TRANSFORMASI POLITIK DAN DINAMIKA
HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum
Tata Negara
Dosen
: Nandang Albian, SH.,MH.
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Nama
|
Nim
|
Jurusan/Kelas/Smt
|
Endah
Nurhidayah
|
1138010084
|
AN/C/III
|
Fani
Anggraeni
|
1138010093
|
AN/C/III
|
Gagan
Arif Aligani
|
1138010110
|
AN/C/III
|
Hani
Hoerunnisa
|
1138010117
|
AN/C/III
|
Hani
Siti Nurjanah
|
1138010118
|
AN/C/III
|
JURUSAN
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2014
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kehendak-Nyalah kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul “Transformasi
Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia”.
Makalah ini bertujuan
untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Tata Negara dan kami mencoba untuk memaparkan apa yang telah
kami tulis kedalam sebuah makalah ini.
Kami berharap setelah
selesainya tugas makalah ini, bisa bermanfaat bagi semuanya, dan berguna bagi
proses pembelajaran dan kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun karena makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari kata
kesempurnaan.
Dalam suatu perkataan
"tiada gading yang tak retak" artinya dalam suatu karya tak akan
luput dari kesalahan dan kekurangan sehingga kami memohon maaf jika makalah
yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan, serta kami ucapkan terima kasih
kepada dosen mata kuliah Hukum Tata Negara yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami semoga hasil
karya kami bisa bermanfaat untuk semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3
Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3
2.1 Pengertian Transformasi Politik ............................................................... 3
2.2 Sejarah Politik
Indonesia .......................................................................... 6
2.3 Transformasi Politik dan Dinamika Hukum
Tata Negara di Indonesia .. 12
2.4 Pelaksanaan Transformasi Politik dan
Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia 23
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 40
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 40
3.2 Saran ........................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Selama
hampir 57 tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah
perpolitikan dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita
yang berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan
Steriotipe. Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang
terjadi dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti Orde Lama, Orde Baru Dan
Kini Orde Reformasi.
Orde Baru
lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai
sebuah panorama bagi kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde
Reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan
ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif
ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan kebangsaan
bagi perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak
memberikan pertumbuhan wacana normatif bagi pemantapan ideologi nasional,
terutama melalui konvergensi nilai-nilai sosial-budaya (Madjid,1998) Orde
Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan masih dalam proses pencarian bentuk,
namun telah menancapakan satu tekad yang berguna bagi penumbuhan nilai
demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan HAM.
Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan
dinamika yang terjadi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan Transformasi Politik?
2.
Bagaimana Sejarah Politik Indonesia?
3.
Bagaimana Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di
Indonesia?
4.
Bagaimana Pelaksanaan Transformasi Politik dan Dinamika Hukum
Tata Negara di Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah
tersebut dapat disimpulkan tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1.
Untuk Mengetahui Apa Yang Dimaksud Transformasi
Politik.
2.
Untuk Mengetahui Sejarah Politik Indonesia.
3.
Untuk Mengetahui Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara
di Indonesia.
4.
Untuk Mengetahui Pelaksanaan Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata
Negara di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Transformasi Politik
Sebelum mengetahui apa yang dimaksud
dengan transformasi politik, sebelumnya kita harus mengetahui apa yang dimaksud
dengan transformasi serta apa yang dimaksud dengan politik. Transformasi adalah
suatu perubahan bentuk yang dialami dari masa ke masa, menurut kamus besar
bahasa Indonesia, transformasi adalah perubahan rupa. Sedangkan politik berasal
dari bahasa yunan polis yang artinya Negara-kota. Menurut Gabriel A
Almond et. La politik adalah kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan
keputusan public dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali
ini disokong melalui instrument yang sifatnya otoratif dan koersif. Jadi
transformasi politik adalah perubahan – konsep, bentuk, fungsi dan sifat –
politk untuk menyesuaikan dengan konstelasi dunia.
Selama
lebih dari 50 tahun sejak indonesia merdeka, atau tepatnya 1945 sampai 1998
ketika teradinya reformasi nasional (53 tahun sejak kemerdekaan), bidang ilmu
hukum tata negara atau constututional law agak kurang mendapat pasaran
dokalangan mahasiswa di Indonesia.
Hukum
tata negara dapat pula disebut dengan istilah Hukum Konstitusi sebagai
terjemahan dari istilah Constutional Law dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu
bidang kegiatannya selalu berkaitan dengan konstitusi. Namun dalam praktiknya selama
ini, bentuk konkret aktivitas Hukum Tata Negara atau Hukum konstitusi itu
biasanya selalu berhubungan dengan kegiatan-kegitatan politik disekitas Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Atau disekitar pembentukan undang-undang atau kegiatan
lagislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama sama dengan
presiden. Hukum Tata Negara pada umumnya membahas persoalan-persoalan akademis
yang berkaitan dengan undang-undang dasar, yang dalam praktiknya berhbungan
erat dengan fungsi-fungsi legislatif DPR atau fungsi-fungsi konstitutif
dilembaga MPR. Akibatnya, dunia Hukum Tata Negara itu seolah selalu berhubungn
dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan dinamika politik
ketatnegaraan.
Selama masa
orde baru yang lalu, bidang kegiatan yang diutamakan hanya yang kedua, yaitu
penyadaran hukum konstitusi, yaitu melalui kegiatan penataran pedoman,
penghayatan, dan pengalaman pancasila (P4).
Sementara itu kegiatan pertama adalah pembentukan norma-norma hukum
konstitusi, meskipun terus menerus dilakukan melalui pembentukan undang undang
peraturan perundang -undangan lainnya, tetapi ide pembentukan hukum itu hanya
terbatas kepada undang-undang kebawah. Sementara itu, ide perubahan terhadap
undang undang dasar sama sekali ditabukan.
Upaya
pembentukan hukum konstitusi bersifat evolving, terus tumbuh dan berkembang.
Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan, dan tetap
terbuka terus mengalami perubahan lagi diwaktu-waktu yang akan datang,
tergantung kebutuhan dan kemungkinan. Dengan meminjam istilah yang digunakan
oleh K.C. Wheare, upaya penyempurnaan atas kekurangan-kekurangan yang terdapat
dalam UUD 1945 tersebut juga dapat terus dilakukan, baik melalui formal
amendment, consttitutional convention, atau[un melalui judicial interpretation.
Disamping itu, proses pembentukan undang undang dan peraturan perundang
undangan lainnya menurut prosedur yang ditentukan oleh UUD1945 juga terus
dilakukan sehingga, proses pembentukan hukum konstitusi itu terus berkembang
dinamis dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan indonesia yang lebih baik
dimasa yang akan datang.
Dengan adanya
perluasan lahan praktik ini, hukum tata negara (constiutional law) dapat
diharapkan bergeser kearah orientasi yang lebih praktis dan terhindar dari kecenderungan
yang terlalalu berorientasi politik. Setidak tidaknya kecenderungan studi hukum
tata negara yang sngat berorientasi politik dapat diimbangi oleh orientasi yang
lebih teknis-yuridis. Dengan demikian, hukum tata negara sebagai cabang ilmu
hukum dapat berkembang sesuai dengan kompleksitas penemuan penemuan hukum dalam
praktik. Semakin kaya pengalaman empiris suatu cabang ilmu pengetahuan, semakin
terbuka luas pula potensinya untuk terus berkembang dengan teori-teori ilmiah
baru.[1]
2.2
Sejarah Politik
Indonesia
A.
Proklamasi
Pada tanggal 17 Agustus jam 10:00 WIB, Indonesia mengumandangkan
Proklamasi Kemerdekaannya ke seluruh dunia. Sejak dari Proklamasi Kemerdekaan
tersebut, sejarah Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang masih muda dalam
menyusun politik pemerintahan. Landasan berpijaknya adalah konstitusi dan
ideologi yang mereka ciptakan sendiri sesuai perkembangan budaya masyarakat. Tanggal 18
Agustus 1845 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan sidang dan
berhasil menetapkan konstitusi, presiden, dan wakil presiden.
1.
Periode 18
Agustus 1945-27 Desember 1949
Dalam periode
ini yang dipakai sebagai pegangan adalah UUD 1945, tetapi sudah barang tentu
belum dapat dijalankan secara murni dan konsekuen oleh karena bangsa Indonesia
baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Walaupun UUD 1945 ini telah
diberlakukan, namun yang baru dapat
terbentuk hanya presiden, wakil presiden, serta para menteri, dan para gubernur
sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
Tentang hal ini
dapat dilihat pada Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa untuk
pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI, jadi tidaklah
menyalahi apabila MPR/DPR RI belum dimanfaatkan karena pemilihan umum belum
diselenggarakan.[2]
Lembaga- lembaga tinggi Negara lain yang disebutkan dalam UUD 1945, belum dapat
diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat tersebut diatas.
Pada tanggal 5
Oktober 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah yang menyatakan berdirinya Tentara
Keamanan Rakyat, Dalam kongres komite nasional Indonesia (KNIP) pada tanggal 16
Oktober 1945 di Malang, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta mengeluarkan apa
yang disebut Maklumat X (baca eks). Maklumat ini berisikan penegasan terhadap
kata bantuan dalam Pasal IV aturan peralihan UUD 1945. Sejak Maklumat X ini
dikeluarkan kepada KNIP diberi wewenang untuk turut membuat Undang-undang dan
menetapkan GBHN.
Kemudian
dikeluarkan pula maklumat tanggal 14 Desember 1945. Kesan bahwa system
pemerintahan Indonesia ketika itu tidak demokraktik dapat dihilangkan dengan
adanya maklumat ini, yang merupakan konvensi kearah sistem pemerintahan
parlementer. Sejak saat itu system presidensil beralih kepada sistem
pemerintahan parlementer, walaupun tidak dikenal dalam UUD 1945.[3]
2.
Periode 27
Desember 1949-17 Agustus 1950
Dalam periode
ini republic Indonesia menjadi Negara serikat.[4]
Dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah Konstitusi
RIS.Undang-undang dasar ini terdiri dari Mukadimah, 197 Pasal dan 1 lampiran.
Dalam pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa Republik Indonesia yang.[5]
serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hokum yang demokrasi dan bentuk federasi. Sedangkan dalam Ayat
dilakukakn oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
System
pemerintahan adalah kabinet parlementer dapat dilihat dari bunyi pasal 118
Ayat 2 sebagai
berikut di bawah ini:
“Tanggung jawab
kebijaksanaan pemerintah berada di tangan menteri, tetapi apabila kebijaksanaan
menteri/para menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka
menteri/menteri-menteri itu harus mengundurkan diri. Atau DPR membubarkan
menteri-menteri (Kabinet) tersebut dengan alasan mosi tidak percaya.”
Dalam
konstitusi RIS juga dikenal adanya Senat. Senat tersebut mewakili Negara-negara
bagian, setiap Negara bagian mempunyai dua anggota dalam senat. Setiap anggota
senat mengeluarkan satu suara. Senat adalah suatu badan perwakilan Negara
bagian, yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh masing-masing pemerintah Negara
bagian masing-masing.
3.
Periode 17
Agustus 1950-5 juli 1959
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia walau pun konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) tahun 1950.[6]
Dalam pasal 1 Ayat 1 UUDS 1950 diuraikan bahwa Negara republic
Indonesia adalah Negara dengan bentuk kesauan. Sedangkan untuk melaksanakan
kepanjangan tangan pemrintah pusat serta pendelegasian wewenang,
diselenggarakan desentralisasi. Dalam pasal 131 disebutkan sebagai berikut:
“Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar kecil yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang….”
4.
Periode 5 juli
1959- sekarang
Demokrasi liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati
tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil dan makmur, sehingga pada
gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk dimajukan, karena setiap pihak baik
sipil (pegawai negeri dana parpol) dan militer (yang waktu itu dapat menentukan
sikap) saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain. UUDS 1950 dianggap
selama ini memang sudah melakukan penyimpangan dari cita-cita luhur proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemudian dicanangkanlah Demokrasi Terpimpin dalam
politik dalam negeri Republik Indonesia.
B.
Orde Lama
Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil dan akan
melaksanakan demokrasi sebaik-baiknya, serta kemakmuran rakyat yang
sebesar-besarnya. Bertolak belakang dengan realita dalam pemerintahan itu
sendiri, karena pada kenyataanya dan dalam perkembangannya kelihatan semakin
jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Sejak tiga tahun terakhir ini kelihatan
benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang-undang
Dasar. Presiden yang menurut UUDS 1950 adalah presiden konstitusional yang
tidak bertanggung[7]
jawab dan tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi
formatir kabinet. Dalam periode demokrasi terpimpin pemikiran ala demokrasi
barat banyak ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan
Negara Indonesia.
Banyaknya
partai merupakan salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam
pengambilan keputusan, karena dianggap terlalu banyak debat bersitegang urat
leher. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini, kemudian dibentuk yang
dikenal dengan nama Front Nasional. Demokrasi terpimpin diikuti pula dengan
adanya istilah ekonomi terpimpin. Ekonomi terpimpin ini sebagai konsep bidang
ekonomi dalam rangka pelaksanaan demokrasi terpimpin, yaitu lebih menekankan
keterlibatan pemerintah bahkan menjurus ke arah etatisme.[8]
C.
Orde Baru
Meningkatnya suhu politik pada
menjelang pada akhir tahun 1945 itu, dikaitkan dengan siapa pengganti presiden
soekarno kalau bersangkutan wafat, karena pemilihan umum sejak tahun 1955 tidak
pernah diadakan, situasi perpolitikan nasional menjelang runtuhnya Orde lama, setelah dekrit presiden 1959
terjadilah pemilu 1971,1977,1987,1992, dan 1997 yang menghasilkan terbentuknya
MPR untuk periode masing-masing, tetapi lembaga tinggi Negara tidak membahas
UUD[9] 45
dengan maksud merubah dan tidak pernah di agendakan. Secara politik UUD 45
adalah sebuah Contact, perjanjian antara sesame warga Negara, dan antara warga
Negara dengan pemerintah. Sejak tahun 1999 terjadi perubahan politik, ditandai
dengan munculnya kekuatan politik yang disebut reformasi.
D.
Orde Reformasi
Pada
tanggal 1 mei 1998 Secara politik UUD
45 tidak lagi efektif mengikat warga Negara dengan sesamanya, dan warga Negara
dengan pemerintah. Pada satu sisi seolah mempertahankan UUD 45, namun di sisi
lain memasukan pasal-pasal baru. Agenda reformasi belum mencapai arah yang
jelas, suara rakyat saat ini dibutuhkan untuk sekedar memperoleh kekuasaan dan
selanjutnya kebijakan justru tidak berpihak kepada rakyat.[10]
2.3
Transformasi
Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia
Untuk
memahami bagaimana proses dari Transformasi politik dan dinamika Hukum Tata
Negara di Indonesia, itu tidak terlepas dari system politiknya tersendiri, kita
harus mengetahui perubahan system politik Indonesia dari masa ke masa. Dinama
system politik adalah berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur dan
fungsi yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan (masyarakat/negara). Dan
system politik Indonesia adalah kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan
dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses
penentuan tujuan, upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan
penyusunan skala prioritasnya. Dimana system politik diindonesia terbagi dalam
beberapa masa yaitu system politik pada demokrasi Liberal, Terpimpin dan
Pancasila.
Demokrasi
sesungguhnya memiliki sejarah panjang sejak bangsa yunani kuno yang hidup pada
tahun 500 Sebelum Masehi (SM) menemukan dua kata yang amat populer sepanjang
masa, demos (rakyat) dan kratos (pemerintah) yang melahirkan istilah demokrasi.
Namun demikian dan yang beranggapan bahwa demokrasi sesungguhnya telah
dikembangkan gagasannya sejak masa Mesir kuno dan masa Mesopotamia kuno, yakni
3000 SM. Ada pula yang meyakini awal demokrasi yang sejati baru mulai 200 tahun
yang lalu, ketika Amerika Serikat melancarkan revolusi dan mengeluarkan
konstitusi yang terkenal demokratis. Perbedaan ini bukanlah hal yang
depersoalkan, karena pada hematnya hal tersebut menunjukan kekayaan wacana
tentang sejarah demokrasi. Meski ssesungguhnya banyak para sarjana sepakat
tonggak historis gagasan demokrasi dimulai masa Yunani Kuno, yakni masa di
temukannya istilah tersebut.
Sistem
demokrasi yang terdapat dinegara kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-6
sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democraty) yaitu
suatu bentuk pemerintahan dimana untuk
membuat keputusan keputusan politik dijalankan secara langsung pleh seluruh
warga negara yang bertindak berdasarkan mayoritas.[11]
1.
Demokrasi Liberal
Di
Indonesia, demokrasi liberal berlangsung sejal 3 November 1945, yaitu sejak
system multipartai berlaku melalui Maklumat Pemerintah. Sistem multipartai ini
lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku system parlementer
dalam naungan UUD 1945 periode pertama.
Demokrasi
liberal dikenal pula sebagai demokrasi-parlementer karena berlangsung dalam
system pemerintahan parlementer ketika berlaku UUD 1945 periode pertama,
Konstitusi RIS, dan UUDS 1950. Dengan demikian, demokrasi liberal secara formal
berakhir pada tanggal 5 Juli 1959, sedangkan secara material berakhir pada saat
gagasan Demokrasi-Terpimpin dilaksanakan antara lain melalui pidato Presiden
didepan Konstituante tanggal 10 November 1956 atau pada saat konsepsi presiden
tanggal 21 Februari 1957 dengan dibentuknya Dewan Nasional.[12]
Undang
undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan
eksekutif yang terdiri atas residen sebagai kepala negara konstitusional
(contitutional head) dan menteri menterinya mempunyai tanggung jawab
poitik.karena terjadinya koalisi beberapa partai dan salah satu partai tidak
segan menarik dukungannya, sehingga sering terjadi pergantian cabinet karena
belum terlaksananya program yang harus ia jalankan. Umumnya kabinet dalam masa
pra-pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih
lama dari rata-rata 8 bulan, dan hal ini menghabat perkembangan ekonomi dan
politik oleh karena pemerintah tidak mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan
programnya. Pun pemilihan umum tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang
diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat
antara pemerintah pusat dan beberapa daerah.[13]
Penyaluran
Tuntutan terlihat sangat intens (baik Frekuensinya maupun volumenya tinggi) dan
melebihi kapasitas system yang hidup, terutama kapasitas atau kemampuan mesin
politik resmi. Melalui system multipartai yang berkelebihan, penyaluran input
snagat besar, tetapi kesiapan kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya.
Timbullah krisis akibat meningkatnya pastisipasi dalam wujud stabilitas
pemerintahan/politik. Selektor dan penyaring berbagai tuntutan itu tidak
berfungsi efektif karena “gatekeeper” (elite politik) belum mempunyai konsesus
untuk bekerja sama, atau pola kerja sama belum cukup tersedia.[14]
Keyakinan atas hak asasi manusia demikian tinggi sehingga menumbuhkan
kesempatan dan kebebasan luas dengan segala eksesnya. Ideologisme atau aliran
pemikiran ideologis bertarung dengan aliran pemikiran pragmatic. Aliran
pragmatic dipahami oleh paham/aliran social-demokrat antaralain melalui PSI,
sedangkan yang ideologik diilhami oleh nasionalisme-radikal melaui PNI.[15]
Kekayaan alam dan manusia Indonesia masih bersifat potensial dan belum
didayagunakan secara maksimal. Akan tetapi, Beberapa cabinet, sesuai dengan
sifat pragmatic yang mengilhaminya, lebih menekankan pada pengolahan potensi
tersebut dan mengambil tindakan pengaturan distribusi.[16]
Gaya
Politik Bersifat idiologis, artinya lebih menitikberatkan factor yang
membedakan. Hal ini karena idiologi cenderung bersifat kaku dan tidak
kompromistik atau reformistik. Adanya kelompok-kelompok yang mengukuhi ideology
secara berlainan, bahkan bertentangan, berkulminasi pada saat berhadapan dengan
kebuntuan penetapan dasar Negara pada siding konstituante. Gaya politik yang
ideologik dalam konstituante ini dibawa ketengah rakyat oleh para elitenya
sehingga timbul ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat.
Pada
masa Demokrasi-Liberal, pastisipasi masa sangat tinggi sehingga memunculkan
anggapan bahwa seluruh lapisan rakyat telah berbudaya politik partisipasi.
Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya
menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaina terhadap peristiwa-peristiwa politik
yang terjadi.[17]
Percobaan kudeta dan pemberontakan , yang dibelaknganya tergambar adanya
keterlibatan/ keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat
yang bersangkutan memang telah sadar atau mereka hanya terbawa oleh pola-pola
aliran yang ada pada saat itu. Karena dalam periode tersebut pengaruh
Demokrasi-Barat lebih dominan, keterlibatan militer dalam arena politik (dalam
hal ini partisipasi politik) tidak terlalu jelas..[18]
2.
Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi
dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh
komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Dekrit
residen 5 juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari
keacetan politik memalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang undang
dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang residen untuk bertahan selama
sekurang kurangnya 5 tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang
mengangkat ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan
pembatasan waktu 5 tahun ini (undang undang dasar memungkinkan seorang presiden
untuk dipilih kembali) yang ditenukan oleh undang undang dasar.[19]
Pada periode demokrasi terpimpin
ini, pemikiran ala demokrasi barat banyak ditinggalkan. Soekarno pemegang
pimpinan nasional menyatakan bahwa demokrasi liberal (demokrasi parlementer)
tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Prosedur pemungutan suara
dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula sebagai tidak efektif.
Kemudian, ia memperkenalkan musyawarah untuk mufakat. Sistem multipartai oleh
tokoh politik tersebut dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas
pengambilan keputusan karena masyarakat lebih didorong kearah bentuk yang
fragmentaris. Untuk merealisasikan Demokrasi-Terpimpin ini, dibentuk badan yang
disebut Front Nasional. Periode ini disebut pula periode pelaksanaan UUD 1945
dalam keadaan ekstra-ordiner karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945.[20]
Sesuai dengan orientasi menuju satu
nilai mutlak, hak asasi manusia sering dikesampingkan. Sebaliknya, mobilisasi
kekuatan kea rah tujuan yang bernilai mutlak lebih digiatkan melalui antara
lain Front Nasional (amati dukungan untuk mengangkat Ir. Soekarno sebagai
presiden seumur hidup yang sebenarnya inkonstitusional). Pada periode ini,
orientasi yang ideologis, yang diantaranya melalui indoktrinasi lebih mendapat
angin daripada orientasi yang bersifat pragmatis. Karena konfigurasi yang
sebenarnya dalam FN tersebut masih mengembangkan berbagai ideology
masing-masing anggotanya, yaitu partai politik, terjadilah konflik kecil dan
konflik yang terselubung. Adapun konflik ideology yang lebih terbuka dapat
dicegah karena pengaruh tokoh politik dalam menjaga keseimbangan antarideologi
tersebut masih cukup efektif. Yang lebih berkecamuk adalah konflik kejiwaan
yang akhirnya meledak dan mengakibatkan hancurnya nilai sistemnya sendiri.[21]
Dengan
lebih diarahkannya aktivitas terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak,
pemerintah cenderung untuk lebih berperan dalam mengelola bidang ekstraktif dan
distributive. Sejalan dengan nilai tersebut di atas, timbullah keterlibatan
pemerintah dalam bidang perekonomian yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak
(sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang bersifat normative), ditandai dengan
reaksi yang menentang kebebasan ekonomi yang diperoleh dalam periode demokrasi
liberal.
Gaya
Politik pun Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi
secara formal melalui penpres tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian
(penpres No. 7-1959). Tokoh politik memperkenalkan gagasan nasionalisme, agama,
dan komunisme (Nasakom). Kompetisi Nasakomis masih dibenarkan karena dalam
kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan.[22]
Para pemimpin pada periode ini berasal dari Angkatan 1928 dan Angkatan 1945, dengan Soekarno sebagai titik
pusatnya..[23]
Saluran
input pastisipasi dibatasi, yaitu hanya melalui FN. Untuk menunjukan kesiapan
kelembagaannya, ditumbuhkanlah output simbolik, misalnya dalam bentuk rapat-rapat
raksasa yang menguntungkan rezim yang berkuasa pada saat itu. Akibatnya,
partisipasi pada hakikatnya lebih besar daripada kesiapan kelembagaan
pemerintahan. Hal ini berarti daya responsive pemerintah dimanipulasi melalui
pembentukan dukungan sebagai kamuflase sehingga bersifat maya (imajiner)
belaka. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap telah memiliki
budaya politik kaula karena diciptakan atas usaha dari rezim.
Stabilitas
pada periode ini ditinjau dari segi
tersedianya jangka waktu yang cukup lama untuk melaksanakan program
pemerintahan dan kontinuitas pemerintahan, dapat menelurkan prestasi
pembangunan. Namun, stabilitas ini (sebagai hasil berinteraksinya seluruh
variable) tidak diarahkan untuk melancarkan pembangunan bagi kesejahteraan
dalam arti luas. Itulah sebabnya tidak terjadi pelimpahan hasil pembangunan
ekonomi terhadap bidang politik karena pembangunan ekonomi tidak menjadi titik
berat kebijaksanaan pemerintah.[24]
3.
Demokrasi Pancasila
Landasan
Formal dari periode ini ialah pancasila, undang undang dasar 1945, serta
ketetapan ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan
terhadap undang undang dasar yang telah terjadi dalam masa demokrasi terpimpin,
telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MRPS No. III/1963 yang
menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk ir. Soekarno telah dibatalkan dan
jabatan presden kembali menjadi jabatan elektif setiap 5 tahun. Ketetapan MPRS
no. 19/1964 telah diganti dengan suatu undang undang baru (no.14/1970) yang
menetapkan kembali keasas kebebasan badan bdan pengadilan . dewan perwakilan
rakyat gotong royong diberi beberrapa hak kontrol di samping tetap mempunyai
fungsi untuk membantu pemerintah . pemimpinya tidak lagi mempunyai setatus
menteri . begitu pula tata tertib dewan perwakilan rakyat gotong royong yang
baru telah meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada presiden untuk
memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapai mufakat antara anggota
legislatif. Golongan karya , dimana anggota ABRI memainkan peranan penting,
diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa hak asasi
diusahakan supaya diselengarakan lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih
luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan kepada partai partai politik untuk bergerak dan menyusun
kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan
terbinanya partisipasi golongan glongan dalam masyarakat disamping diadakan
pembangunan ekonomi secara teratur serta terencana. [25]
Pada
periode Demokrasi-Pancasila ini penyaluran berbagai tuntutan yang hidup dalam
masyarakat menunjukan keseimbangan. Melalui hasil penyederhanaan system
kepartaian muncullah satu kekuatan politik yang dominan. Banyak akibat yang
ditumbuhkan oleh pola penyaluran tuntutan semacam ini, yang dalam kenyataannya
disalurkan secara formal melalui tiga kekuatan social politik, yaitu Golongan
Karya, PPP dan PDI [26]
Gaya ideologik tidak ada lagi, diganti oleh gaya intelektual yang pragmatic
antaralain melalui penyaluran kepentingan yang berorientasi pada program dan
pemecahan masalah.[27]
Perkembangan
lebih lanjut pada masa republik indonesia III (yang juga disebut orde baru yang
menggantikan orde lama) menunjukan peranan presiden yang semakin besar. Secara
lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan presiden karna presiden
suharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang palig dominan dalam sistem
pltik indonesia, tidak saja arna jabatannya sebagai presiden dalam sistem
presidensial , tetapi juga karna pengaruhnya yang dominan dalam elit politik
indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan
PKI dengan mengunakan surat perintah 11 maret (supersemar) memberikan peluang
yang besar kepada jendral suharto untuk tampil sebagai tokoh yang paling
berpengaruh di indonesia. Setatus ini membuka peluang bagi jendral suharto
untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti presiden soekarno.
Dibidang
politik, dominasi presiden soeharto telah membuat prresiden menjadi penguasa
mutlak karna tidak ada satu institusi/lembagapun yang dapat menjadi pengawas
presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengann penyelewengan kekuasaan
(abuse of power). Menjelang berakhirnya orde baru, elite politik semakin tidak
peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin membuat kebijakan kebijakan yang
mengunungkan para kroni dan merugikan negara dan rakyat banyak. Akibat dari
semua ini adalah smakin menguatkan kelompok kelompok yang menentang presiden
soehato dan orde baru. Yang menjadi pelopor penentang ini adalah para mahasiswa
dan pemuda.
Tumbangnya
orde baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di
indonesia. Pengalaman orde baru mengajarkan kepada bangsa indonesia bahwa
pelanggaran terhdap demokrasi membewa kehancuran bagi negara dan penderitaan
rakyat. Oleh kara it bangsa indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan
demoktarisasi, yakni proses pendemokratisasian sistem politik indonesia
sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakan dan
pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat
(DPR).
Presiden
habibi yang dilantik sebagai presiden untuk menggantika presiden soeharto dapat
di angggap sebagai presiden yang akan memulai langkah langkah demokratisasi
dalam orde repormasi. Oleh karna itu, langkah yang dilakukan pemerinttahan
habibi adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam
demokratiasi. UU politik yang meliputi UU partai politik , UU pemilu, dan UU
susunan dan kedudukan MPR DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1998. UU
politik ini jauh lebih demokratis di badingkan dengan uu sebelumnya dehingga
pemilu 1998 menjadi pemilu yang demoktaris yang diakui oleh dunia
international. Pada masa pemerintahan habibi juga terjadi demoktarisasi yang tidak
kalah pentingnya , yaitu penghapusan dui puingsi ABRI sehingga pungsi sosial
politik ABRI (sekarang TNI atau tentara nasional indonesia) dihilangkan. Fungsi
pertahanan menjadi fungsi satu satunya yang dimilki TNI semenjak reformasi
internal TNI tersebut.[28]
2.4
Pelaksanaan
Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia
Pada
dasarnya pelaksanaan praktik demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat ini
berwujudkan dalam pemilihan umum. Dimana pemilihan umum adalah suatu sarana
untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan
tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dan, ini adalah inti kehidupan demokrasi. Dalam
undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam bagian menimbang
butir a sampai c disebutkan: Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia
adalah negara yang berkedaulatan rakyat; Bahwa pemilihan umum merupakan sarana
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya
bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga
Permusyawaratan / Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk
mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. [29]
Dalam melakukan pemilihan umum terdapat beberapa system pemilihan umum yang
berlaku, seperti system distrik dan system proposional. Yang dimana dalam
pelaksanaanya terdapat berbagai kekurangan dan kelebihan nya masing-masing.
1.
System Distrik
System pemilihan distrik adalah
suatu system pemilihan yang wilayah negaranya dibagi atas distrik-distrik
pemilihan, yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang tersedia di parlemen.
Setiap distrik pemilihan memilih satu orang wakil dari calon-calon yang
diajukan oleh masing-masing partai politik/organisasi peserta pemilihan umum.
Oleh karena itu system ini juga disebut “Single-member constituency”.
Pihak yang menjadi pemenangnya (calon terpilih) adalah yang memperoleh suara
terbanyak (mayoritas) dalam distrik tersebut. Dalam pemilihan system distrik
ini terdapat segi positifnya, yaitu :
a. hubungan
antara si pemilih dengan wakilnya sangat dekat, karena itu partai-partai
politik tidak berani mencalonkan orang yang tidak popular (tidak dikenal) dalam
distrik tersebut. Terpilihnya seorang calon biasanya karena kualitas dan kepopulerannya,
dan baru kemudian kepopuleran partai politiknya.
b. System
ini mendorong bersatunya partai-partai politik. Karna calon yang terpilih hanya
satu beberapa partai politik dipaksa/terpaksa bergabung untuk mencalonkan
seorang yang lebih popular dan berkualitas serta berbakat diantara calon-calon
yang lain.
c. System
pemilihan ini akan mengakibatkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai
politik.
d. Organisasi
pemyelenggara pemilihan dengan system ini lebih ssederhana, tidak perlu memakai
banyak orang untuk duduk dalam panitia pemlihan. Biaya lebih murah dan
perhitungan suara lebih singkat karena tidak perlu menghitung sisa suara yang
terbuang.
Segi
negative dari system pemilihan distrik adalah sebagai berikut :
a. Kemungkinan
akan ada suara yang terbuang, bahkan ada kemungkinan calon terpilih mendapat
suara minoritas lawan-lawannya.
b. System
in akan menyulitkan partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas. Sukar
bagi mereka mempunyai wakil dilembaga perwakilan.
c. Terjadinya
pencerminan pendapat yang salah tingkat pertama dan tingkat kedua (the first
and the second stage of distortion of opinion). [30]
2.
System Pemilihan Proposional
System
Pemilihan Proposional adalah suatu system pemilihan dimana kursi yang tersedia
diparlemen dibagi-bagi kepada partai-partai politik (organisasi peserta
pemilihan umum) sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat partai
politik/organisasi peserta pemilihan yang bersangkutan. Oleh karena itu system
pemilihan umum ini disebut juga dengan “system berimbang”. Dalam system ini,
wilayah Negara merupakan sutau daerah pemilihan. Akan tetapi, karena luasnya
wilayah Negara dan jumlah penduduk warga Negara yang cukup banyak, wilayah itu
dibagi atas daerah-daerah pemilihan (misalnya provinsi menjadi satu daerah
pemilihan). Kepada derah-daerah pemilihan ini dibagikan sejumlah kursi yang
harus diperebutkan, luas daerah pemilihan, pertimbangan politik dan sebagainya.
Hal yang pasti adalah julah kursi yang diperebutkan pada masing-masing daeah
pemilihan lebih dari satu, karena itu system pemilihan proposional ini
disebut “ multi-member constituency”.
Sisa suara dari masing-masing peserta pemilihan tertentu tidak dapat lagi
digabungkan dengan sisa suara di daerah pemilihan lainnya.[31]
Hal positif dari system pemilihan ini adalah :
a. Suara
yang terbuang sangat sedikit
b. Partai-partai
politik kecil atau minoritas besar kmeungkinan mendapatkan kursi diparlemen
Dan segi
negative dari system pemilihan ini adalah :
a. System
ini mempermudah fragmentas partai politik dan timbulnya partai-partai politik
baru. System ini tidak menjurus kearah integrasi bemacam-macam golongan dalam
masyarakat, tetapi kecenderungan lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada
dan oleh karena itu kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan
persamaan-persamaan. Sebagai akibatnya system pemerintahan umum ini
memperbanyak jumlah partai politik.
b. Setiap
calon yang terpilih menadi anggota parlemen merasa dirinya lebih terikat kepada
partai politik yang mencalonkan dan kurang merasakan loyalitas kepada rakyat
yang telah memilihnya.
c. Banyaknya
partai politik yang mempersukar dalam membentuk pemerintahan yang stabil,
lebih-lebih dalam system pemerintahan parlementer. Karena pembentukan
pemerintah / cabinet harus didasarkan atas koalisi antara dua partai politik
atau lebih.
d. Terjadinya
pencerminan pendapat yang salah tingkat pertama (the first stage of
distortion of opinion)
Pelaksanaan
demokrasi di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu pelaksanaan
demokrasi pada masa revolusi, pelaksanaan demokrasi pada masa orde lama,
pelaksanaan demokrasi pada masa orde baru, dan pelaksanaan demokrasi era
reformasi sampai sekarang.
a)
Pelaksanaan
Demokrasi Pada Masa Revolusi (1945-1950)
Tahun
1945-1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke
Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik
karena masih adanya revolusi fisik. Karna keadaan awal kemerdekaan masih terdapat
sentralistik kekuasaan . hal itu terlihat pada pasal 4 aturan peralihan UUD
1945 yang menyebutkan bahwa sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini,
segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan dibantu oleh KNIP. Untuk
menghindari kesan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang absolute ,
pemerintah mengeluarkan :
1. Maklumat
Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga
legislative;
2. Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik;
3. Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945 tentang perubahan system pemerintahan
presidensil menjadi parlementer.
b)
Pelaksanaan
Demokrasi Pada Masa Orde Lama
1)
Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
pada
tahun 1050 terbentuklah Negara Kesatuan Republik indonesia yang disusun dalam
sebuah konstitusi (1950) yang mengatur penyelenggaraan pemilihan dalam pasal 53
menyatakan, “ kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu
dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak
pilih yang bersifat umum dan kebersamaan serta dalam pemungutan suara yang
rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.”
Atas dasar pasal ini pemerintah dan DPR membentuk UU No 7 Tahun 1953 tentang
pemilihan angggota kontituante dan anggota DPR, dan pada tanggal 29 september
1955 diselenggarakan pemilu yang pertama. [32]
Pada
masa ini terjadi pemilihan umum yang pertama diindonesia dilaksanakan pada
tahun 1955. Pemilu 1955 adalah perhelatan pesta demokrasi pertama yang
diselenggarakan bangsa ini, dan juga merupakan satu-satunya pemilu yang terjadi
pada era orde lama. Kala itu republic Indonesia baru saja menginjak 10 tahun
pascamerdeka 1945. Pada pemilu legislative
ini merupakan pemilu yang paling demokratis .[33]
Pada
masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (tahun
1955). Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang
kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang
diterapkan pada pemilu ini adalah sistem pemilu proporsional . Pelaksanaan
pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat, Tidak ada
pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan
intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan
menarik. Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu perorangan. Pemilu ini bertujuan
untuk memilih anggota DPR dan konstituante dengan jumlah kursi DPR yang
diperbutkan berjumlah 260, sedangkan kursi konstituante berjumlah 520 ditambah
wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. [34]
Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak
tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI
dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama
yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi
Parlementer berakhir.[35]
Pemilu
tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan Negara masih kurang kondusif;
beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) khususnya dalam pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini,
anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas rawan
digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu pun berlangsung aman. Pada masa
demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan
berkembangnya partai-partai politik, akan tetapi, praktik demokrasi pada masa
ini dinilai gagal di sebabkan :
a.
dominannya partai politik
b.
landasan social ekonomi yang masih lemah
c.
tidak mampunya konstituante bersidang untuk
mengganti UUDS 1950
Atas
dasar kegagalan itu, presiden mengeluarkam dekrit presiden 5 juli 1959 yang
isinya :
1) bubarnya
konstituante
2) kembali
ke UUD 1945 tidak berlaku UUDS 1950
3) pembentukan
MPRS dan DPAS
c)
Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Praktik
kehidupan demokratis, sebagaimana banyak terjadi dinegara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia sering terkecoh pada format politik yang
kelihatannya demokratis, tetapi pada praktiknya berwujud otoriter. Hal ini
terlihat ketika UUD 1945 di tetapkan kembali melalui dekrit presiden 5 juli
1959 da bertekad untuk melakukan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan
konsekuen. Akan tetapi pelaksanaanya belum terwujud pada masa ini, karena pada
masa ini cenderung memusatkan kekuasaannya pada presiden saja yang akhirnya
pada akhir tahun 1965 berada di ambang kehancuran, baik secara politik,
ekonomi, social, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Awal berlakunya lagi UUD
1945 yaitu pada masa demokrasi terpimpin. Dimana pada masa ini pemilihan umum
belum pernah atau belum sempat dilaksanakan, bahkan keinginan ini pun belum
ada.[36]
Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah
kerakyatan yang dipimpin oleh khitmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di
antara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan
nasakom.[37]
Ciri-cirinya adalah :
1.
tingginya dominasi presiden
2.
terbatasnya peran partai politik
3.
berkembangnya pengaruh PKI
dimana
ada beberapa penyimpangan pada masa demokrasi terpimpin ini, antara lain :
1) system
kepartaian jadi tidak jelas, dan para pemimpin partai banyak yang dipenjarakan.
2) peranan
parlemen lemah, bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk
DPRGR
3) jaminan
HAM lemah
4) terjadi
sentralistik kekuasaan
5) terbatasnya
peranan pers
6) kebijakan
politik luar negeri memihak ke RRC (Blok Timur) yang memicu terjadinya
peristiwa pemberontakan G 30 S PKI.
d)
Pelaksanaan
Demokrasi Pada Masa Orde Baru
Pelaksanaan
demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966.
Orde baru bertekad akan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Hal serupa seperti pemusatan kekuasaan terjadi lagi di era ini. [38]Pada
masa orde baru muncul keinginan untuk melaksanakan pemilihan umum kembali. Hal itu dianut dalam amanat rakyat
melalui Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1965 yang menyatakan antara lain: “pemilihan
umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia diselenggarakan dengan
pemungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 juli 1968”. Tetapi karna
kondisi politik yang belum memungkinkan, penyelenggaraan pemilihan umum dan kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan
untuk membiayai pemilihan umum tersebut, yang menyebabkan MPRS melalui
Ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968 menetapkan bahwa pemilihan umum
diselenggarakan selambat-lambatnya tanggal 5 juli 1971. Atas dasar ketetapan
MPRS ini presiden dan DPR menetapkan UU No 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum
Anggota-anggota badan permusyawaratan/perwakilan Rakyat dan UU No 16 tahun 1969
tentag susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. [39]
Pada
masa orde baru ini merujuk pada UU No 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum,
pengaturan mengenai sistem pemilu yang dipakai diatur dalam Bab VIII tentang
penetapan hasil pemilu pasal 23 ayat 1. Dimana pemilihan legislatif orde baru
menggunakan sistem perwakilan berimbang (proposional) daftar tertutup dan hanya
menggunakan DP (district magnitude)
propinsi saja. pada masa orde baru berhasil melakukan pemilihan umum
sebanyak enam kali, yaitu pada tahun 1971 untuk memilih anggota DPRD Tingkat
II, Tingkat I, dan DPR dimana pemilu ini menganut istem proporsional yang
diikuti 10 partai. Tahun 1977 sampai dengan 1987 sistem pemilihan umum yang
dipakai sama dengan sebelumnya. Pemilu tahun 1992 sistem pemilihan yang dipakai
adalah proporsional. Pemilu tahun 1997 dipakai system perwakilan berimbang
dengan stetsel daftar dengan jumalah
partai yang dalam pemilihan umum dalam 5 kali pemilihan ini yaitu tiga partai
yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Dengan ketentuan cara memilih atau memberikan suara
berdasar pada UU No 15 Tahun 1969 yang tercantum pada Bab VII Tentang
Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara Pasal 21 ayat (6). Menurut ketentuan
ini pemilih dapat memberikan suara dengan mencoblos salah satu gambar peserta
pemilu.[40] Seklaipun
demikian, perjalanan demokrasi pada masa orde baru dianggap gagal dengan alasan
:
1) tidak
ada rotasi kekuasaan eksekutif
2) rekrutmen
politik yang tertutup
3) pemilu
yang jauh dari semangat demokratis.
4) Pengakuan
HAM yang terbatas
5) Timbulnya
KKN yang merajalela.
Pada
masa orde baru dasar hukum yang dipakai setiap pemilihan umumpun berbeda antar
tahunnya dikarenakan terjadinya perubahan dan penyesuaian terhadap
undang-undang pemilu pada masa itu. Perubahan dasar hukum pada masa orde baru
dapat dilihat pada table berikut :
No
|
Pemilu
|
Dasar Hukum
|
Perubahan
|
1
|
1971
|
UU No 15
Tahun 1969
|
-
|
2
|
1977
|
UU No 4 Tahun
1975
|
Adanya penyederhanaan partai
peserta pemilu.
|
3
|
1982
|
UU No 2 Tahun
1980
|
Adanya penambahan anggota LPU
dari unsur parpol, Golkar, dan
ABRI. Serta pembentukan panitia
pengawas pemilu.
|
4
|
1987
|
UU No 1 Tahun
1985
|
Adanya penambahan jumlah wakil
ketua panitia pengawas pemilu.
|
5
|
1992
|
UU No 1 Tahun
1985
|
Adanya penambahan jumlah wakil
ketua panitia pengawas pemilu.
|
6
|
1997
|
UU No 1 Tahun
1985
|
Adanya penambahan jumlah wakil
ketua panitia pengawas pemilu
|
Pada pelaksanaan pemilu orde baru badan penyelenggaraanya dinakan
dengan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) pada setiap pemilu, namun terjadi perubahan
pada struktur anggota LPU tersendiri, yaitu pada pemilu tahun 1971 dan 1977
anggota LPU ialah pejabat pemerintah sendiri, pada pemilu tahun 1982 terjadi
perubhan sendiri dan penambahan sedikit dimana anggota LPU menjadi Anggota LPU
berasal dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.di tambah dengan pengawas pemilu 1 orang, dan pada tahun berikutnya
dengan dasar hukum yang berbeda hanya terjadi perubahan dan penambahan sedikit
yaitu pada pengawas pemilu yang tadinya berjumlah satu orang lalu bertambah
menjadi 5 orang. [41]
e)
Pelaksanaan
Demokrasi Orde Reformasi 1998- Sekarang
Demokrasi
pada masa reformasi pada dasarnya merupakan demokrasi dengan mendasarkan pada
pancasila dan UUD 1945 dengan penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan
peraturan yang tidak demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga tinggi dan
tertinggi Negara dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang
mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara
lembaga-lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. [42]
Derap reformasi merupakan gerak kesinambungan yang merefleksikan komitmen
bangsa Indonesia yang secra rasional dan sistematis bertekad untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi.yang antara lain berupa sikap
transparan dan aspiratif dalam segala pengambilan keputusan politik, pers yang
bebas, system pemilu yang jujur dan adil, pemisahan TNI dan Polri, system
otonomi daerah yang adil, dan prinsip good governance yang mengedepankan
profesionalisme birokrasi lembaga eksekutif, keberadaan badan legislative yang
kuat dan berwibawa, kekuasaan kehakiman yang independen dan impartial, partisipasi
masyarkat yang terorganisasi. [43]
reformasi yang menggerakan perubahan dari model kehidupan bernegara dengan
kedaulatan yang cenderung dipusatkan ditangan penguasa tunggal yang bersemayam
di pusat, ke model kehidupan bernegara dengan kedaulatan yang lebih
didistribusikan secara adil ke tangan rakyat. Reformasi politik yang
divita-citakan seperti itu pada ujung-ujungnya menyangkut reformasi hukum,
khususnya hukum konstitusi. Kalaupun bukan persoalan rumusan-rumusan formalnya,
reformasi korektif itu tentulah berkenaan dengan pemaknaan interpretatifnya,
dan sehubungan dengan hal ituu, selanjutnya jugaberkenaan dengan
pelaksanaaanya.[44]
Dengan adanya pemusatan kekuasaan munculah tuntutan yang mengemuka pada saat
itu yaitu pilihan kearah federal, akibat tuntutan daerah pada pusat inilah
akhirnya keluar UU No 22 Tahun 1999 yang lebih menekankan otonomi luas.
Pada era
reformasi hingga saat ini telah diadakan pemilihan umum sebanyak empat kali
yaitu pada tahun 1999 yang dilaksanakan dengan menggunakan system proporsional
berdasarkan stetsel daftaf, dengan dasar hukum UU No 3 Tahun 1999 Tentang
Pemilihan Umum,dan diikuti oleh 48 partai politik. Dalam UU ini organisasi
penyelenggara pemilu diatur mulai dari Bab III Tentang Penyelenggaraan dan
Organisasi yaitu dari pasal 8 hingga pasal 23. Secara teknis pada pemilu
legislatif tahun 1999 dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan
mandiri, yang terdiri dari atas unsur-unsur partai politik peserta pemilihan
umum dan pemerintah, yang bertanggung jawab kepada presiden. Pada pemilu ini
pun sudah memperhatikan kabupaten atau kota. Hanya saja pemilu ini persiapan
perangkat perundang-undangannya masih memihak status quo dan tidak mencerminkan
amanat reformasii, yang sekurang-kurangnya ada dua penjelasan, pertama pemilu
disipakan secra tergesa-gesa sehingg tidak member kesempatan kepada partai
politik untuk melakukan sosialisasi program kepada masyarakat luas, kedua,
perangkat perundang-undangan yang disiapkan masih bias kepentingan partai yang
orde baru.
Setelah
itu pemilu selanjutnya dilaksanakan pada tahun 2004 untuk mmilih anggota DPR,
DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota yang dilaksanakan dengan system
proporsional dengan daftar calon terbuka, pemilu yang memilih anggota DPD
dilaksanakan dengan system distrik berwakil banyak. Dengan dasar hukum yang
dipakai adalah UU No 12 tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Secara teknis yang menyelenggarakan pemilu adalah KPU yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri. Untuk tingkat pusat KPU berjumlah 11 orang sementara di tingkat
provinsi, kabupaten/kota berjumlah 5 orang. Pada pemilu 2004, DP tidak lagi
propinsi tetapi meliputi daerah yang lebih kecil lagi, dimana masing-masing DP
mendapat jatah 3 sampai 12 kursi, yang diikuti oleh 24 partai politik. Pada
pemilu tahun 2004 dan 2009 selain memilih partai dan calon partai, masyarakat
juga memilih anggota DPD yang dilakukan dengan mencoblos salah satu angggota
DPD dalam surat suara.
Kemudian
pemilu tahun 2009 yang terdapat 3 macam pemilu yaitu pemilu legislative pada 19
april 2009, pemilu presiden dan wakilnya pada 8 juli 2009, serta pemilu kepala
daerah dan wakilnya pada akhir 2008 dan awal 2009 yang menganut sistem
proposional daftar terbuka. Yang diikuti diikuti 41 partai politik nasional dan
6 partai lokal di Aceh. Dengan dasar hukum yang dipakai adalah UU No 10 Tahun
2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD. Pengaturan penyelenggara pemilu pada tahun 2009 diatur mulai dari
pasal 9 yang berbunyi pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPU.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Transformasi politik adalah perubahan konsep, bentuk, fungsi dan
sifat politik untuk menyesuaikan dengan konstelasi dunia.
2. Sejarah transformasi politik di awali dengan masa proklamasi, orde
lama, orde baru, dan reformasi.
[1]
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara, PT. Raja Grafika,
Jakarta, 2013, hlm. 253-259
[2]
Inu Kencana Syafiie dan
Azhari. Sistem Hukum Indonesia, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm. 34
[9]“Perubahan
Politik Indonesia” di buka pada,( http://www.slideshare.net/Hennov/perubahan-politik) di
akses pada tanggal 5 oktober 2014 pukul
20:15 WIB)
[10]
Inu Kencana Syafiie dan
Azhari, op.cit., hlm. 43
[11]
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Fokusmedia, Bandung, 2009, hlm.
37-38
[12]
Sahya Anggara, Sistem Politik Indonesia,
Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 157
[13]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 127-128
[14]
Sahya Anggara, op.cit., hlm. 158
[15]
Sahya Anggara, op.cit., hlm. 158
[16]
Sahya Anggara, op.cit., hlm. 158
[17]
Sahya Anggara, op.cit., hlm. 160
[18]
Sahya Anggara, op.cit., hlm. 160
[19]
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm.
129-130
[20]
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik
Indonesia, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006, Hlm. 193
[21]
Ibid, hlm 194-195
[22]
Ibid, hlm 196-197
[23]
Ibid,
[24]
Ibid, hlm 197-199
[25]
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 130
[26]
Rusadi Kantaprawira,op.cit., hlm. 199-200
[27]
Rusadi Kantaprawira, op.cit., hlm. 202-203
[28]
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 134
[29]
UUD no 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum
[30]
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, PT.
Raja Grafindo Pernada, Jakarta, 2012, hlm. 295-296
[31] Ibid, hlm. 293
[32]
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, PT.
Raja Grafindo Pernada, Jakarta, 2012, hlm. 288
[33]
Sahya Anggara, System Politik Indonesia
, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 231
[34]
Ibid.
diakses pada 5 oktober pukul 16.46 WIB
[36]
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, PT.
Raja Grafindo Pernada, Jakarta, 2012, hlm. 288
[37]
Sahya Anggara, Lop.cit., hlm, 277
[38] Ni’matul Huda, Lop.cit., hlm 271
[39] Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 288
[40]
UU No 15 Tahun 1969
Tentang Pemilihan Umum
[41] Bismar Arianto Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum legislatif Era Reformasi Di
Indonesia. Jurnal Fisip Umrah Vol.2, No.2, 2011: 126-140.
[42]
Sahya Anggara, op.cit., hlm. 278
[43]
Ni’matul Huda, lp.cit., hlm. 274
[44]
Soetandyo W., Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elman dan Huma, Jakata,
2002,
hlm 586.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggara,
Sahya. 2013.Sistem Politik Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia
Asshidqqie,
Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan
Pilar-pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika
Assidqqie,
Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Budiardjo,
Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Gaffar,
Afan. 2004. Politik Indonesia Transisi
Menuju Demokrasi.Yogyakarta. Pustaka
Pelajar
Huda,
Ni’matul. 2012. Hukum Tata Negara. Jakarta. Raja Grafindo Pernada.
Kantaprawira,
Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia.
Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syafiie,
Inu Kencana dan Azhari. 2012. Sistem
Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama
UUD
no 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum
Yusaha,
Abdy. 2007. Sistem Ketatanegaraan
Indonesia (Pasca Perubahan UUD 1945). Jakarta: Fokusmedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar