Minggu, 15 Februari 2015

Legitimasi Sosiologis dan Etis



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kewenangan politik dan legitimasi politik selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan karena seseorang dapat memiliki kewenangan, dengan terlebih dahulu memiliki legitimasi (keabsahan) dalam menentukan suatu kebijakan untuk kepentingan sebuah Negara.
Kewenangan tentu berbeda dengan kekuasaan, sebab dalam suatu kewenangan ada kaidah-kaidah yang mengikat setiap anggota lembaga untuk menciptakan keseimbangan pada setiap komponen lembaga. Dalam hal ini Undang-undang Dasar tahun 1945 dan pancasila sebagai pandangan hidup bangsa menjadi aturan pokok bagi setiap warga dan para pelaku politik.
Kewenangan politik tidak selamanya dapat sejalan dengan keinginan masyarakat. Sebab, menentukan sebuah kebijakan public, berarti harus ada kesepakatan untuk memnentukan prioritas utama dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara pembuat kebijakan dan masyarakat. Namun kebijakan public harus tetap dilakukan meskipun adanya perselisihan pendapat ataupun konflik yang membuat kondisi politik menjadi kurang stabil. Sehingga, dalam hal ini legitimasi politik berperan untuk member pengakuan bahwa setiap kebijakan yang diputuskan adalah yang terbaik untuk kepentingan masyarakat dimana kebijakan politik itu disahkan. Sehingga, bagaimana cara seorang mendapatkan kewenangan politik juga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap pembuat kebijakan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.         Apa yang dimaksud antara legitimasi sosiologis dan legitimasi etis ?
2.         Apa yang dimaksud dengan legitimasi kekuasaan negara menurut beberapa pemikir ?

1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud legitimasi sosiologis dan legitimasi etis.
2.      Untuk mengetahui legitimasi kekuasaan Negara menurut beberapa pemikir.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Antara Legitimasi Sosiologis dan Legitimasi Etis
Tinjauan etis mengenai kekuasaan (power, authority) pertama-tama berkenaan dengan masalah legitimasinya. Kata legitimasi berasal dari bahasa latin yaitu lex, yang berarti hukum. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah legitimasi bukan hanya mengacu kepada kesesuaian dengan hukum formal tetapi juga hukum-hukum kemasyarakatan dan norma-norma etis. Padanan kata yang agaknya paling tepat untuk istilah legitimasi adalah kewenangan dan keabsahan.
Didalam suatu system social senantiasa terdapat orang-orang yang memiliki hak dan tanggung jawab yang lebih besar dalam bertindak, termasuk untuk hal-hal  yang menyangkut kehidupan orang-orang lainnya. Orang seperti itu disebut sebagai orang yang memiliki kekuasaan atau punya wewenang untuk mengambil keputusan yang berpengaruh terhadap khalayak. Dengan demikian, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.[1] Pada zaman dulu, ketika sebagian besar Negara di dunia diperintah dengan system monarki, legitimasi kekuasaan biasanya bersifat religi. Masyarakat tunduk pada kekuasaan raja-raja adalah satu-satunya manusia yang memegang amanat Tuhan serta memiliki kekuatan-kekuatan adi-kodrati. Beberapa bangsa bahkan meyakini bahwa raja adalah keturunan langsung dari Tuhan. Selain itu mereka percaya bahwa apa saja yang diperintahkan raja merupakan amanat suci yang sudah pasti membawa kebaikan bagi mereka. Akan tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa legitimasi religious itu tidak cukup untuk menjamin bahwa hak-hak istimewa yang telah dipersembahkan untuk raja-raja itu dipergunakan sebagaimana mestinya. Banyak tokoh-tokoh monarki yang memperoleh kekuasaan secara turun-menurun ternyata tidak becus dalam menjalankan roda pemerintahan. Lebih dari itu, sejarah penuh dengan kisah tentang kelaliman raja atau kaisar yang berkuasa mutlak yang hanya membawa kesengsaraan bagi rakyatnya. Pendobrakan terhadap legitimasi kekuasaan religius melahirkan legitimasi sosiologis., bahwa keabsahan kekuasaan seharusnya ditentukan secara rasional untuk kepentingan bersama dalam suatu organisasi raksasa yang dikenal sebagai Negara. Konsep legitimasi sosiologis mendasarkan diri pada fenomena bahwa sekelompok anggota masyarakat bersedia dengan suka rela menyerahkan hak kepada orang yang terpilih untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu yang mneyangkut setiap anggota masyarakat tersebut. Sudah barang tentu pengertian yang inhern dalam kebijakan tersebut adalah segala bentuk pengambilan keputusan yang bermanfaat, atau sekurang-kurangnya tidak merugikan, bagi setiap unsur atau anggota masyarakat tadi. Weber melihat adanya tiga corak legitimasi sosiologis melalui konsepsinya tentang domination dalam masyarakat.
1.    Kewenangan tradisional (traditional domination)
Bahwa kekuasaan untuk mengambil keputusan umum diserahkan kepada seorang berdasarkan keyakinan- keyakinan tradisional. Misalnya, seorang diberi hak atau kekuasaan karena ia berasal dari golongan bangsawan atau dinasti yang memang sudah memerintah untuk kurun waktu yang lama. Jenis kewenangan ini mirip dengan legitimasi religious.[2]
2.    Kewenangan kharismatik
Yang mengambil landasan pada charisma pribadi seseorang sehingga ia dikagumi dan dihormati oleh khalayak. Tokoh-tokoh seperti Mahamat Ghandi atau Adolf Hilter adalah termasuk pemimpin yang memiliki kekuasaan yang bersandar pada keweangan kharismatik.
3.    Kewenangan legal-rasional
Yang mengambil landasan dari hukum-hukum formal dan rasional bagi dipegangnya kekusaan oleh seorang pemimpin. Kehidupan kenegaraan yang modern lebih banyak menggunakan konsepsi kewenangan legal-rasional. Hampir setiap perdana menteri. Atau konselir yang memerintah dewasa ini termasuk dalam kelompok penguasa legal-rasional.[3]
Legitimasi sosiologis menyangkut proses interaksi didalam masyarakat yang memungkinkan sebagian besar kelompok social setuju bahwa seseorang patut memimpin mereka dalam periode pemerintahan tertentu.[4] Ini ditentukan oleh keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang melekat patut dihormati. Apabila bagian terbesar dari masyarakat sudah memikiki keyakinan tersebut, kekuasaan itu dianggap absah secara sosiologis. Singkatnya legitimasi sosiologis mempertanyakan mekanisme motivatif mana yang nyata-nyata membuat masyarakat mau menerima wewenang penguasa.[5] Paham sosiologis ini mengandung beberapa perbedaan mendasar dengan paham ilmu etika tentang legitimasi yang hendak kita telaah lebih lanjut. Jika legitimasi sosiologis melihat kewenangan atas kekuasaan berdasarkan bulat tidaknya kesepakatan yang terjelma dalam masyarakat, legitimasi etis melihat kesesuaian antara dasar-dasar kekuasaan itu dari sudut norma-norma moral. Dengan demikian legitimasi etis bukan sekedar menyangkut opini masyarakat mengenai keabsahan seseorang dalam kekusaannya, bukan pula hanya berkaitan dengan tatanan hukum tertulis yang berlaku didalamnya, tetapi lebih dari itu ia mencoba meletakkan prinsip-prinsip moral atas kekuasaan tadi. Jika dibandingkan dengan jenis legitimasi yang lain, kita akan memperoleh beberapa ciri yang spesifik mengenai legitimasi etis.
1.         Kerangka legitimasi etis mengandaikan bahwa setiap persoalan yang menyangkut manusia hendaknya diselesaikan secara etis termasuk persoalan kekuasaan. Hal yang dipertanyakan dalam hal ini adalah apakah kedudukan seseorang yang punya hak untuk mengatur perilaku sejumlah besar orang itu memang telah benar-benar sesuai dengan nilai-nilai moral. Jika disuatu Negara sering sekali terjadi pemberontakan, gerakan separatis, atau usaha-usaha kudeta (meskipun suatu rezim sudah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya), maka paham etika menuntut agar rezim tersebut bersedia meneliti kembali apakah dirinya memang sudah layak menduduki kekuasaan itu. Masalahnya tidak sekadar bagaimana menumpas pemberontakan atau mencegah gerakan-gerakan kudeta itu, melainkan apa yang mendorong orang-orang untuk bertindak makar serta legalitas moral dari kebijakan-kebijakan yang diambil rezim selama ia berkuasa. Inilah perbedaan pokok paham etis dengan paham pragmatis maupun utilitarian.

2.         Legitimasi etis berada dibelakang setiap tatanan normatif dalam prilaku manusia. Etika menjadi landasan dari setiap kodifikasi peraturan hukum pada suatu Negara. Oleh karena itu, paham etis tidak dilecehkan oleh perubahan situasi kemasyarakatan atau positivitas hukum. Dialah yang justru menjadi kekuatan pokok yang menopang aturan-aturan hukum yang terdapat dalam masyarakat. Norma etika tidak saja diperkenankan mempertanyakan hukum positif, aturan perilaku, pandangan hidup, tetapi bahkan boleh dan bisa mempertahankan doktrin dan ideology yang mendasari cara pandang suatu bangsa. Ideologi suatu bangsa acapkali memiliki visi sempit yang hanya melihat apakah kebijakan-kebijakan yang diambil oleh seorang penguasa sudah cocok dengan ajaran yang terkandung dalam ideology tersebut, ia mensyaratkan bahwa pertama-tama ideologi itu mesti diterima. Etika, dilain pihak tidak pernah mengacu pada salah satu ideology secara buta. Etika memiliki ruang-ruang yang demikian luas untuk memperdebatkan setiap doktrin, apapun bentuk doktrin tersebut sehingga secara asasi etika kebal terhadap kemungkinan disalahgunakannya ideology untuk membenarkan kebijakan-kebijakan pihak penguasa.[6]
Akhirnya, karena etika tidak mendasarkan dari pada pandangan-pandangan moral de facto yang berlaku dalam msyarakat saja, legitimasi eris tak kan pernah dibatasi oleh ruang dan waktu. Legitimasi kekuasaan , misalnya, tidak dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa setiap anggota masyarakat dalam suatu Negara tunduk kepada perintah-perintah seorang penguasa. Selalu terdapat kemungkinan bahwa ketundukan atau ketaatan itu tercipta karena naluri, paksaan ataupun ancaman. Oleh sebab itu, pengertian legitimasi etis terkadang berada diluar apa yang diterima oleh kebanyakan orang pada lingkup social tertentu. Bahwa sebagian besar orang sudah memiliki kesepakatan bulat mengenai suatu tatanan tersebut sudah benar secara etis. Jumlah orang yang menganut suatu pendapat moral tidak menentukan benar tidaknya pendapat tersebut. Dari sini kita dapat menangkap esensi paham ilmu etika mengenai kekuasaan. Bila pihak-pihak tertentu sudah mulai bersaing meraih kekuasaan dan merasakan berbagai keuntungan dari kekuasaan itu, alasan-alasan pembenar (judgements) untuk mendudukinya sudah tidak murni lagi. Pembenaran-pembenaran itu mungkin sekali telah ditunggangi oleh berbagai bentuk kepentingan. Hanya dengan menakar alasan-alasan pembenar itu melalui  nilai-nilai moral yang terdapat dalam etika,  kita akan mengetahui besarnya legitimasi kekuasaan secara hakiki.
2.2 Lagitimasi Kekuasaan Negara Menurut Beberapa Pemikir
Tak dapat disangkal lagi bahwa setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan masing-masing, menginginkan supaya kepentingan itu terpenuhi. Namun terpenuhinya suatu kepentingan biasanya menuntut pemenuhan kepentingan yang lain sehingga kepuasan setiap orang mustahil bisa tercapai. Guna menjaga keutuhan system dari adanya berbagai gejolak yang diakibatkan perselisihan kepentingan itu diperlukan pranata Negara sebagai pihak yang berwenang mengatur, menyesuaikan, atau menentukan prioritas bagi terpenuhinya kepentingan serta tujuan berbagai pihak. Negara adalah suatu bentukan permanen yang terdiri dari orang-orang yang hidup bersama dalam suatu teritori dan organisasi dibawah suatu pemerintahan yang bebas dari control luar serta membentuk memberlakukan hukum didalam batas-batas Negara tersebut. Unsur pokok yang biasanya dikaitkan dengan Negara adalah :
1.         Penduduk atau sekelompok orang, yang jumlahnya relative besar,
2.         Wilayah/teritori yang pasti,
3.         Organisasi politik atau system pemerintahan yang mengorganisasi kelompok tersebut ke dalam suatu “ tubuh politik”,dan
4.         Kedaulatan (sovereignty).
Istilah pemerintahan (government) merujuk kepada orang-orang yang memiliki fungsi control politis pada waktu tertentu. Maka aparat pemerintahan berbeda dengan warga Negara biasa yang menjadi anggota Negara tetapi tidak menjadi bagian dari tubuh pemerintah. Kedaulatan memiliki dua aspek. Ia mensyaratkan adanya kebebasan eksternal maupun otoritas internal, atau kekuatan untuk memberlakukan hukum dan memaksakan ketaatan.
Didalam proses politik, Negara adalah satu-satunya sosok yang paling berhak menentukan prioritas pemenuhan kepentingan jika terjadi perselisihan kepentingan antar warganya. Masalah yang dihadapi setiap Negara secara internal ialah bagaimana menempatkan kepentingan komunitas pada kedudukan yang lebih tinggi di atas kepentingan individu manapun. Akan tetapi, dalam melaksanakan kekuasaannya itu Negara tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Betapapun setiap tindakan Negara harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara sosiologis maupun secara etis. Untuk itu ada baiknya diuraikan serba sedikit beberapa pemikiran dari filsuf dan ahli kenegaraan mengenai persoalan kekuasaan Negara ini.[7]
1.         Plato
Sebagai seorang filsuf, Plato terpengaruh ajaran Socrates bahwa kebajikan (virtue) berisi pengetahuan mengenai hal-hal yang baik, karena itu masalah bagi kita semua adalah membangun suatu Negara yang didalamnya semua orang tertarik pada kebajikan. Bermula dari system logika yang menyatakan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang harmonis dan baik, dalam bukunya Res Publica Plato mengemukakan postulat utopia paling asasi bahwa mereka yang mempunyai kekuatan nalar terbesar hendaknya diberi kekuasaan terbesar untuk memerintah. Kecermerlangan pemikiran plato bukan sekadar menyangkut teori “meritokrasi” yang dikemukakannya, tetapi juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa dialah pemikir yang pertama-tama berbicara mengenai Negara ideal. Dia bermaksud membangun suatu masyarakat dimana orang banyak menyumbang kepada kemakmuran komunitas (sehingga semua individu mewujudkan potensi mereka sepenuhnya) tanpa adanya kekuasaan kolektif yang merusak.
Dalam model distribusi kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai, plato mengandaikan bahwa para penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan untuk mencapai kebaikan public dari kecerdasan mereka yang luar biasa. Oleh sebab itu, dengan merujuk  kepada system monarki yang lazim pada waktu itu, plato merumuskan bahwa pemerintahan akan adil jika raja yang berkuasa adalah seorang yang bijaksana. Kebijaksanaan (wisdom) kebanyakan dimiliki oleh filsuf. Maka konsepsi tentang “filsuf raja” atau “raja filsuf” banyak disebut sebagai inti teori plato mengenai kekuasaan Negara. Selain itu Plato mengatakan bahwa kebaikan public akan tercapai jika setiap potensi individu terpenuhi. Oligarki musti dicegah untuk menghindari supaya kelas penguasa tidak justru melayani diri mereka sendiri.
Teori-teori Plato memang masih mengandung banyak kelemahan karena adanya beberapa pertanyaan mendasar yang belum menjawab. Misalnya, bagaimana orang dapat menjamin bahwa “filsuf raja” akan punya ketulusan hati dalam usaha mereka mengejar keadilan dan tidak menjadi korup? Bagaimana setiap individu dapat mengetahui pontensi-potensinya? Sementara itu, jika dibandingkan dengan kondisi Negara-negara modern sekarang ini, model Plato terasa sangat utopis. Untuk menerima model ini kita perlu menerima pemikiran bahwa kualitas dasar individu secara alamiah berbeda. Seolah-olah orang-orang memang terlahir untuk menjadi raja, tentara, atau rakyat jelata. Model itu sebenarnya juga sekadar menawarkan suatu bentuk Negara-kota yang ideal dengan penduduk sekitar 50.000 orang. Betapapun abstrak dan utopisnya, pemikiran plato sudah mampu menjadi peletak dasar sistem kenegaraan modern. Legitimasi Negara tidak harus selalu dikaitkan dengan hal-hal supernatural dan masalah-masalah sacral yang ada diluar jangkauan pemikiran manusia.[8]
2.      Thomas Aquinas
Pemikir ini berusaha mendobrak keasyikan masyarakatnya dengan tempat mereka dalam kota manusia, hal-hal dunia, dan pemilikan material. Masalah keadilan diterjemahkannya ke dalam dua bentuk yaitu:
a)      Keadilan yang timbul dari transaksi-transaksi seperti pembelian penjualan yang sesuai dengan asas-asas distribusi pasar.
b)      Menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar terjadi bila seorang penguasa atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya berdasarkan pangkat. Sayangnya, dalam persoalan ini ada beberapa pemmikirannya yang kemudian terasa diskriminatif. Manusia, misalnya, dikatergorikan menjadi beberapa peringkat, yakni raja, bangsawan, ulama, tuan dan budak.
Kemudian, St. Thomas Aquinas membahas tentang hukum melalui pembedaan jenis-jenis hukum berikut ini menjadi tiga:
a.       Hukum Abadi (Lex Eterna)
Kebenaran dari huukum ini ditunjang oleh kearifan Illahi yang merupakan landasan dari segala ciptaan. Manusia merupakan salah-satu mahluk yang mencerminkan kebijaksanaan Sang Pencipta. Makhluk itu ada, dan bahwa makhluk itu berbentuk atau berkodrat sebagaimana adanya karena itulah yang dikehendaki-Nya. Oleh sebab itu, manusia sebagai makhluk yang berakal budi wajib memenuhi setiap apa yang menjadi kehendak Tuhan dan mempertanggungjawabkan secara sungguh-sungguh.
b.      Hukum Kodrat (Lex Naturalis)
Disamping mengemukakan hukum-hukum religious, Aquinas juga menghubungkannya dengan hukum moral yang terdapat di dalam Hukum Kodrat. Hukum ini dijadikannya sebagai dasar dari semua tuntutan moral. Tampak bahwa dia bukan hanya mengikuti arus dengan membuat pembahasan panjang-lebar irasional yang berkaitan dengan etika religious tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa Tuhan menghendaki keadilan. Menurut Aquinas, Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya. Itu berarti bahwa manusia hidup sedemikian rupa sehingga dapat berkembang, membangun dan menemukan identitasnya, serta dapat mencapai kebahagiaan. Aquinas menolak segala paham kewajiban yang tidak absah secara rasional dan tidak sesuai dengan martabat manusia.
c.       Hukum Buatan Manusia ( Lex Humana)
Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur tatanan social dengan nilai-nilai kebijakan dan keadilan. Norma-norma hukum berlaku karena adanya perjanjian antara penguasa dengan rakyatnya. Di dalamnya tersirat bahwa rakuat di satu pihak akan taat kepada penguasa, dan di lain pihak penguasa berjanji akan mempergunakan kekuasaannya demi kepentingan masyarakat atau kesejahteraan umum, namun di samping itu, Aquinas menekankan bahwa isi hukum buatan manusia hendaknya sesuai dengan hukum kodrat. Kekuasaan harus memiliki legitimasi etis. Kekuasaan hanyalah suatu kenyataan fisik dan social, tetapi tidak memuat suatu wewenang, secara radikal dia menegaskan bahwa hukum yang bertentangan dengan hukum kodrat tidak memiliki status hukum melainkan justru merupakan “penghancuran hukum”. Untuk itu, dalam hal kekuasaan raja atau Negara, Aquinas menggolongkan dua corak pemerintahan, yaitu: pemerintahan despotik dan pemerintahan politik. Pertama adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan, sedangkan yang kedua adalah pemerintahan yang sesuai dengan kodrat masyarakat sebagai kelompok individu yang bebas. Yang kita perlukan ialah kondisi yang bias mencegah bahwa Negara tidak punya kesempatan untuk mendirikan pemerintahan depotik. Sebaliknya kekuasaan harus memihak kepada rakyat atau masyarakat umum.[9]
3.      Niccolo Machiavelli
Pada saat Niccolo Machiavelii menulis pemikiran-pemikirannya tentang filsafat politik, ia menyaksikan terpecah belahnya kekuasaan di Italia dengan banyak munculnya Negara-Negara kota yang rapuh. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa ajaran-ajarannya kemudian mengandung sinisme yang keras terhadap moralitas di dalam kekuasaan. Dalam situasi di mana masyarakat penuh dengan intrik dan kekacauan, pernyataan-pernyataan yang menyangkut moral seringkali tidak relevan. penguasa dapat berbuat bagi kesejahteraan rakyatnya, pertama-tama yang harus dilakukannya adalah menyelamatkan kekuasaan itu sendiri. Machiavelli sesungguhnya sangat mendambakan suatu Negara yang kuat, kokoh, dan tidak selalu di rongrong oleh tindakan korup. Ia merindukan suatu keadaan di mana Negara merupakan pusat kekuasaan yang didukung sepenuhnya oleh rakyat banyak sehingga dapat menjalankan roda pemerintahan dengan lancar. Untuk itu sang pemimpin harus punya kekuataan untuk mempertahankan kekuasaannya. Satu-satunya kaidah etika politik yang dianut oleh Machiaveli ialah bahwa apa yang baik adalah segala sesuatu yang mampu menunjang kekuasaan Negara. Apa pun harus dibayar sampai ke arah situ. Alasan pembenar dari penyataan ini ialah desakan keadaan untuk segera mengatasi kekuasaan situasi chaotic yang bias menggoyahkan kestabilan kekuasaan Negara. Maka politikus praktis hendaknya lebih menaruh minat pada tindakan nyata dengan pedoman lebih menaruh minat pada tindakan nyata dengan pedoman-pedoman operasional yang langsung dapat diterapkan secara spontan karena desakan keadaan sehingga dapat menentukan prioritas kebijakan secara tepat.
Sayangnya, Machiavelli bergerak terlalu jauh ketika mengatakan bahwa tindakan-tindakan yang jahat pun dapat dimaafkan oleh masyarakat asal saja penguasa mencapai sukses. Bahwa kekejaman, asal dipakai secara tepat, merupakan sarana stabilisasi kekuasaan raja yang mutlak ada. Beberapa penryataan yang ekstrim mengenai pentingnya kekuasaan dapat dilihat dari kutipan secara berikut.
Oleh karena itu, raja harus membuat dirinya ditakuti sedemikian rupa sehingga kalau ia tidak dicintai rakyatnya, setidak-tidaknya ia tidak dibenci. Kalau raja berperang bersama dan memimpin pasukannya dan memimpin pasukannya yang besar, ia tidak perlu merasa khawatir disebut kejam. Karena tanpa sebutan itu , ia tidak akan pernah dapat mempersatukan dan mengatur pasukan.
Tampak bahwa Machiavelli ingin mengadakan pemisahan yang tegas antara prinsip-prinsip moral dan prinsip-prinsip ketatanegaraan. Agaknya dia tidak melihat bahwa kekuasaan yang hanya berlandaskan kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya merupakan kekuasaan yang rapuh. Selain itu Machiavelli tidak memperhitungkan bagaimana sikap-sikap masyarakat terhadap legitimasi kekuasaan. Akibatnya dia mengabaikan kemungkinan bahwa kekuasaan dapat goyah justru karena rakyat tidak menganggapnya sebagai kekuasaan yang sah.
Namun demikian, walau terdapat kelemahan-kelemahan mencolok dalam pemikiran Machiavelli, ia telah berhasil menyuarakan penderitaan rakyat yang tercerai-berai karena adanya intrik politik yang berkepanjangan. Setidak-tidaknya ia telah menegaskan bahwa suatu pemerintahan tidak seharusnya bertindak setengah-setengah. Jalur pemikirannya yang menjelaskan realitas politik itu untuk sebagian ternyata masuk akal, dan itu terbukti dari banyaknya pemikir yang juga mengikuti ajaran-ajarannya.[10]
4.      Thomas Hobbes
Dasar dari ajaran Hobbes adalah tinjauan psikologis terhadap motivasi tindakan manusia. Dia menemukan bahwa manusia selalu memiliki harapan dan keinginan yang terkadang absurd, licik dan emosional. Semua itu akan berpengaruh apabila seorang manusia menggenggam kekuasaan. Akan tetapi Hobbes tidak hanya asyik dengan pembahasan tentang teknik-teknik perebutan dan pertahanan kekuasaan sebagaimana Machiavelli, tetapi mengaitkan masalah-masalah tersebut dengan legitimasi kekuasaan politik.
Hobbes mengatakan bahwa untuk menertibkan tindakan manusa, mencegah kekacauan, dan mengatasi anarki, kita tidak mungkin mengandalkan kepada imbauan-imbauan moral. Negara harus membuat supaya manusia-manusia itu takut, dan perkakas utama yang mesti digunakan adalah tatanan hukum. Sebab itu Negara harus benar-benar kuat, sebagaimana dilukiskan sebagai makhluk Leviathan sebagai judul buku Hobbes, dan setiap saat mampu memaksakan hukum melalui ancaman-ancaman yang paling ditakuti manusa, yaitu hukuman mati. Supaya ancaman Negara itu betul-betul dipercayai orang, Negara hendaknya dibebaskan dari kewajiban untuk mengajukan pertanggunghawaban kepada siapapun. Pertimbangan satu-satunya pertanggungjawaban kepada siapapun. Pertimbangan satu-satunya yang mendasari pembentukan undang-undang oleh Negara adalah efisiensi social. Undang-undang digariskan dengan tujuan utama untuk mencegah anarki. Masyarakat tidak boleh terganggu oleh adanya konflik yang terus-menerus.Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan pribadi harus mengalah kepada otoritas Negara.
Dari seluruh pemikiran Hobbes mengenai kekuasaan Negara, kita melihat adanya upaya untuk mengatasi konflik-konflik kepentingan dari sudut padang ultitarian. Negara mesti berkuasa secara absolut jiga tidak ingi bahwa Negara itu akan keropos oleh begitu banyaknya anarki. Selain itu, Hobbes adalah orang yang pertama kali menyatakan dengan pasti paham positivisme hukum, bagi Hobbes hukum diatas segala-galanya. Sesuatu dianggap adil jika itu sesuai dengan undang-undang, betapa pun buruknya.
Sampai sedemikian jauh Hobbes rupanya lupa bahwa tindakan manusia tidak hanya ditentukan oleh emosinya. Manusia dikaruniakan akal budi yang akan menjadi penuntun baginya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan-kepentingannya dengan orang lain. Bahkan pendirian suatu Negara sesungguhnya tidak semata-mata karena pertimbangan emosional melainkan juga mengikutsertakan pemikiran-pemikiran rasional. Kecuali itu, dasar dari kekuasaan yang ditawarkan oleh Hobbes ternyata lemah. Bagaimanapun juga ancaman dan intimidasi bukan merupakan tempat berpijak yang kokoh bagi penguasa. Kesimpulan yang dapat diambil dari pemikiran Hobbes hanyalah bahwa pembatasan konflik itu dilakukan melalui saran hukum.[11]
5.      Jean-Jasques Rouusseau
Jika ditinjau dari titik-tolak ajaran-ajaran yang dikemukakannya Rousseau termasuk pemikir utopis, sebagaimana halnya Plato, yang berusaha menggambarkan suatu Negara ideal dengan tujuan mengajarkan perbaikan cita-cita rakyat. Dia berusaha mendefinisikan kembali keprihatinan  moral dalam komunitas moral sehingga dia mewakili sudut pandang alternative yang memberikan kekuasaan yang besar kepada komunitas sebagai satu keseluruhan. Jadi, berbeda dengan Hobbes yang menganggap bahwa kekuasaan berasal dari ketertiban dan berada pada seseorang penguasa tunggal, Rousseau memandang ketertiban yang dihasilkan sebagai akibat dari hak-hak yang sama.
Rousseau berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya manusia itu baik.Negara dibentuk karena adanya niat-niat baik untuk melestarikan kebebasan dan kesejahteraan individu. Guna menangani konflik-konflik yang akan selalu ada dalam masyarakat, Rousseau mendesakkan persamaan demi tujuan-tujuan yang lebih besar. Dia mengandaikan bahwa keinginan umum dan semua kesejahteraan individu akan muncul bersamaan. Dalam melihat dua sisi kepentingan ini, Rousseau mengatakan:
Para warga Negara setuju terhadap semua hukum, terhadap undang-undang sah yang bermaksud jahat kepadanya, dan bahkan terhadap undang-undang yang menghukumnya bila ia berani melanggarnya. Keinginan yang tidak berubah dari semua anggota Negara adalah keinginan umum, melalui hal itulah mereka menjadi warga Negara dan bebas. Ketika undang-undang diajukan dalam majelis rakyat, apa yang diminta dari mereka sebenarnya, apakah mereka menyetujui usulan itu atau menolaknya, tetapi apakah ia sesuai atau tidak dengan keinginan umum, yang adalah keinginan mereka sendiri; lalu masing-masih dalam meberikan suaranya menyatakan pendapatnya dan dari perhitungan suara diperoleh pernyataan keinginan umum.
Inilah landasan dari konsep kontrak socialRousseau yang begitu memikat.Segala bentuk kepentingan individu yang menyimpang dari kepentingan umum adalah salah, dan karena itu orang harus melihat kebebasan itu justru pada kesamaan yang terbentuk dalam komunitas.
Penilaian yang barangkali terlepas dari Rousseau adalah bahwa tidak setiap individu mempunyai itikad baik serta bersedia menyerahkan kebebasan individu demi kebaikan umum. Rousseau terlalu idealis dalam memandang manusia. Selain itu, dia ternyata telah menjungkarbalikkan logika secara a posteriori dengan mengatakan bahwa kepentingan publik kolektif senantiasa memperkuat kebebasan dan kesejahteraan individu sambil menguraikan bahwa setiap pribadi hendaknya tidak lagi menganggap dirinya sebagai kesatuan melainkan bagian dari kesatuan yang disebut komunitas.Akan tetapi, Rousseau sesungguhnya sangat mencintai kesamaan dan ketenangan yang dijamin oleh Negara melalui keutuhan masyarakat yang organis.[12]

BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Kata legitimasi berasal dari bahasa latin yaitu lex, yang berarti hukum, dimana legitimasi bukan hanya mengacu kepada kesesuaian dengan hukum formal tetapi juga hukum-hukum kemasyarakatan dan norma-norma etis. Legitimasi sosiologis menyangkut proses interaksi di dalam masyarakat yang sebagian mebagian besar kelompok sosial setuju bahwa seseorang patut memimpin mereka dalam periode pemerintahan tertentu. Sedangkan legitimasi etis mengandaikan bahwa setiap persoalan yang menyangkut manusia hendaknya diselesaikan secara etis termasuk persoalan kekuasaan dan legitimasi etis berada di belakang setiap tatanan normative dalam perilaku manusia. Menurut plato bahwa segala bentuk kebijakan itu berisi hal-hal  yang baik, serta suatu pemimpin harus mempunyai nalar yang besar sehingga kekuasaannya pun akan besar di pemerintahan,mempunyai sifat bijaksana dan adil. Menurut Thomas Aquinas berpendapat bahwa sumber keadilan itu adalah transaksi yang sesuai dengan ashar distribusi pasar serta member hak sesuai pangkatnya. Menurut Nicholo bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kekuatan dalam kepemimpinannya. Menurut Thomas Hobbes berpendapat behwa harus adanya suatu hukum yang membuat manusia takut contohnya hukuman manti dan menurut Jean-Jasques Rouusseau hukum itu dihasilkan dari hak-hak yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-dasar ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Kumorotomo, Wahyudi. 2013. Etika Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.
Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Politik. Jakarta: Gramedia

Internet :
http://kumpulanfiledokument.blogspot.com/2013/02/beberapa-konsepsi-tentang-legitimasi.html



[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, Hlm. 35.
[2] Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta, Rajawali Pers, 2013. Hlm. 51
[3] Ibid, Hlm. 55-52
[4] http://kumpulanfiledokument.blogspot.com/2013/02/beberapa-konsepsi-tentang-legitimasi.html
[5] Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, Gramedia 1988, Hlm. 58
[6] Wahyudi Kumorotomo, Op.cit., Hlm. 53-54
[7] Ibid, Hlm.55-56
[8] Ibid, Hlm. 56-58
[9] Ibid, Hlm. 58-69
[10] Ibid, Hlm. 60-62
[11] Ibid, Hlm. 62-64
[12] Ibid, Hlm. 64-66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar