Rabu, 29 April 2015

Makalah Nilai Penting Konstitusi

KATA PENGANTAR
            Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kehendak-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul “Nilai Penting Konstitusi dalam Negara”.
            Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Konstitusi, dan kami mencoba untuk memaparkan apa yang telah kami tulis kedalam sebuah makalah ini.
            Kami berharap setelah selesainya tugas makalah ini, bisa bermanfaat bagi semuanya, dan berguna bagi proses pembelajaran dan kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun karena makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari kata kesempurnaan.
            Dalam suatu perkataan "tiada gading yang tak retak" artinya dalam suatu karya tak akan luput dari kesalahan dan kekurangan sehingga kami memohon maaf jika makalah yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan, serta kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Hukum Konstitusi yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami semoga hasil karya kami bisa bermanfaat untuk semua.

                                                                                    
                                                                              Bandung, 23 Februari 2015


                                                                                                    Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1  Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3  Tujuan Penulisan ...................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 4
2.1 Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu Negara........................................... 4
2.2 Penerapan Nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945.............. 9
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 13
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 13
3.2 Saran ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 15

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial politik, bobroknya manajemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959-1966) dan orde baru (1966-1998) telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan UUD yang all size itu akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi).
Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju ke arah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan kemanusiaan.
Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa saja Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu Negara?
2.      Bagaimana Penerapan Nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945?



1.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu Negara.
2.      Untuk memahami Penerapan Nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945.















BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu Negara
Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu negara, tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, dengan demikian konstitusi menempati posisi yang sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Sehingga dalam hierarki perundang-undangan konstitusi menempati urutan teratas (gundnorm) dalam segitiga atau lebih dikenal dengan teori Stufenbau des recht.
Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara, ibarat “perjalanan cinta Romeo dan Juliet yang setia dan abadi”. Demikian halnya negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam desertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau Undang-undang Dasar adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan Negara harus dijalankan.[1]
Sejalan dengan pemahaman diatas, Struycken dalam bukunya Het Staatscrecht Van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa Undang-undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
1.   Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2.   Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3.   Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4.   Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Dari empat materi muatan yang tereduksi dalam konstitusi atau undang-undang diatas, menunjukan arti pentingnya konstitusi bagi suatu negara. Karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu negara yang mereka pimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini telah terdapat dalam konstitusi. Sehingga benarlah kalau konstitusi merupakan cabang yang utama dalam Studi Ilmu Hukum Tata Negara.
Dari sisi lain, eksistensi suatu “Negara” yang diisyaratkan oleh A.G. Pringgodigdo, baru riel ada kalau memenuhi unsur:
1.   Memenuhi unsur pemerintahan yang berdaulat
2.   Wilayah tertentu
3.   Rakyat yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation)
4.   Pengakuan dari Negara-negara lain.
Dari keempat unsur untuk berdirinya suatu Negara ini belumlah cukup menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau belum ada hukum dasar yang mengaturnya. Hukum dasar yang dimaksud adalah sebuah Konstitusi atau Undang-undang.[2]
Untuk memahami hukum dasar suatu negara, juga belum cukup kalau hanya dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Undang-undang Dasar atau Konstitusi saja, tetapi harus dipahami pula aturan-aturan dasar yang muncul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis, atau sering dicontohkan dengan “konvensi” ketatanegaraan suatu bangsa. Sebab dengan pemahaman yang demikian inilah “ketertiban” sebagai fungsi utama adanya hukum dapat terealisasikan.
Prof. Mr. Djokosutono melihat pentingnya konstitusi dilihat dari dua segi :
1.   Dari segi isi (naar the inhoud) karena konstitusi memuat dasar (grondslagen) dari struktur (incrichting) dan memuat fungsi (administratie) Negara.
2.   Dari segi bentuk (naar the maker) oleh karena yang memuat konstitusi bukan sembarang orang atau lembaga. Mungkin bisa oleh seorang raja, raja dengan rakyat, badan konstituante, atau lembaga diktator.
Pada sudut pandang yang kedua ini, K.C. Wheare mengaitkan pentingnya konstitusi dengan pengertian hukum dalam arti sempit, dimana konstitusi dibuat oleh badan yang mempunyai “wewenang hukum” yaitu sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan kekuatan hukum pada konstitusi. Tapi dalam kenyataannya tidak menutup kemungkinan adanya konstitusi yang sama sekali hampa (tidak serat makna, kursif penulis), karena tidak ada pertalian yang nyata antara pihak yang merumuskan dan membuat konstitusi dengan pihak yang benar-benar menjalankan pemerintahan negara. Sehingga konstitusi hanya menjadi dokumen historis semata atau justru menjadi tabir.
Antara perumus atau peletak dasar konstitusi dengan pemerintah pemegang astafet berikutnya. Kondisi objektif semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab jatuh bangunnya suatu pemerintahan yang sering diikuti pula oleh perubahan konstitusi negara tersebut. Seperti yang pernah terjadi di Filiphina, Kamboja, dan lain sebagainya.
Tidak heran, kalau dalam praktif ketatanegaraan suatu negara dijumpai suatu konstitusi yang tertulis tidak berlaku secara sempurna, oleh karena salah satu dari beberapa pasal didalamnya tidak berjalan atau tidak dijalankan lagi. Atau dapat juga karena konstitusi yang berlaku itu tidak dijalankan , karena kepentingan suatu golongan/kelompok atau kepentingan pribadi penguasa semata. Disamping itu, tentunya masih banyak nilai-nilai dari konstitusi yang dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum didalamnya.[3]
Pelaksanaan konstitusi yang berlaku disuatu negara memiliki beberapa kemungkinan, yakni :
1.   Konstitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termuat didalamnya
2.   Terdapat beberapa ketentuan konstitusi yang tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konstitusi yang tidak dilaksanakan lagi meskipun secara resmi masih berlaku
3.   Konsitusi dilaksanakan tidak berdasar ketentuan yang termuat didalamnya melainkan demi kepentingan sesuatu golongan atau pribadi tertentu.
Sehubungan dengan berbagai kemungkinan di atas, Karl Loewestein telah melakukan penelitian dan menghasilkan tiga jenis penilaian terhadap nilai konstitusi, yaitu sebagai berikut :[4]
1)      Nilai normatif
Suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Apabila konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa. Maka konstitusi bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya secara murni. Dengan demikian tugas dan kewenangan lembaga-lembaga Negara, seperti ekseskutif, legislatif dan yudikatif tercantum dalam konstitusi dan bernilai normatif.

2)      Nilai nominal
Dalam konteks ini, konstitusi menurut hukum adalah berlaku tetapi kenyataannya tidak sempurna karena ada pasal-pasal tertentu yang dalam kenyataannya tidak berlaku (tidak dilaksanakan).
3)      Nilai semantik
Konstitusi secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud substansial dan konstitusi diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Dengan demikian, konstitusi hanya sekedar istilah saja, sedangkan pelaksanaannya tergantung pada kepentingan pihak penguasa. Konstitusi ini nilainya hanya semantik saja. [5] Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan kekuasaan politik.[6]
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif, maka konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Namun bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai atau pemakaiannya kurang sempurna dalam kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai rujukan atau pedoman dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara,  maka dapat dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal. Misalnya dalam konstitusi menentukan A, namun dalam kenyataan dilapangan justru kenyataannya terbalik yang digunakan adalah B. sehingga apa yang ditulis dalam konstitusi hanya bernilai nominal saja.  Dalam Praktiknya dapat pula terjadi percampuran antara nilai nominal dan normatif. Hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang dasar yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal.[7] Suatu konstitusi disebut konstitusi yang bernilai semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggenagan kekuasaan saja.

2.2        Penerapan Nilai-nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif, maka konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Namun bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai atau pemakaiannya kurang sempurna dalam kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai rujukan atau pedoman dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara,  maka dapat dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal.
Salah satu contoh penerapan nilai normatif dalam undang-undang dasar 1945 terdapat dalam pasal 7B. Pasal 7B mengatur mengenai pemberhatian presiden dan/atau wakil presiden yang dapat diajukan oleh dewan perwakilan rakyat kepada majelis permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat dewan perwakilan rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945 pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini esekutif (Presiden)  dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.
Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengkan kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada konstitusi kita. Dalam beberapa pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal, namun untuk beberapa pasal memiliki nilai normatif. Misal pada pasal 28 A-J UUD 1945 tentang Hak Asasi manusia, namun pada kenyataan masih banyak pelanggaran atas pemenuhan hak asasi tersebut, katakanlah dalam pasal 28B ayat (2), yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (penebalan tulisan oleh penulis). Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Terlebih pada era orde baru. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut menjadi delematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut.
Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Kata-kata wajib membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata dipergunakan dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka.
Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kesemakmuran seluruh rakyat Indonesia.[8]
BAB III
PENUTUP
1.1        Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :
1.   Karl Loewestein telah melakukan penelitian dan menghasilkan tiga jenis penilaian terhadap nilai konstitusi, yaitu:
a.       Nilai normatif
Suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
b.      Nilai nominal
Dalam konteks ini, konstitusi menurut hukum adalah berlaku tetapi kenyataannya tidak sempurna karena ada pasal-pasal tertentu yang dalam kenyataannya tidak berlaku (tidak dilaksanakan).
c.    Nilai semantik
     Konstitusi secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud substansial dan konstitusi diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Dengan demikian, konstitusi hanya sekedar istilah saja, sedangkan pelaksanaannya tergantung pada kepentingan pihak penguasa. Konstitusi ini nilainya hanya semantik saja. Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan kekuasaan politik.

2.    Penerapan Nilai-nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945
      Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif, maka konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Namun bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai atau pemakaiannya kurang sempurna dalam kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai rujukan atau pedoman dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara,  maka dapat dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal.
1.2        Saran
Semoga dengan selesai dibuatnya makalah ini,  dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca. Dan apabila ada kekurangan dari makalah ini, kami selaku penulis mengharapkan adanya koreksi terhadap kekurangan tersebut


DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, dkk. 2003. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Efriza. 2013. Ilmu Politik Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan. Bandung: Alfabeta.
Sukarja, Ahmad H. 2012.  Hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara. Jakarta : sinar grafika.
Thaib, Dahlan H, dkk. 2012. Teori Dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Rajawali pers.

Internet :
https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/10/nilai-nilai-konstitusi/ (diakses pada tanggal 28 Februari 2015, Pukul 20.05 WIB)





[1] H. Dahlan Thaib, dkk, Teori dan hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali pers, Jakarta, hlm.54
[2] Ibid, Hlm. 55
[3] Ibid, Hlm. 56-58
[4] Efriza, Ilmu Politik dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan, Bandung: Alfabeta, 2013, hlm 219-220
[5] H. ahmad sukarja, Hukum tata Negara dan Hhukum Administrasi Negara, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hlm. 94
[6] Miriam Budiardjo, dkk, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm 83
[7] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm.136
[8] https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/10/nilai-nilai-konstitusi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar