikan material. Masalah keadilan diterjemahkannya ke dalam dua bentuk yaitu:
a) Keadilan
yang timbul dari transaksi-transaksi seperti pembelian penjualan yang sesuai
dengan asas-asas distribusi pasar.
b) Menyangkut
pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa atau pemimpin
memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan pangkat.
Sayangnya, dalam persoalan ini ada beberapa pemmikirannya yang kemudian terasa
diskriminatif. Manusia, misalnya, dikatergorikan menjadi beberapa peringkat,
yakni raja, bangsawan, ulama, tuan dan budak.
Kemudian, St. Thomas
Aquinas membahas tentang hukum melalui pembedaan jenis-jenis hukum berikut ini
menjadi tiga:
a.
Hukum Abadi (Lex Eterna)
Kebenaran dari huukum ini ditunjang oleh kearifan Illahi
yang merupakan landasan dari segala ciptaan. Manusia merupakan salah-satu
mahluk yang mencerminkan kebijaksanaan Sang Pencipta. Makhluk itu ada, dan
bahwa makhluk itu berbentuk atau berkodrat sebagaimana adanya karena itulah
yang dikehendaki-Nya. Oleh sebab itu, manusia sebagai makhluk yang berakal budi
wajib memenuhi setiap apa yang menjadi kehendak Tuhan dan
mempertanggungjawabkan secara sungguh-sungguh.
b.
Hukum Kodrat
(Lex Naturalis)
Disamping mengemukakan hukum-hukum religious,
Aquinas juga menghubungkannya dengan hukum moral yang terdapat di dalam Hukum
Kodrat. Hukum ini dijadikannya sebagai dasar dari semua tuntutan moral. Tampak
bahwa dia bukan hanya mengikuti arus dengan membuat pembahasan panjang-lebar
irasional yang berkaitan dengan etika religious tanpa menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa Tuhan menghendaki keadilan. Menurut
Aquinas, Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Itu
berarti bahwa manusia hidup sedemikian rupa sehingga dapat berkembang,
membangun dan menemukan identitasnya, serta dapat mencapai kebahagiaan. Aquinas
menolak segala paham kewajiban yang tidak absah secara rasional dan tidak
sesuai dengan martabat manusia.
c.
Hukum Buatan
Manusia ( Lex Humana)
Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur tatanan social
dengan nilai-nilai kebijakan dan keadilan. Norma-norma hukum berlaku karena adanya
perjanjian antara penguasa dengan rakyatnya. Di dalamnya tersirat bahwa rakuat
di satu pihak akan taat kepada penguasa, dan di lain pihak penguasa berjanji
akan mempergunakan kekuasaannya demi kepentingan masyarakat atau kesejahteraan
umum, namun di samping itu, Aquinas menekankan bahwa isi hukum buatan manusia
hendaknya sesuai dengan hukum kodrat. Kekuasaan harus memiliki legitimasi etis.
Kekuasaan hanyalah suatu kenyataan fisik dan social, tetapi tidak memuat suatu
wewenang, secara radikal dia menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan
hukum kodrat tidak memiliki status hukum melainkan justru merupakan
“penghancuran hukum”. Untuk itu, dalam hal kekuasaan raja atau Negara, Aquinas
menggolongkan dua corak pemerintahan, yaitu: pemerintahan despotik dan
pemerintahan politik. Pertama adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan
kekuasaan, sedangkan yang kedua adalah pemerintahan yang sesuai dengan kodrat
masyarakat sebagai kelompok individu yang bebas. Yang kita perlukan ialah
kondisi yang bias mencegah bahwa Negara tidak punya kesempatan untuk mendirikan
pemerintahan depotik. Sebaliknya kekuasaan harus memihak kepada rakyat atau
masyarakat umum.[9]
3. Niccolo
Machiavelli
Pada saat Niccolo Machiavelii menulis
pemikiran-pemikirannya tentang filsafat politik, ia menyaksikan terpecah
belahnya kekuasaan di Italia dengan banyak munculnya Negara-Negara kota yang
rapuh. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ajaran-ajarannya kemudian
mengandung sinisme yang keras terhadap moralitas di dalam kekuasaan. Dalam
situasi di mana masyarakat penuh dengan intrik dan kekacauan,
pernyataan-pernyataan yang menyangkut moral seringkali tidak relevan. penguasa
dapat berbuat bagi kesejahteraan rakyatnya, pertama-tama yang harus
dilakukannya adalah menyelamatkan kekuasaan itu sendiri. Machiavelli
sesungguhnya sangat mendambakan suatu Negara yang kuat, kokoh, dan tidak selalu
di rongrong oleh tindakan korup. Ia merindukan suatu keadaan di mana Negara
merupakan pusat kekuasaan yang didukung sepenuhnya oleh rakyat banyak sehingga
dapat menjalankan roda pemerintahan dengan lancar. Untuk itu sang pemimpin
harus punya kekuataan untuk mempertahankan kekuasaannya. Satu-satunya kaidah
etika politik yang dianut oleh Machiaveli ialah bahwa apa yang baik adalah
segala sesuatu yang mampu menunjang kekuasaan Negara. Apa pun harus dibayar
sampai ke arah situ. Alasan pembenar dari penyataan ini ialah desakan keadaan
untuk segera mengatasi kekuasaan situasi chaotic
yang bias menggoyahkan kestabilan kekuasaan Negara. Maka politikus praktis
hendaknya lebih menaruh minat pada tindakan nyata dengan pedoman lebih menaruh
minat pada tindakan nyata dengan pedoman-pedoman operasional yang langsung
dapat diterapkan secara spontan karena desakan keadaan sehingga dapat
menentukan prioritas kebijakan secara tepat.
Sayangnya, Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika
mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang jahat pun dapat dimaafkan oleh
masyarakat asal saja penguasa mencapai sukses. Bahwa kekejaman, asal dipakai
secara tepat, merupakan sarana stabilisasi kekuasaan raja yang mutlak ada. Beberapa
penryataan yang ekstrim mengenai pentingnya kekuasaan dapat dilihat dari
kutipan secara berikut.
Oleh karena itu, raja harus membuat dirinya ditakuti
sedemikian rupa sehingga kalau ia tidak dicintai rakyatnya, setidak-tidaknya ia
tidak dibenci. Kalau raja berperang bersama dan memimpin pasukannya dan
memimpin pasukannya yang besar, ia tidak perlu merasa khawatir disebut kejam.
Karena tanpa sebutan itu , ia tidak akan pernah dapat mempersatukan dan
mengatur pasukan.
Tampak bahwa Machiavelli ingin mengadakan pemisahan
yang tegas antara prinsip-prinsip moral dan prinsip-prinsip ketatanegaraan. Agaknya
dia tidak melihat bahwa kekuasaan yang hanya berlandaskan kebrutalan dan
kelicikan dengan sendirinya merupakan kekuasaan yang rapuh. Selain itu
Machiavelli tidak memperhitungkan bagaimana sikap-sikap masyarakat terhadap
legitimasi kekuasaan. Akibatnya dia mengabaikan kemungkinan bahwa kekuasaan
dapat goyah justru karena rakyat tidak menganggapnya sebagai kekuasaan yang
sah.
Namun demikian, walau terdapat kelemahan-kelemahan
mencolok dalam pemikiran Machiavelli, ia telah berhasil menyuarakan penderitaan
rakyat yang tercerai-berai karena adanya intrik politik yang berkepanjangan.
Setidak-tidaknya ia telah menegaskan bahwa suatu pemerintahan tidak seharusnya
bertindak setengah-setengah. Jalur pemikirannya yang menjelaskan realitas
politik itu untuk sebagian ternyata masuk akal, dan itu terbukti dari banyaknya
pemikir yang juga mengikuti ajaran-ajarannya.[10]
4.
Thomas
Hobbes
Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologis
terhadap motivasi tindakan manusia. Dia menemukan bahwa manusia selalu memiliki
harapan dan keinginan yang terkadang absurd, licik dan emosional. Semua itu
akan berpengaruh apabila seorang manusia menggenggam kekuasaan. Akan tetapi Hobbes
tidak hanya asyik dengan pembahasan tentang teknik-teknik perebutan dan
pertahanan kekuasaan sebagaimana Machiavelli, tetapi mengaitkan masalah-masalah
tersebut dengan legitimasi kekuasaan politik.
Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan
manusa, mencegah kekacauan, dan mengatasi anarki, kita tidak mungkin mengandalkan
kepada imbauan-imbauan moral. Negara harus membuat supaya manusia-manusia itu
takut, dan perkakas utama yang mesti digunakan adalah tatanan hukum. Sebab itu
Negara harus benar-benar kuat, sebagaimana dilukiskan sebagai makhluk Leviathan sebagai judul buku Hobbes, dan
setiap saat mampu memaksakan hukum melalui ancaman-ancaman yang paling ditakuti
manusa, yaitu hukuman mati. Supaya ancaman Negara itu betul-betul dipercayai
orang, Negara hendaknya dibebaskan dari kewajiban untuk mengajukan
pertanggunghawaban kepada siapapun. Pertimbangan satu-satunya
pertanggungjawaban kepada siapapun. Pertimbangan satu-satunya yang mendasari
pembentukan undang-undang oleh Negara adalah efisiensi social. Undang-undang
digariskan dengan tujuan utama untuk mencegah anarki. Masyarakat tidak boleh
terganggu oleh adanya konflik yang terus-menerus.Oleh karena itu,
pertimbangan-pertimbangan pribadi harus mengalah kepada otoritas Negara.
Dari seluruh pemikiran Hobbes mengenai kekuasaan
Negara, kita melihat adanya upaya untuk mengatasi konflik-konflik kepentingan
dari sudut padang ultitarian. Negara mesti berkuasa secara absolut jiga tidak
ingi bahwa Negara itu akan keropos oleh begitu banyaknya anarki. Selain itu,
Hobbes adalah orang yang pertama kali menyatakan dengan pasti paham positivisme
hukum, bagi Hobbes hukum diatas segala-galanya. Sesuatu dianggap adil jika itu
sesuai dengan undang-undang, betapa pun buruknya.
Sampai sedemikian jauh Hobbes rupanya lupa bahwa
tindakan manusia tidak hanya ditentukan oleh emosinya. Manusia dikaruniakan
akal budi yang akan menjadi penuntun baginya dalam memecahkan
persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan-kepentingannya dengan orang
lain. Bahkan pendirian suatu Negara sesungguhnya tidak semata-mata karena
pertimbangan emosional melainkan juga mengikutsertakan pemikiran-pemikiran
rasional. Kecuali itu, dasar dari kekuasaan yang ditawarkan oleh Hobbes
ternyata lemah. Bagaimanapun juga ancaman dan intimidasi bukan merupakan tempat
berpijak yang kokoh bagi penguasa. Kesimpulan yang dapat diambil dari pemikiran
Hobbes hanyalah bahwa pembatasan konflik itu dilakukan melalui saran hukum.[11]
5. Jean-Jasques
Rouusseau
Jika ditinjau dari titik-tolak ajaran-ajaran yang
dikemukakannya Rousseau termasuk pemikir utopis, sebagaimana halnya Plato, yang
berusaha menggambarkan suatu Negara ideal dengan tujuan mengajarkan perbaikan
cita-cita rakyat. Dia berusaha mendefinisikan kembali keprihatinan moral dalam komunitas moral sehingga dia
mewakili sudut pandang alternative yang memberikan kekuasaan yang besar kepada
komunitas sebagai satu keseluruhan. Jadi, berbeda dengan Hobbes yang menganggap
bahwa kekuasaan berasal dari ketertiban dan berada pada seseorang penguasa
tunggal, Rousseau memandang ketertiban yang dihasilkan sebagai akibat dari
hak-hak yang sama.
Rousseau berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya
manusia itu baik.Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk
melestarikan kebebasan dan kesejahteraan individu. Guna menangani
konflik-konflik yang akan selalu ada dalam masyarakat, Rousseau mendesakkan
persamaan demi tujuan-tujuan yang lebih besar. Dia mengandaikan bahwa keinginan
umum dan semua kesejahteraan individu akan muncul bersamaan. Dalam melihat dua
sisi kepentingan ini, Rousseau mengatakan:
Para warga Negara setuju terhadap semua hukum,
terhadap undang-undang sah yang bermaksud jahat kepadanya, dan bahkan terhadap
undang-undang yang menghukumnya bila ia berani melanggarnya. Keinginan yang
tidak berubah dari semua anggota Negara adalah keinginan umum, melalui hal
itulah mereka menjadi warga Negara dan bebas. Ketika undang-undang diajukan
dalam majelis rakyat, apa yang diminta dari mereka sebenarnya, apakah mereka
menyetujui usulan itu atau menolaknya, tetapi apakah ia sesuai atau tidak
dengan keinginan umum, yang adalah keinginan mereka sendiri; lalu masing-masih
dalam meberikan suaranya menyatakan pendapatnya dan dari perhitungan suara
diperoleh pernyataan keinginan umum.
Inilah landasan dari konsep kontrak socialRousseau yang begitu memikat.Segala bentuk
kepentingan individu yang menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, dan karena
itu orang harus melihat kebebasan itu justru pada kesamaan yang terbentuk dalam
komunitas.
Penilaian yang barangkali terlepas dari Rousseau
adalah bahwa tidak setiap individu mempunyai itikad baik serta bersedia
menyerahkan kebebasan individu demi kebaikan umum. Rousseau terlalu idealis
dalam memandang manusia. Selain itu, dia ternyata telah menjungkarbalikkan
logika secara a posteriori dengan
mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa memperkuat kebebasan
dan kesejahteraan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi hendaknya
tidak lagi menganggap dirinya sebagai kesatuan melainkan bagian dari kesatuan
yang disebut komunitas.Akan tetapi, Rousseau sesungguhnya sangat mencintai
kesamaan dan ketenangan yang dijamin oleh Negara melalui
keutuhan masyarakat yang organis.[12]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kata legitimasi berasal
dari bahasa latin yaitu lex, yang berarti hukum, dimana legitimasi bukan hanya
mengacu kepada kesesuaian dengan hukum formal tetapi juga hukum-hukum
kemasyarakatan dan norma-norma etis. Legitimasi
sosiologis menyangkut proses interaksi di dalam masyarakat yang sebagian
mebagian besar kelompok sosial setuju bahwa
seseorang patut memimpin mereka dalam periode pemerintahan tertentu. Sedangkan
legitimasi etis mengandaikan bahwa setiap persoalan yang menyangkut manusia
hendaknya diselesaikan secara etis termasuk persoalan kekuasaan dan legitimasi
etis berada di belakang setiap tatanan normative dalam perilaku manusia.
Menurut plato bahwa segala bentuk kebijakan itu berisi hal-hal yang baik, serta suatu pemimpin harus
mempunyai nalar yang besar sehingga kekuasaannya pun akan besar di
pemerintahan,mempunyai sifat bijaksana dan adil. Menurut Thomas Aquinas
berpendapat bahwa sumber keadilan itu adalah transaksi yang sesuai dengan ashar
distribusi pasar serta member hak sesuai pangkatnya. Menurut Nicholo bahwa
seorang pemimpin harus mempunyai kekuatan dalam kepemimpinannya. Menurut Thomas
Hobbes berpendapat behwa harus adanya suatu hukum yang membuat manusia takut
contohnya hukuman manti dan menurut Jean-Jasques Rouusseau hukum itu dihasilkan dari hak-hak yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
:
Budiardjo, Miriam.
1982. Dasar-dasar ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Kumorotomo, Wahyudi.
2013. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Magnis-Suseno, Franz.
1987. Etika Politik. Jakarta: Gramedia
Internet
:
http://kumpulanfiledokument.blogspot.com/2013/02/beberapa-konsepsi-tentang-legitimasi.html
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, Hlm. 35.
[2]
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2013.
Hlm. 51
[3]
Ibid, Hlm. 55-52
[4] http://kumpulanfiledokument.blogspot.com/2013/02/beberapa-konsepsi-tentang-legitimasi.html
[5]
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, Gramedia 1988, Hlm. 58
[6]
Wahyudi Kumorotomo, Op.cit., Hlm. 53-54
[7]
Ibid, Hlm.55-56
[8]
Ibid, Hlm. 56-58
[9]
Ibid, Hlm. 58-69
[10]
Ibid, Hlm. 60-62
[11]
Ibid, Hlm. 62-64
[12]
Ibid, Hlm. 64-66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar