Jumat, 13 Februari 2015

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA




TRANSFORMASI POLITIK DAN DINAMIKA
HUKUM TATA NEGARA DI INDONESIA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Tata Negara
Dosen : Nandang Albian, SH.,MH.
Disusun Oleh :
Kelompok 2
Nama
Nim
Jurusan/Kelas/Smt
Endah Nurhidayah
1138010084
AN/C/III
Fani Anggraeni
1138010093
AN/C/III
Gagan Arif Aligani
1138010110
AN/C/III
Hani Hoerunnisa
1138010117
AN/C/III
Hani Siti Nurjanah
1138010118
AN/C/III

JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2014
 

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kehendak-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul “Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia”.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Tata Negara  dan  kami mencoba untuk memaparkan apa yang telah kami tulis kedalam sebuah makalah ini.
Kami berharap setelah selesainya tugas makalah ini, bisa bermanfaat bagi semuanya, dan berguna bagi proses pembelajaran dan kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun karena makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari kata kesempurnaan.
Dalam suatu perkataan "tiada gading yang tak retak" artinya dalam suatu karya tak akan luput dari kesalahan dan kekurangan sehingga kami memohon maaf jika makalah yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan, serta kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Hukum  Tata Negara yang telah memberikan  tugas makalah ini kepada kami semoga hasil karya kami bisa bermanfaat untuk semua.
                                                                                 Bandung, 03 Oktober 2014
                                                                                            
                                                                                                      Penyusun



                                        DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1     Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2     Rumusan Masalah ................................................................................... 2
1.3     Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3
2.1 Pengertian Transformasi Politik ............................................................... 3
2.2 Sejarah Politik Indonesia .......................................................................... 6
2.3 Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia .. 12       
2.4 Pelaksanaan Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara     di Indonesia   23
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 40
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 40
3.2 Saran ........................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. ii
 

 
BAB I

PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Selama hampir 57 tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe. Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti Orde Lama, Orde Baru Dan Kini Orde Reformasi.
Orde Baru lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde Reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan pertumbuhan wacana normatif bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui konvergensi nilai-nilai sosial-budaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi.
1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan Transformasi Politik?
2.      Bagaimana Sejarah Politik Indonesia?
3.      Bagaimana Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia?
4.      Bagaimana Pelaksanaan Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia?

1.3.       Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1.      Untuk Mengetahui Apa Yang Dimaksud Transformasi Politik.
2.      Untuk Mengetahui Sejarah Politik Indonesia.
3.      Untuk Mengetahui Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia.
4.      Untuk Mengetahui Pelaksanaan Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1        Pengertian Transformasi Politik
Sebelum mengetahui apa yang dimaksud dengan transformasi politik, sebelumnya kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan transformasi serta apa yang dimaksud dengan politik. Transformasi adalah suatu perubahan bentuk yang dialami dari masa ke masa, menurut kamus besar bahasa Indonesia, transformasi adalah perubahan rupa. Sedangkan politik berasal dari bahasa yunan polis yang artinya Negara-kota. Menurut Gabriel A Almond et. La politik adalah kegiatan yang berhubungan dengan kendali pembuatan keputusan public dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana kendali ini disokong melalui instrument yang sifatnya otoratif dan koersif. Jadi transformasi politik adalah perubahan – konsep, bentuk, fungsi dan sifat – politk untuk menyesuaikan dengan konstelasi dunia.
Selama lebih dari 50 tahun sejak indonesia merdeka, atau tepatnya 1945 sampai 1998 ketika teradinya reformasi nasional (53 tahun sejak kemerdekaan), bidang ilmu hukum tata negara atau constututional law agak kurang mendapat pasaran dokalangan mahasiswa di Indonesia.
Hukum tata negara dapat pula disebut dengan istilah Hukum Konstitusi sebagai terjemahan dari istilah Constutional Law dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu bidang kegiatannya selalu berkaitan dengan konstitusi. Namun dalam praktiknya selama ini, bentuk konkret aktivitas Hukum Tata Negara atau Hukum konstitusi itu biasanya selalu berhubungan dengan kegiatan-kegitatan politik disekitas Majelis Permusyawaratan Rakyat. Atau disekitar pembentukan undang-undang atau kegiatan lagislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama sama dengan presiden. Hukum Tata Negara pada umumnya membahas persoalan-persoalan akademis yang berkaitan dengan undang-undang dasar, yang dalam praktiknya berhbungan erat dengan fungsi-fungsi legislatif DPR atau fungsi-fungsi konstitutif dilembaga MPR. Akibatnya, dunia Hukum Tata Negara itu seolah selalu berhubungn dengan kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan dinamika politik ketatnegaraan.
Selama masa orde baru yang lalu, bidang kegiatan yang diutamakan hanya yang kedua, yaitu penyadaran hukum konstitusi, yaitu melalui kegiatan penataran pedoman, penghayatan, dan pengalaman pancasila (P4).  Sementara itu kegiatan pertama adalah pembentukan norma-norma hukum konstitusi, meskipun terus menerus dilakukan melalui pembentukan undang undang peraturan perundang -undangan lainnya, tetapi ide pembentukan hukum itu hanya terbatas kepada undang-undang kebawah. Sementara itu, ide perubahan terhadap undang undang dasar sama sekali ditabukan.
Upaya pembentukan hukum konstitusi bersifat evolving, terus tumbuh dan berkembang. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami empat kali perubahan, dan tetap terbuka terus mengalami perubahan lagi diwaktu-waktu yang akan datang, tergantung kebutuhan dan kemungkinan. Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh K.C. Wheare, upaya penyempurnaan atas kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut juga dapat terus dilakukan, baik melalui formal amendment, consttitutional convention, atau[un melalui judicial interpretation. Disamping itu, proses pembentukan undang undang dan peraturan perundang undangan lainnya menurut prosedur yang ditentukan oleh UUD1945 juga terus dilakukan sehingga, proses pembentukan hukum konstitusi itu terus berkembang dinamis dalam rangka penataan sistem ketatanegaraan indonesia yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Dengan adanya perluasan lahan praktik ini, hukum tata negara (constiutional law) dapat diharapkan bergeser kearah orientasi yang lebih praktis dan terhindar dari kecenderungan yang terlalalu berorientasi politik. Setidak tidaknya kecenderungan studi hukum tata negara yang sngat berorientasi politik dapat diimbangi oleh orientasi yang lebih teknis-yuridis. Dengan demikian, hukum tata negara sebagai cabang ilmu hukum dapat berkembang sesuai dengan kompleksitas penemuan penemuan hukum dalam praktik. Semakin kaya pengalaman empiris suatu cabang ilmu pengetahuan, semakin terbuka luas pula potensinya untuk terus berkembang dengan teori-teori ilmiah baru.[1]


2.2        Sejarah Politik Indonesia
A.           Proklamasi
Pada tanggal 17 Agustus jam 10:00 WIB, Indonesia mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaannya ke seluruh dunia. Sejak dari Proklamasi Kemerdekaan tersebut, sejarah Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang masih muda dalam menyusun politik pemerintahan. Landasan berpijaknya adalah konstitusi dan ideologi yang mereka ciptakan sendiri sesuai perkembangan budaya masyarakat. Tanggal 18 Agustus 1845 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan sidang dan berhasil menetapkan konstitusi, presiden, dan wakil presiden.
1.    Periode 18 Agustus 1945-27 Desember 1949
Dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah UUD 1945, tetapi sudah barang tentu belum dapat dijalankan secara murni dan konsekuen oleh karena bangsa Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Walaupun UUD 1945 ini telah diberlakukan,  namun yang baru dapat terbentuk hanya presiden, wakil presiden, serta para menteri, dan para gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat.
Tentang hal ini dapat dilihat pada Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa untuk pertama kalinya presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI, jadi tidaklah menyalahi apabila MPR/DPR RI belum dimanfaatkan karena pemilihan umum belum diselenggarakan.[2] Lembaga- lembaga tinggi Negara lain yang disebutkan dalam UUD 1945, belum dapat diwujudkan sehubungan dengan keadaan darurat tersebut diatas.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah yang menyatakan berdirinya Tentara Keamanan Rakyat, Dalam kongres komite nasional Indonesia (KNIP) pada tanggal 16 Oktober 1945 di Malang, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta mengeluarkan apa yang disebut Maklumat X (baca eks). Maklumat ini berisikan penegasan terhadap kata bantuan dalam Pasal IV aturan peralihan UUD 1945. Sejak Maklumat X ini dikeluarkan kepada KNIP diberi wewenang untuk turut membuat Undang-undang dan menetapkan GBHN.
Kemudian dikeluarkan pula maklumat tanggal 14 Desember 1945. Kesan bahwa system pemerintahan Indonesia ketika itu tidak demokraktik dapat dihilangkan dengan adanya maklumat ini, yang merupakan konvensi kearah sistem pemerintahan parlementer. Sejak saat itu system presidensil beralih kepada sistem pemerintahan parlementer, walaupun tidak dikenal dalam UUD 1945.[3]

2.    Periode 27 Desember 1949-17 Agustus 1950
Dalam periode ini republic Indonesia menjadi Negara serikat.[4] Dalam periode ini yang dipakai sebagai pegangan adalah Konstitusi RIS.Undang-undang dasar ini terdiri dari Mukadimah, 197 Pasal dan 1 lampiran. Dalam pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa Republik Indonesia yang.[5] serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu Negara hokum yang demokrasi  dan bentuk federasi. Sedangkan dalam Ayat dilakukakn oleh pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
System pemerintahan adalah kabinet parlementer dapat dilihat dari bunyi pasal 118
Ayat 2 sebagai berikut di bawah ini:
“Tanggung jawab kebijaksanaan pemerintah berada di tangan menteri, tetapi apabila kebijaksanaan menteri/para menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka menteri/menteri-menteri itu harus mengundurkan diri. Atau DPR membubarkan menteri-menteri (Kabinet) tersebut dengan alasan mosi tidak percaya.”
Dalam konstitusi RIS juga dikenal adanya Senat. Senat tersebut mewakili Negara-negara bagian, setiap Negara bagian mempunyai dua anggota dalam senat. Setiap anggota senat mengeluarkan satu suara. Senat adalah suatu badan perwakilan Negara bagian, yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh masing-masing pemerintah Negara bagian masing-masing.

3.    Periode 17 Agustus 1950-5 juli 1959
Pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia resmi kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia walau pun konstitusinya adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950.[6]
Dalam pasal 1 Ayat 1 UUDS 1950 diuraikan bahwa Negara republic Indonesia adalah Negara dengan bentuk kesauan. Sedangkan untuk melaksanakan kepanjangan tangan pemrintah pusat serta pendelegasian wewenang, diselenggarakan desentralisasi. Dalam pasal 131 disebutkan sebagai berikut:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang….”

4.    Periode 5 juli 1959- sekarang
Demokrasi liberal tidak semakin mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil dan makmur, sehingga pada gilirannya pembangunan ekonomi sulit untuk dimajukan, karena setiap pihak baik sipil (pegawai negeri dana parpol) dan militer (yang waktu itu dapat menentukan sikap) saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain. UUDS 1950 dianggap selama ini memang sudah melakukan penyimpangan dari cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemudian dicanangkanlah Demokrasi Terpimpin dalam politik dalam negeri Republik Indonesia.



B.       Orde Lama
Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil dan akan melaksanakan demokrasi sebaik-baiknya, serta kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Bertolak belakang dengan realita dalam pemerintahan itu sendiri, karena pada kenyataanya dan dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Sejak tiga tahun terakhir ini kelihatan benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Presiden yang menurut UUDS 1950 adalah presiden konstitusional yang tidak bertanggung[7] jawab dan tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatir kabinet. Dalam periode demokrasi terpimpin pemikiran ala demokrasi barat banyak ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan Negara Indonesia.
Banyaknya partai merupakan salah satu penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam pengambilan keputusan, karena dianggap terlalu banyak debat bersitegang urat leher. Untuk merealisasikan demokrasi terpimpin ini, kemudian dibentuk yang dikenal dengan nama Front Nasional. Demokrasi terpimpin diikuti pula dengan adanya istilah ekonomi terpimpin. Ekonomi terpimpin ini sebagai konsep bidang ekonomi dalam rangka pelaksanaan demokrasi terpimpin, yaitu lebih menekankan keterlibatan pemerintah bahkan menjurus ke arah etatisme.[8]

C.      Orde Baru
Meningkatnya suhu politik pada menjelang pada akhir tahun 1945 itu, dikaitkan dengan siapa pengganti presiden soekarno kalau bersangkutan wafat, karena pemilihan umum sejak tahun 1955 tidak pernah diadakan, situasi perpolitikan nasional menjelang runtuhnya  Orde lama, setelah dekrit presiden 1959 terjadilah pemilu 1971,1977,1987,1992, dan 1997 yang menghasilkan terbentuknya MPR untuk periode masing-masing, tetapi lembaga tinggi Negara tidak membahas UUD[9] 45 dengan maksud merubah dan tidak pernah di agendakan. Secara politik UUD 45 adalah sebuah Contact, perjanjian antara sesame warga Negara, dan antara warga Negara dengan pemerintah. Sejak tahun 1999 terjadi perubahan politik, ditandai dengan munculnya kekuatan politik yang disebut reformasi.
D.      Orde Reformasi
Pada tanggal 1 mei 1998   Secara politik UUD 45 tidak lagi efektif mengikat warga Negara dengan sesamanya, dan warga Negara dengan pemerintah. Pada satu sisi seolah mempertahankan UUD 45, namun di sisi lain memasukan pasal-pasal baru. Agenda reformasi belum mencapai arah yang jelas, suara rakyat saat ini dibutuhkan untuk sekedar memperoleh kekuasaan dan selanjutnya kebijakan justru tidak berpihak kepada rakyat.[10]

2.3        Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia
Untuk memahami bagaimana proses dari Transformasi politik dan dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia, itu tidak terlepas dari system politiknya tersendiri, kita harus mengetahui perubahan system politik Indonesia dari masa ke masa. Dinama system politik adalah berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan (masyarakat/negara). Dan system politik Indonesia adalah kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya. Dimana system politik diindonesia terbagi dalam beberapa masa yaitu system politik pada demokrasi Liberal, Terpimpin dan Pancasila.
Demokrasi sesungguhnya memiliki sejarah panjang sejak bangsa yunani kuno yang hidup pada tahun 500 Sebelum Masehi (SM) menemukan dua kata yang amat populer sepanjang masa, demos (rakyat) dan kratos (pemerintah) yang melahirkan istilah demokrasi. Namun demikian dan yang beranggapan bahwa demokrasi sesungguhnya telah dikembangkan gagasannya sejak masa Mesir kuno dan masa Mesopotamia kuno, yakni 3000 SM. Ada pula yang meyakini awal demokrasi yang sejati baru mulai 200 tahun yang lalu, ketika Amerika Serikat melancarkan revolusi dan mengeluarkan konstitusi yang terkenal demokratis. Perbedaan ini bukanlah hal yang depersoalkan, karena pada hematnya hal tersebut menunjukan kekayaan wacana tentang sejarah demokrasi. Meski ssesungguhnya banyak para sarjana sepakat tonggak historis gagasan demokrasi dimulai masa Yunani Kuno, yakni masa di temukannya istilah tersebut.
Sistem demokrasi yang terdapat dinegara kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democraty) yaitu suatu bentuk  pemerintahan dimana untuk membuat keputusan keputusan politik dijalankan secara langsung pleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan mayoritas.[11]

1.        Demokrasi  Liberal
Di Indonesia, demokrasi liberal berlangsung sejal 3 November 1945, yaitu sejak system multipartai berlaku melalui Maklumat Pemerintah. Sistem multipartai ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku system parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama.
Demokrasi liberal dikenal pula sebagai demokrasi-parlementer karena berlangsung dalam system pemerintahan parlementer ketika berlaku UUD 1945 periode pertama, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950. Dengan demikian, demokrasi liberal secara formal berakhir pada tanggal 5 Juli 1959, sedangkan secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi-Terpimpin dilaksanakan antara lain melalui pidato Presiden didepan Konstituante tanggal 10 November 1956 atau pada saat konsepsi presiden tanggal 21 Februari 1957 dengan dibentuknya Dewan Nasional.[12]
Undang undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri atas residen sebagai kepala negara konstitusional (contitutional head) dan menteri menterinya mempunyai tanggung jawab poitik.karena terjadinya koalisi beberapa partai dan salah satu partai tidak segan menarik dukungannya, sehingga sering terjadi pergantian cabinet karena belum terlaksananya program yang harus ia jalankan. Umumnya kabinet dalam masa pra-pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata 8 bulan, dan hal ini menghabat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pun pemilihan umum tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa daerah.[13]
Penyaluran Tuntutan terlihat sangat intens (baik Frekuensinya maupun volumenya tinggi) dan melebihi kapasitas system yang hidup, terutama kapasitas atau kemampuan mesin politik resmi. Melalui system multipartai yang berkelebihan, penyaluran input snagat besar, tetapi kesiapan kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Timbullah krisis akibat meningkatnya pastisipasi dalam wujud stabilitas pemerintahan/politik. Selektor dan penyaring berbagai tuntutan itu tidak berfungsi efektif karena “gatekeeper” (elite politik) belum mempunyai konsesus untuk bekerja sama, atau pola kerja sama belum cukup tersedia.[14] Keyakinan atas hak asasi manusia demikian tinggi sehingga menumbuhkan kesempatan dan kebebasan luas dengan segala eksesnya. Ideologisme atau aliran pemikiran ideologis bertarung dengan aliran pemikiran pragmatic. Aliran pragmatic dipahami oleh paham/aliran social-demokrat antaralain melalui PSI, sedangkan yang ideologik diilhami oleh nasionalisme-radikal melaui PNI.[15] Kekayaan alam dan manusia Indonesia masih bersifat potensial dan belum didayagunakan secara maksimal. Akan tetapi, Beberapa cabinet, sesuai dengan sifat pragmatic yang mengilhaminya, lebih menekankan pada pengolahan potensi tersebut dan mengambil tindakan pengaturan distribusi.[16]
Gaya Politik Bersifat idiologis, artinya lebih menitikberatkan factor yang membedakan. Hal ini karena idiologi cenderung bersifat kaku dan tidak kompromistik atau reformistik. Adanya kelompok-kelompok yang mengukuhi ideology secara berlainan, bahkan bertentangan, berkulminasi pada saat berhadapan dengan kebuntuan penetapan dasar Negara pada siding konstituante. Gaya politik yang ideologik dalam konstituante ini dibawa ketengah rakyat oleh para elitenya sehingga timbul ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat.
Pada masa Demokrasi-Liberal, pastisipasi masa sangat tinggi sehingga memunculkan anggapan bahwa seluruh lapisan rakyat telah berbudaya politik partisipasi. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaina terhadap peristiwa-peristiwa politik yang terjadi.[17] Percobaan kudeta dan pemberontakan , yang dibelaknganya tergambar adanya keterlibatan/ keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar atau mereka hanya terbawa oleh pola-pola aliran yang ada pada saat itu. Karena dalam periode tersebut pengaruh Demokrasi-Barat lebih dominan, keterlibatan militer dalam arena politik (dalam hal ini partisipasi politik) tidak terlalu jelas..[18]

2.        Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Dekrit residen 5 juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari keacetan politik memalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang undang dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang residen untuk bertahan selama sekurang kurangnya 5 tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu 5 tahun ini (undang undang dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditenukan oleh undang undang dasar.[19]
Pada periode demokrasi terpimpin ini, pemikiran ala demokrasi barat banyak ditinggalkan. Soekarno pemegang pimpinan nasional menyatakan bahwa demokrasi liberal (demokrasi parlementer) tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula sebagai tidak efektif. Kemudian, ia memperkenalkan musyawarah untuk mufakat. Sistem multipartai oleh tokoh politik tersebut dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas pengambilan keputusan karena masyarakat lebih didorong kearah bentuk yang fragmentaris. Untuk merealisasikan Demokrasi-Terpimpin ini, dibentuk badan yang disebut Front Nasional. Periode ini disebut pula periode pelaksanaan UUD 1945 dalam keadaan ekstra-ordiner karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945.[20]
Sesuai dengan orientasi menuju satu nilai mutlak, hak asasi manusia sering dikesampingkan. Sebaliknya, mobilisasi kekuatan kea rah tujuan yang bernilai mutlak lebih digiatkan melalui antara lain Front Nasional (amati dukungan untuk mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup yang sebenarnya inkonstitusional). Pada periode ini, orientasi yang ideologis, yang diantaranya melalui indoktrinasi lebih mendapat angin daripada orientasi yang bersifat pragmatis. Karena konfigurasi yang sebenarnya dalam FN tersebut masih mengembangkan berbagai ideology masing-masing anggotanya, yaitu partai politik, terjadilah konflik kecil dan konflik yang terselubung. Adapun konflik ideology yang lebih terbuka dapat dicegah karena pengaruh tokoh politik dalam menjaga keseimbangan antarideologi tersebut masih cukup efektif. Yang lebih berkecamuk adalah konflik kejiwaan yang akhirnya meledak dan mengakibatkan hancurnya nilai sistemnya sendiri.[21]
Dengan lebih diarahkannya aktivitas terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak, pemerintah cenderung untuk lebih berperan dalam mengelola bidang ekstraktif dan distributive. Sejalan dengan nilai tersebut di atas, timbullah keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak (sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang bersifat normative), ditandai dengan reaksi yang menentang kebebasan ekonomi yang diperoleh dalam periode demokrasi liberal.
Gaya Politik pun Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui penpres tentang syarat-syarat dan penyederhanaan kepartaian (penpres No. 7-1959). Tokoh politik memperkenalkan gagasan nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom). Kompetisi Nasakomis masih dibenarkan karena dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan.[22] Para pemimpin pada periode ini berasal dari Angkatan 1928 dan Angkatan  1945, dengan Soekarno sebagai titik pusatnya..[23]
Saluran input pastisipasi dibatasi, yaitu hanya melalui FN. Untuk menunjukan kesiapan kelembagaannya, ditumbuhkanlah output simbolik, misalnya dalam bentuk rapat-rapat raksasa yang menguntungkan rezim yang berkuasa pada saat itu. Akibatnya, partisipasi pada hakikatnya lebih besar daripada kesiapan kelembagaan pemerintahan. Hal ini berarti daya responsive pemerintah dimanipulasi melalui pembentukan dukungan sebagai kamuflase sehingga bersifat maya (imajiner) belaka. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap telah memiliki budaya politik kaula karena diciptakan atas usaha dari rezim.
Stabilitas pada periode ini  ditinjau dari segi tersedianya jangka waktu yang cukup lama untuk melaksanakan program pemerintahan dan kontinuitas pemerintahan, dapat menelurkan prestasi pembangunan. Namun, stabilitas ini (sebagai hasil berinteraksinya seluruh variable) tidak diarahkan untuk melancarkan pembangunan bagi kesejahteraan dalam arti luas. Itulah sebabnya tidak terjadi pelimpahan hasil pembangunan ekonomi terhadap bidang politik karena pembangunan ekonomi tidak menjadi titik berat kebijaksanaan pemerintah.[24]

3.        Demokrasi Pancasila
Landasan Formal dari periode ini ialah pancasila, undang undang dasar 1945, serta ketetapan ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap undang undang dasar yang telah terjadi dalam masa demokrasi terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MRPS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presden kembali menjadi jabatan elektif setiap 5 tahun. Ketetapan MPRS no. 19/1964 telah diganti dengan suatu undang undang baru (no.14/1970) yang menetapkan kembali keasas kebebasan badan bdan pengadilan . dewan perwakilan rakyat gotong royong diberi beberrapa hak kontrol di samping tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah . pemimpinya tidak lagi mempunyai setatus menteri . begitu pula tata tertib dewan perwakilan rakyat gotong royong yang baru telah meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapai mufakat antara anggota legislatif. Golongan karya , dimana anggota ABRI memainkan peranan penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa hak asasi diusahakan supaya diselengarakan lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan kepada partai partai  politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan glongan dalam masyarakat disamping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur serta terencana. [25]
Pada periode Demokrasi-Pancasila ini penyaluran berbagai tuntutan yang hidup dalam masyarakat menunjukan keseimbangan. Melalui hasil penyederhanaan system kepartaian muncullah satu kekuatan politik yang dominan. Banyak akibat yang ditumbuhkan oleh pola penyaluran tuntutan semacam ini, yang dalam kenyataannya disalurkan secara formal melalui tiga kekuatan social politik, yaitu Golongan Karya, PPP dan PDI [26] Gaya ideologik tidak ada lagi, diganti oleh gaya intelektual yang pragmatic antaralain melalui penyaluran kepentingan yang berorientasi pada program dan pemecahan masalah.[27]
Perkembangan lebih lanjut pada masa republik indonesia III (yang juga disebut orde baru yang menggantikan orde lama) menunjukan peranan presiden yang semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan presiden karna presiden suharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang palig dominan dalam sistem pltik indonesia, tidak saja arna jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidensial , tetapi juga karna pengaruhnya yang dominan dalam elit politik indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan mengunakan surat perintah 11 maret (supersemar) memberikan peluang yang besar kepada jendral suharto untuk tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di indonesia. Setatus ini membuka peluang bagi jendral suharto untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti presiden soekarno.
Dibidang politik, dominasi presiden soeharto telah membuat prresiden menjadi penguasa mutlak karna tidak ada satu institusi/lembagapun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengann penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Menjelang berakhirnya orde baru, elite politik semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin membuat kebijakan kebijakan yang mengunungkan para kroni dan merugikan negara dan rakyat banyak. Akibat dari semua ini adalah smakin menguatkan kelompok kelompok yang menentang presiden soehato dan orde baru. Yang menjadi pelopor penentang ini adalah para mahasiswa dan pemuda.
Tumbangnya orde baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di indonesia. Pengalaman orde baru mengajarkan kepada bangsa indonesia bahwa pelanggaran terhdap demokrasi membewa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh kara it bangsa indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demoktarisasi, yakni proses pendemokratisasian sistem politik indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakan dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Presiden habibi yang dilantik sebagai presiden untuk menggantika presiden soeharto dapat di angggap sebagai presiden yang akan memulai langkah langkah demokratisasi dalam orde repormasi. Oleh karna itu, langkah yang dilakukan pemerinttahan habibi adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratiasi. UU politik yang meliputi UU partai politik , UU pemilu, dan UU susunan dan kedudukan MPR DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1998. UU politik ini jauh lebih demokratis di badingkan dengan uu sebelumnya dehingga pemilu 1998 menjadi pemilu yang demoktaris yang diakui oleh dunia international. Pada masa pemerintahan habibi juga terjadi demoktarisasi yang tidak kalah pentingnya , yaitu penghapusan dui puingsi ABRI sehingga pungsi sosial politik ABRI (sekarang TNI atau tentara nasional indonesia) dihilangkan. Fungsi pertahanan menjadi fungsi satu satunya yang dimilki TNI semenjak reformasi internal TNI tersebut.[28]

2.4        Pelaksanaan Transformasi Politik dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia
Pada dasarnya pelaksanaan praktik demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat ini berwujudkan dalam pemilihan umum. Dimana pemilihan umum adalah suatu sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini adalah inti kehidupan demokrasi. Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan: Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat; Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan / Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. [29] Dalam melakukan pemilihan umum terdapat beberapa system pemilihan umum yang berlaku, seperti system distrik dan system proposional. Yang dimana dalam pelaksanaanya terdapat berbagai kekurangan dan kelebihan nya masing-masing.
1.        System Distrik
System pemilihan distrik adalah suatu system pemilihan yang wilayah negaranya dibagi atas distrik-distrik pemilihan, yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang tersedia di parlemen. Setiap distrik pemilihan memilih satu orang wakil dari calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai politik/organisasi peserta pemilihan umum. Oleh karena itu system ini juga disebut “Single-member constituency”. Pihak yang menjadi pemenangnya (calon terpilih) adalah yang memperoleh suara terbanyak (mayoritas) dalam distrik tersebut. Dalam pemilihan system distrik ini terdapat segi positifnya, yaitu :
a.    hubungan antara si pemilih dengan wakilnya sangat dekat, karena itu partai-partai politik tidak berani mencalonkan orang yang tidak popular (tidak dikenal) dalam distrik tersebut. Terpilihnya seorang calon biasanya karena kualitas dan kepopulerannya, dan baru kemudian kepopuleran partai politiknya.
b.    System ini mendorong bersatunya partai-partai politik. Karna calon yang terpilih hanya satu beberapa partai politik dipaksa/terpaksa bergabung untuk mencalonkan seorang yang lebih popular dan berkualitas serta berbakat diantara calon-calon yang lain.
c.    System pemilihan ini akan mengakibatkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai politik.
d.   Organisasi pemyelenggara pemilihan dengan system ini lebih ssederhana, tidak perlu memakai banyak orang untuk duduk dalam panitia pemlihan. Biaya lebih murah dan perhitungan suara lebih singkat karena tidak perlu menghitung sisa suara yang terbuang.
Segi negative dari system pemilihan distrik adalah sebagai berikut :
a.    Kemungkinan akan ada suara yang terbuang, bahkan ada kemungkinan calon terpilih mendapat suara minoritas lawan-lawannya.
b.    System in akan menyulitkan partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas. Sukar bagi mereka mempunyai wakil dilembaga perwakilan.
c.    Terjadinya pencerminan pendapat yang salah tingkat pertama dan tingkat kedua (the first and the second stage of distortion of opinion). [30]
2.        System Pemilihan Proposional
System Pemilihan Proposional adalah suatu system pemilihan dimana kursi yang tersedia diparlemen dibagi-bagi kepada partai-partai politik (organisasi peserta pemilihan umum) sesuai dengan imbangan perolehan suara yang didapat partai politik/organisasi peserta pemilihan yang bersangkutan. Oleh karena itu system pemilihan umum ini disebut juga dengan “system berimbang”. Dalam system ini, wilayah Negara merupakan sutau daerah pemilihan. Akan tetapi, karena luasnya wilayah Negara dan jumlah penduduk warga Negara yang cukup banyak, wilayah itu dibagi atas daerah-daerah pemilihan (misalnya provinsi menjadi satu daerah pemilihan). Kepada derah-daerah pemilihan ini dibagikan sejumlah kursi yang harus diperebutkan, luas daerah pemilihan, pertimbangan politik dan sebagainya. Hal yang pasti adalah julah kursi yang diperebutkan pada masing-masing daeah pemilihan lebih dari satu, karena itu system pemilihan proposional ini disebut  multi-member constituency”. Sisa suara dari masing-masing peserta pemilihan tertentu tidak dapat lagi digabungkan dengan sisa suara di daerah pemilihan lainnya.[31] Hal positif dari system pemilihan ini adalah :
a.    Suara yang terbuang sangat sedikit
b.    Partai-partai politik kecil atau minoritas besar kmeungkinan mendapatkan kursi diparlemen
Dan segi negative dari system pemilihan ini adalah :
a.    System ini mempermudah fragmentas partai politik dan timbulnya partai-partai politik baru. System ini tidak menjurus kearah integrasi bemacam-macam golongan dalam masyarakat, tetapi kecenderungan lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan oleh karena itu kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Sebagai akibatnya system pemerintahan umum ini memperbanyak jumlah partai politik.
b.    Setiap calon yang terpilih menadi anggota parlemen merasa dirinya lebih terikat kepada partai politik yang mencalonkan dan kurang merasakan loyalitas kepada rakyat yang telah memilihnya.
c.    Banyaknya partai politik yang mempersukar dalam membentuk pemerintahan yang stabil, lebih-lebih dalam system pemerintahan parlementer. Karena pembentukan pemerintah / cabinet harus didasarkan atas koalisi antara dua partai politik atau lebih.
d.   Terjadinya pencerminan pendapat yang salah tingkat pertama (the first stage of distortion of opinion)
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi, pelaksanaan demokrasi pada masa orde lama, pelaksanaan demokrasi pada masa orde baru, dan pelaksanaan demokrasi era reformasi sampai sekarang.


a)        Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Revolusi (1945-1950)
Tahun 1945-1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan dengan baik karena masih adanya revolusi fisik. Karna keadaan awal kemerdekaan masih terdapat sentralistik kekuasaan . hal itu terlihat pada pasal 4 aturan peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang absolute , pemerintah mengeluarkan :
1.    Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah menjadi lembaga legislative;
2.    Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik;
3.    Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 tentang perubahan system pemerintahan presidensil menjadi parlementer.
b)       Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Orde Lama
1)        Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
pada tahun 1050 terbentuklah Negara Kesatuan Republik indonesia yang disusun dalam sebuah konstitusi (1950) yang mengatur penyelenggaraan pemilihan dalam pasal 53 menyatakan, “ kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan kebersamaan serta dalam pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara yang juga menjamin kebebasan mengeluarkan suara.” Atas dasar pasal ini pemerintah dan DPR membentuk UU No 7 Tahun 1953 tentang pemilihan angggota kontituante dan anggota DPR, dan pada tanggal 29 september 1955 diselenggarakan pemilu yang pertama. [32]
Pada masa ini terjadi pemilihan umum yang pertama diindonesia dilaksanakan pada tahun 1955. Pemilu 1955 adalah perhelatan pesta demokrasi pertama yang diselenggarakan bangsa ini, dan juga merupakan satu-satunya pemilu yang terjadi pada era orde lama. Kala itu republic Indonesia baru saja menginjak 10 tahun pascamerdeka 1945. Pada pemilu legislative  ini merupakan pemilu yang paling demokratis .[33]
Pada masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (tahun 1955). Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalah sistem pemilu proporsional . Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat,  Tidak ada pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu ini diikuti 27 partai dan satu perorangan. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota DPR dan konstituante dengan jumlah kursi DPR yang diperbutkan berjumlah 260, sedangkan kursi konstituante berjumlah 520 ditambah wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. [34] Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai. Kabinet Ali (I dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi  Parlementer berakhir.[35]
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan Negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya dalam pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu pun berlangsung aman. Pada masa demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan berkembangnya partai-partai politik, akan tetapi, praktik demokrasi pada masa ini dinilai gagal di sebabkan :
a.          dominannya partai politik
b.          landasan social ekonomi yang masih lemah
c.          tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu, presiden mengeluarkam dekrit presiden 5 juli 1959 yang isinya :
1)   bubarnya konstituante
2)   kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUDS 1950
3)   pembentukan MPRS dan DPAS
c)        Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Praktik kehidupan demokratis, sebagaimana banyak terjadi dinegara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia sering terkecoh pada format politik yang kelihatannya demokratis, tetapi pada praktiknya berwujud otoriter. Hal ini terlihat ketika UUD 1945 di tetapkan kembali melalui dekrit presiden 5 juli 1959 da bertekad untuk melakukan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Akan tetapi pelaksanaanya belum terwujud pada masa ini, karena pada masa ini cenderung memusatkan kekuasaannya pada presiden saja yang akhirnya pada akhir tahun 1965 berada di ambang kehancuran, baik secara politik, ekonomi, social, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Awal berlakunya lagi UUD 1945 yaitu pada masa demokrasi terpimpin. Dimana pada masa ini pemilihan umum belum pernah atau belum sempat dilaksanakan, bahkan keinginan ini pun belum ada.[36] Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh khitmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di antara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasakom.[37] Ciri-cirinya adalah :
    1.          tingginya dominasi presiden
    2.          terbatasnya peran partai politik
    3.          berkembangnya pengaruh PKI
dimana ada beberapa penyimpangan pada masa demokrasi terpimpin ini, antara lain :
1)   system kepartaian jadi tidak jelas, dan para pemimpin partai banyak yang dipenjarakan.
2)   peranan parlemen lemah, bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR
3)   jaminan HAM lemah
4)   terjadi sentralistik kekuasaan
5)   terbatasnya peranan pers
6)   kebijakan politik luar negeri memihak ke RRC (Blok Timur) yang memicu terjadinya peristiwa pemberontakan G 30 S PKI.

d)   Pelaksanaan Demokrasi Pada Masa Orde Baru
Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde baru bertekad akan melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Hal serupa seperti pemusatan kekuasaan terjadi lagi di era ini. [38]Pada masa orde baru muncul keinginan untuk melaksanakan pemilihan umum  kembali. Hal itu dianut dalam amanat rakyat melalui Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1965 yang menyatakan antara lain: “pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia diselenggarakan dengan pemungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 juli 1968”. Tetapi karna kondisi politik yang belum memungkinkan, penyelenggaraan pemilihan umum  dan kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan untuk membiayai pemilihan umum tersebut, yang menyebabkan MPRS melalui Ketetapan MPRS No. XLII/MPRS/1968 menetapkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan selambat-lambatnya tanggal 5 juli 1971. Atas dasar ketetapan MPRS ini presiden dan DPR menetapkan UU No 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum Anggota-anggota badan permusyawaratan/perwakilan Rakyat dan UU No 16 tahun 1969 tentag susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. [39]
Pada masa orde baru ini merujuk pada UU No 15 tahun 1969 tentang pemilihan umum, pengaturan mengenai sistem pemilu yang dipakai diatur dalam Bab VIII tentang penetapan hasil pemilu pasal 23 ayat 1. Dimana pemilihan legislatif orde baru menggunakan sistem perwakilan berimbang (proposional) daftar tertutup dan hanya menggunakan DP (district magnitude)  propinsi saja. pada masa orde baru berhasil melakukan pemilihan umum sebanyak enam kali, yaitu pada tahun 1971 untuk memilih anggota DPRD Tingkat II, Tingkat I, dan DPR dimana pemilu ini menganut istem proporsional yang diikuti 10 partai. Tahun 1977 sampai dengan 1987 sistem pemilihan umum yang dipakai sama dengan sebelumnya. Pemilu tahun 1992 sistem pemilihan yang dipakai adalah proporsional. Pemilu tahun 1997 dipakai system perwakilan berimbang dengan stetsel daftar  dengan jumalah partai yang dalam pemilihan umum dalam 5 kali pemilihan ini yaitu tiga partai yaitu PPP, PDI, dan Golkar. Dengan ketentuan cara memilih atau memberikan suara berdasar pada UU No 15 Tahun 1969 yang tercantum pada Bab VII Tentang Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara Pasal 21 ayat (6). Menurut ketentuan ini pemilih dapat memberikan suara dengan mencoblos salah satu gambar peserta pemilu.[40] Seklaipun demikian, perjalanan demokrasi pada masa orde baru dianggap gagal dengan alasan :
1)   tidak ada rotasi kekuasaan eksekutif
2)   rekrutmen politik yang tertutup
3)   pemilu yang jauh dari semangat demokratis.
4)   Pengakuan HAM yang terbatas
5)   Timbulnya KKN yang merajalela.
Pada masa orde baru dasar hukum yang dipakai setiap pemilihan umumpun berbeda antar tahunnya dikarenakan terjadinya perubahan dan penyesuaian terhadap undang-undang pemilu pada masa itu. Perubahan dasar hukum pada masa orde baru dapat dilihat pada table berikut :
No
Pemilu
Dasar Hukum
Perubahan
1
1971
UU No 15 Tahun 1969
-
2
1977
UU No 4 Tahun 1975
Adanya penyederhanaan partai
peserta pemilu.
3
1982
UU No 2 Tahun 1980
Adanya penambahan anggota LPU
dari unsur parpol, Golkar, dan
ABRI. Serta pembentukan panitia
pengawas pemilu.
4
1987
UU No 1 Tahun 1985
Adanya penambahan jumlah wakil
ketua panitia pengawas pemilu.
5
1992
UU No 1 Tahun 1985
Adanya penambahan jumlah wakil
ketua panitia pengawas pemilu.
6
1997
UU No 1 Tahun 1985
Adanya penambahan jumlah wakil
ketua panitia pengawas pemilu





Pada pelaksanaan pemilu orde baru badan penyelenggaraanya dinakan dengan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) pada setiap pemilu, namun terjadi perubahan pada struktur anggota LPU tersendiri, yaitu pada pemilu tahun 1971 dan 1977 anggota LPU ialah pejabat pemerintah sendiri, pada pemilu tahun 1982 terjadi perubhan sendiri dan penambahan sedikit dimana anggota LPU menjadi Anggota LPU berasal dari pejabat pemerintah, unsur partai politik, Golkar, dan ABRI.di tambah dengan pengawas pemilu 1 orang, dan pada tahun berikutnya dengan dasar hukum yang berbeda hanya terjadi perubahan dan penambahan sedikit yaitu pada pengawas pemilu yang tadinya berjumlah satu orang lalu bertambah menjadi 5 orang. [41]

e)    Pelaksanaan Demokrasi Orde Reformasi 1998- Sekarang
Demokrasi pada masa reformasi pada dasarnya merupakan demokrasi dengan mendasarkan pada pancasila dan UUD 1945 dengan penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan peraturan yang tidak demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga tinggi dan tertinggi Negara dengan menegaskan fungsi, wewenang, dan tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. [42] Derap reformasi merupakan gerak kesinambungan yang merefleksikan komitmen bangsa Indonesia yang secra rasional dan sistematis bertekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi.yang antara lain berupa sikap transparan dan aspiratif dalam segala pengambilan keputusan politik, pers yang bebas, system pemilu yang jujur dan adil, pemisahan TNI dan Polri, system otonomi daerah yang adil, dan prinsip good governance yang mengedepankan profesionalisme birokrasi lembaga eksekutif, keberadaan badan legislative yang kuat dan berwibawa, kekuasaan kehakiman yang independen dan impartial, partisipasi masyarkat yang terorganisasi. [43] reformasi yang menggerakan perubahan dari model kehidupan bernegara dengan kedaulatan yang cenderung dipusatkan ditangan penguasa tunggal yang bersemayam di pusat, ke model kehidupan bernegara dengan kedaulatan yang lebih didistribusikan secara adil ke tangan rakyat. Reformasi politik yang divita-citakan seperti itu pada ujung-ujungnya menyangkut reformasi hukum, khususnya hukum konstitusi. Kalaupun bukan persoalan rumusan-rumusan formalnya, reformasi korektif itu tentulah berkenaan dengan pemaknaan interpretatifnya, dan sehubungan dengan hal ituu, selanjutnya jugaberkenaan dengan pelaksanaaanya.[44] Dengan adanya pemusatan kekuasaan munculah tuntutan yang mengemuka pada saat itu yaitu pilihan kearah federal, akibat tuntutan daerah pada pusat inilah akhirnya keluar UU No 22 Tahun 1999 yang lebih menekankan otonomi luas.
Pada era reformasi hingga saat ini telah diadakan pemilihan umum sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999 yang dilaksanakan dengan menggunakan system proporsional berdasarkan stetsel daftaf, dengan dasar hukum UU No 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum,dan diikuti oleh 48 partai politik. Dalam UU ini organisasi penyelenggara pemilu diatur mulai dari Bab III Tentang Penyelenggaraan dan Organisasi yaitu dari pasal 8 hingga pasal 23. Secara teknis pada pemilu legislatif tahun 1999 dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur-unsur partai politik peserta pemilihan umum dan pemerintah, yang bertanggung jawab kepada presiden. Pada pemilu ini pun sudah memperhatikan kabupaten atau kota. Hanya saja pemilu ini persiapan perangkat perundang-undangannya masih memihak status quo dan tidak mencerminkan amanat reformasii, yang sekurang-kurangnya ada dua penjelasan, pertama pemilu disipakan secra tergesa-gesa sehingg tidak member kesempatan kepada partai politik untuk melakukan sosialisasi program kepada masyarakat luas, kedua, perangkat perundang-undangan yang disiapkan masih bias kepentingan partai yang orde baru.
Setelah itu pemilu selanjutnya dilaksanakan pada tahun 2004 untuk mmilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota yang dilaksanakan dengan system proporsional dengan daftar calon terbuka, pemilu yang memilih anggota DPD dilaksanakan dengan system distrik berwakil banyak. Dengan dasar hukum yang dipakai adalah UU No 12 tahun 2003 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Secara teknis yang menyelenggarakan pemilu adalah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Untuk tingkat pusat KPU berjumlah 11 orang sementara di tingkat provinsi, kabupaten/kota berjumlah 5 orang. Pada pemilu 2004, DP tidak lagi propinsi tetapi meliputi daerah yang lebih kecil lagi, dimana masing-masing DP mendapat jatah 3 sampai 12 kursi, yang diikuti oleh 24 partai politik. Pada pemilu tahun 2004 dan 2009 selain memilih partai dan calon partai, masyarakat juga memilih anggota DPD yang dilakukan dengan mencoblos salah satu angggota DPD dalam surat suara.
Kemudian pemilu tahun 2009 yang terdapat 3 macam pemilu yaitu pemilu legislative pada 19 april 2009, pemilu presiden dan wakilnya pada 8 juli 2009, serta pemilu kepala daerah dan wakilnya pada akhir 2008 dan awal 2009 yang menganut sistem proposional daftar terbuka. Yang diikuti diikuti 41 partai politik nasional dan 6 partai lokal di Aceh. Dengan dasar hukum yang dipakai adalah UU No 10 Tahun 2008 Tentang  Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pengaturan penyelenggara pemilu pada tahun 2009 diatur mulai dari pasal 9 yang berbunyi pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPU.


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :
1.    Transformasi politik adalah perubahan konsep, bentuk, fungsi dan sifat politik untuk menyesuaikan dengan konstelasi dunia.
2.    Sejarah transformasi politik di awali dengan masa proklamasi, orde lama, orde   baru, dan reformasi.



[1] Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT.  Raja Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 253-259
[2] Inu Kencana Syafiie dan Azhari. Sistem Hukum Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm. 34

[3] Ibid., hlm. 35
[4] Ibid., hlm. 36
[5] Ibid., hlm. 37
[6] Ibid., hlm. 38
[7] Ibid., hlm. 41
[8] Ibid., hlm. 42
[9]“Perubahan Politik Indonesia” di buka pada,( http://www.slideshare.net/Hennov/perubahan-politik) di
   akses pada tanggal 5 oktober 2014 pukul 20:15 WIB)
[10] Inu Kencana Syafiie dan Azhari, op.cit., hlm. 43
[11] Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Fokusmedia, Bandung, 2009, hlm. 37-38
[12] Sahya Anggara, Sistem Politik Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 157
[13] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 127-128
[14] Sahya Anggara, op.cit., hlm. 158
[15] Sahya Anggara, op.cit., hlm. 158
[16] Sahya Anggara, op.cit., hlm. 158
[17] Sahya Anggara, op.cit., hlm. 160
[18] Sahya Anggara, op.cit., hlm. 160
[19] Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 129-130
[20] Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2006, Hlm. 193
[21] Ibid, hlm 194-195
[22] Ibid, hlm 196-197
[23] Ibid,
[24] Ibid, hlm 197-199
[25] Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 130
[26] Rusadi Kantaprawira,op.cit., hlm. 199-200
[27] Rusadi Kantaprawira, op.cit., hlm. 202-203
[28] Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 134
[29] UUD no 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum
[30] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Pernada, Jakarta, 2012, hlm. 295-296

[31]  Ibid, hlm. 293
[32] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Pernada, Jakarta, 2012, hlm. 288
[33] Sahya Anggara, System Politik Indonesia , Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 231
[34] Ibid.
[36] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Pernada, Jakarta, 2012, hlm. 288
[37] Sahya Anggara, Lop.cit., hlm, 277
[38]  Ni’matul Huda, Lop.cit., hlm 271
[39]  Ni’matul Huda, op.cit., hlm. 288
[40] UU No 15 Tahun 1969  Tentang Pemilihan Umum
[41] Bismar Arianto Perbandingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum legislatif Era Reformasi Di Indonesia. Jurnal Fisip Umrah Vol.2, No.2, 2011: 126-140.
[42] Sahya Anggara, op.cit., hlm. 278
[43] Ni’matul Huda, lp.cit., hlm. 274
[44] Soetandyo W., Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elman dan Huma, Jakata,
    2002, hlm 586.



DAFTAR PUSTAKA
Anggara, Sahya. 2013.Sistem Politik Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
Asshidqqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar Grafika
Assidqqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Gaffar, Afan. 2004. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.Yogyakarta.  Pustaka Pelajar
Huda, Ni’matul. 2012. Hukum Tata Negara. Jakarta. Raja Grafindo Pernada.
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Syafiie, Inu Kencana dan Azhari. 2012. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama
UUD no 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum
Yusaha, Abdy. 2007. Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Pasca Perubahan UUD 1945). Jakarta: Fokusmedia
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar