KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan
kehendak-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang
berjudul “Nilai Penting Konstitusi dalam Negara”.
Makalah
ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Konstitusi, dan kami mencoba
untuk memaparkan apa yang telah kami tulis kedalam sebuah makalah ini.
Kami
berharap setelah selesainya tugas makalah ini, bisa bermanfaat bagi semuanya,
dan berguna bagi proses pembelajaran dan kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun karena makalah yang kami susun ini masih sangat jauh
dari kata kesempurnaan.
Dalam suatu perkataan "tiada gading yang tak
retak" artinya dalam suatu karya tak akan luput dari kesalahan dan
kekurangan sehingga kami memohon maaf jika makalah yang kami buat masih jauh
dari kesempurnaan, serta kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Hukum Konstitusi yang telah memberikan tugas
makalah ini kepada kami semoga hasil karya kami bisa bermanfaat untuk semua.
Bandung, 23 Februari 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR
ISI ............................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar
Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan
Penulisan ...................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN ......................................................................................... 4
2.1 Nilai Penting
Konstitusi dalam Suatu Negara........................................... 4
2.2 Penerapan Nilai
Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945.............. 9
BAB III PENUTUP ................................................................................................ 13
3.1
Kesimpulan .............................................................................................. 13
3.2
Saran ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 15
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reformasi menuntut dilakukannya
amandemen atau mengubah UUD 1945 karena yang menjadi penyebab tragedi nasional mulai dari
gagalnya suksesi kepemimpinan yang berlanjut kepada krisis sosial politik,
bobroknya manajemen negara yang mereproduksi KKN, hancurnya nilai-nilai rasa
keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat telah dikooptasi
kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena fundamen
ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis
yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu menyerahkan
sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara. Akibatnya
dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang berkuasalah
yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua kali
kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959-1966) dan orde baru (1966-1998)
telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih
menggunakan UUD yang all size itu
akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini
disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan.
Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan
bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau
dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial” baru antara warga
negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan
dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi).
Perubahan konstitusi ini
menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi negara yang otoritarian
menuju ke arah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga negara yang
seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang
tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi
jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian
memang telah menunjukkan adanya komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat
untuk mengamandemen UUD 1945. Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa
yang berwenang melakukannya serta dalam situasi seperti apa perubahan itu
terjadi, menjadikan suatu bagian yang menarik dan terpenting dari proses
perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat terlihat apakah hasil
dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan apakah telah
menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia yang
demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan
rakyat, dan kemanusiaan.
Dengan melihat kembali dari
hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai apakah rumusan-rumusan
perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik dan sempurna. Dalam
artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah mencerminkan kehendak
bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat berarti bagi
perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi
monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa saja Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu
Negara?
2.
Bagaimana Penerapan Nilai Konstitusi
dalam Undang-Undang Dasar 1945?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah tersebut dapat disimpulkan tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui Nilai Penting Konstitusi
dalam Suatu Negara.
2.
Untuk memahami Penerapan Nilai Konstitusi
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Nilai
Penting Konstitusi dalam Suatu Negara
Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu negara,
tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, dengan demikian konstitusi
menempati posisi yang sangat vital dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara.
Sehingga dalam hierarki perundang-undangan konstitusi menempati urutan teratas
(gundnorm) dalam segitiga atau lebih
dikenal dengan teori Stufenbau des recht.
Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa
konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi
yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara, ibarat
“perjalanan cinta Romeo dan Juliet yang setia dan abadi”. Demikian halnya negara
dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lain. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam desertasinya berpendapat tentang
pentingnya suatu konstitusi atau Undang-undang Dasar adalah sebagai pemberi
pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan Negara harus
dijalankan.[1]
Sejalan
dengan pemahaman diatas, Struycken dalam bukunya Het Staatscrecht Van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan
bahwa Undang-undang Dasar sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen
formal yang berisi:
1. Hasil
perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2. Tingkat-tingkat
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. Pandangan
tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun
untuk masa yang akan datang.
4. Suatu
keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin.
Dari empat materi
muatan yang tereduksi dalam konstitusi atau undang-undang diatas, menunjukan
arti pentingnya konstitusi bagi suatu negara. Karena konstitusi menjadi
barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah
perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding fathers, serta memberikan
arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan suatu negara yang
mereka pimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini telah terdapat dalam
konstitusi. Sehingga benarlah kalau konstitusi merupakan cabang yang utama
dalam Studi Ilmu Hukum Tata Negara.
Dari sisi lain,
eksistensi suatu “Negara” yang diisyaratkan oleh A.G. Pringgodigdo, baru riel
ada kalau memenuhi unsur:
1. Memenuhi
unsur pemerintahan yang berdaulat
2. Wilayah
tertentu
3. Rakyat
yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation)
4. Pengakuan
dari Negara-negara lain.
Dari keempat unsur untuk berdirinya suatu Negara ini
belumlah cukup menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau
belum ada hukum dasar yang mengaturnya. Hukum dasar yang dimaksud adalah sebuah
Konstitusi atau Undang-undang.[2]
Untuk memahami hukum dasar suatu negara, juga belum
cukup kalau hanya dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam
Undang-undang Dasar atau Konstitusi saja, tetapi harus dipahami pula
aturan-aturan dasar yang muncul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan
Negara meskipun tidak tertulis, atau sering dicontohkan dengan “konvensi”
ketatanegaraan suatu bangsa. Sebab dengan pemahaman yang demikian inilah “ketertiban”
sebagai fungsi utama adanya hukum dapat terealisasikan.
Prof. Mr. Djokosutono melihat pentingnya konstitusi
dilihat dari dua segi :
1. Dari
segi isi (naar the inhoud) karena
konstitusi memuat dasar (grondslagen)
dari struktur (incrichting) dan
memuat fungsi (administratie) Negara.
2. Dari
segi bentuk (naar the maker) oleh
karena yang memuat konstitusi bukan sembarang orang atau lembaga. Mungkin bisa
oleh seorang raja, raja dengan rakyat, badan konstituante, atau lembaga diktator.
Pada sudut pandang yang kedua ini, K.C. Wheare
mengaitkan pentingnya konstitusi dengan pengertian hukum dalam arti sempit,
dimana konstitusi dibuat oleh badan yang mempunyai “wewenang hukum” yaitu
sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan kekuatan hukum pada konstitusi.
Tapi dalam kenyataannya tidak menutup kemungkinan adanya konstitusi yang sama
sekali hampa (tidak serat makna, kursif penulis), karena tidak ada pertalian
yang nyata antara pihak yang merumuskan dan membuat konstitusi dengan pihak
yang benar-benar menjalankan pemerintahan negara. Sehingga konstitusi hanya
menjadi dokumen historis semata atau justru menjadi tabir.
Antara perumus atau peletak dasar konstitusi dengan
pemerintah pemegang astafet berikutnya. Kondisi objektif semacam inilah yang
menjadi salah satu penyebab jatuh bangunnya suatu pemerintahan yang sering
diikuti pula oleh perubahan konstitusi negara tersebut. Seperti yang pernah
terjadi di Filiphina, Kamboja, dan lain sebagainya.
Tidak heran, kalau dalam praktif ketatanegaraan
suatu negara dijumpai suatu konstitusi yang tertulis tidak berlaku secara
sempurna, oleh karena salah satu dari beberapa pasal didalamnya tidak berjalan
atau tidak dijalankan lagi. Atau dapat juga karena konstitusi yang berlaku itu
tidak dijalankan , karena kepentingan suatu golongan/kelompok atau kepentingan
pribadi penguasa semata. Disamping itu, tentunya masih banyak nilai-nilai dari
konstitusi yang dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum didalamnya.[3]
Pelaksanaan konstitusi yang berlaku disuatu negara
memiliki beberapa kemungkinan, yakni :
1. Konstitusi
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termuat didalamnya
2. Terdapat
beberapa ketentuan konstitusi yang tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
konstitusi yang tidak dilaksanakan lagi meskipun secara resmi masih berlaku
3. Konsitusi
dilaksanakan tidak berdasar ketentuan yang termuat didalamnya melainkan demi
kepentingan sesuatu golongan atau pribadi tertentu.
Sehubungan dengan
berbagai kemungkinan di atas, Karl Loewestein telah melakukan penelitian dan
menghasilkan tiga jenis penilaian terhadap nilai konstitusi, yaitu sebagai
berikut :[4]
1) Nilai
normatif
Suatu konstitusi yang
telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut
bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan
yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata lain
konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Apabila konstitusi
telah resmi diterima oleh suatu bangsa. Maka konstitusi bukan saja berlaku
dalam arti hukum (legal), tetapi juga merupakan suatu kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya secara
murni. Dengan demikian tugas dan kewenangan lembaga-lembaga Negara, seperti
ekseskutif, legislatif dan yudikatif tercantum dalam konstitusi dan bernilai normatif.
2) Nilai
nominal
Dalam
konteks ini, konstitusi menurut hukum adalah berlaku tetapi kenyataannya tidak
sempurna karena ada pasal-pasal tertentu yang dalam kenyataannya tidak berlaku
(tidak dilaksanakan).
3) Nilai
semantik
Konstitusi
secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk
memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan
politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud
substansial dan konstitusi diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaan yang sebenarnya.
Dengan demikian, konstitusi hanya sekedar istilah saja, sedangkan
pelaksanaannya tergantung pada kepentingan pihak penguasa. Konstitusi ini
nilainya hanya semantik saja. [5]
Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat
untuk melaksanakan kekuasaan politik.[6]
Menurut Karl Lowenstein
setiap konstitusi terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai
teori (das sollen) dan sifat nyatanya
sebagai praktik (das sein). Suatu
konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh
masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan
suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif, maka
konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Namun
bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam
kenyataannya tidak dipakai atau
pemakaiannya kurang sempurna dalam kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai
rujukan atau pedoman dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan
bernegara, maka dapat dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal.
Misalnya dalam konstitusi menentukan A, namun dalam kenyataan dilapangan justru
kenyataannya terbalik yang digunakan adalah B. sehingga apa yang ditulis dalam
konstitusi hanya bernilai nominal saja. Dalam Praktiknya dapat pula
terjadi percampuran antara nilai nominal dan normatif. Hanya sebagian saja dari
ketentuan undang-undang dasar yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya
tidak dilaksanakan dalam praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku
normatif hanya sebagian, sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal.[7]
Suatu konstitusi disebut konstitusi yang bernilai semantik jika norma-norma
yang terkandung didalamnya secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya
adalah sekedar untuk memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik
semata. Sehingga banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon”
atau semboyan pembenaran sebagai alat pelanggenagan kekuasaan saja.
2.2
Penerapan
Nilai-nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945
Menurut
Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu
sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai
praktik (das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami,
diakui, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti
hukum, akan tetapi juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti
sepenuhnya diperlukan dan efektif, maka konstitusi tersebut dinamakan
konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Namun bila suatu konstitusi sebagian
atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak dipakai atau
pemakaiannya kurang sempurna dalam kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai
rujukan atau pedoman dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan
bernegara, maka dapat dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal.
Salah
satu contoh penerapan nilai normatif dalam undang-undang dasar 1945 terdapat
dalam pasal 7B. Pasal 7B mengatur mengenai pemberhatian presiden dan/atau wakil
presiden yang dapat diajukan oleh dewan perwakilan rakyat kepada majelis
permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
dewan perwakilan rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau wakil presiden.
Berbicara
konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni,
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki
kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945
pada zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi
dalam praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa
saja dengan dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu
dapat kita lihat dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini
esekutif (Presiden) dalam bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal
24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945 harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut
dapat terlihat dengan adanya Undang-undang No. 19 tahun 1965.
Pada
masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal tersebut
terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat
peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar
pada saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara,
mengingat kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan
maka diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi.
Namun dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengkan
kekuasaan, maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium
negatif “Konstitusi akan dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan
kekuasaan”.
Pasca
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan nilai lain pada
konstitusi kita. Dalam beberapa pasal konstitusi kita memiliki nilai nominal,
namun untuk beberapa pasal memiliki nilai normatif. Misal pada pasal 28 A-J UUD
1945 tentang Hak Asasi manusia, namun pada kenyataan masih banyak pelanggaran
atas pemenuhan hak asasi tersebut, katakanlah dalam pasal 28B ayat (2), yang
berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (penebalan
tulisan oleh penulis). Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak
diskriminasi-diskriminasi penduduk pribumi keturunan. Terlebih pada era orde
baru. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi
sia-sia kalau agama yang diakui di Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal
tersebut menjadi delematis dan tidak konsekuen, bila memang kenyataan demikian,
mengapa tidak dituliskan secara eksplisit dalam ayat tersebut.
Hal
lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Kata-kata wajib
membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar
tanpa terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena
kata wajib disana tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang
dilaksanakan pemerintah tahun ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal
selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata dipergunakan dalam
ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa tidak banyak
eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan
asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka.
Kondisi demikian
masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat bukan kemakmuran
investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara
disini bukan berarti fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta
ngemis” atau bergelandang tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial
dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni kesemakmuran seluruh rakyat Indonesia.[8]
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Karl
Loewestein telah melakukan penelitian dan menghasilkan tiga jenis penilaian
terhadap nilai konstitusi, yaitu:
a. Nilai
normatif
Suatu konstitusi yang
telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi tersebut
bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan suatu
kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif. Dengan kata
lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
b. Nilai
nominal
Dalam
konteks ini, konstitusi menurut hukum adalah berlaku tetapi kenyataannya tidak
sempurna karena ada pasal-pasal tertentu yang dalam kenyataannya tidak berlaku
(tidak dilaksanakan).
c. Nilai
semantik
Konstitusi secara hukum tetap berlaku,
tetapi dalam kenyataannya hanya sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang
telah ada dan untuk melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang
dinamis untuk mengatur, yang menjadi maksud substansial dan konstitusi
diberikan demi kepentingan pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Dengan demikian,
konstitusi hanya sekedar istilah saja, sedangkan pelaksanaannya tergantung pada
kepentingan pihak penguasa. Konstitusi ini nilainya hanya semantik saja. Dalam
memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk
melaksanakan kekuasaan politik.
2. Penerapan
Nilai-nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi
selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori (das
sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das sein). Suatu
konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi oleh
masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan
suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif, maka
konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Namun
bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam
kenyataannya tidak dipakai atau pemakaiannya kurang sempurna dalam kenyataan.
Dan tidak dipergunakan sebagai rujukan atau pedoman dalam pengambilan keputusan
dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka dapat dikatakan konstitusi
tersebut bernilai nominal.
1.2
Saran
Semoga
dengan selesai dibuatnya makalah ini,
dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca. Dan
apabila ada kekurangan dari makalah ini, kami selaku penulis mengharapkan
adanya koreksi terhadap kekurangan tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Buku
:
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, dkk. 2003. Dasar-dasar
ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Efriza.
2013. Ilmu Politik Dari Ilmu Politik
Sampai Sistem Pemerintahan. Bandung: Alfabeta.
Sukarja,
Ahmad H. 2012. Hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara. Jakarta : sinar
grafika.
Thaib, Dahlan H, dkk.
2012. Teori Dan Hukum Konstitusi.
Jakarta: Rajawali pers.
Internet
:
https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/10/nilai-nilai-konstitusi/
(diakses pada tanggal 28 Februari 2015, Pukul 20.05 WIB)
[1] H. Dahlan Thaib, dkk, Teori dan hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali
pers, Jakarta, hlm.54
[2] Ibid, Hlm. 55
[4] Efriza, Ilmu Politik dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan, Bandung:
Alfabeta, 2013, hlm 219-220
[5] H. ahmad sukarja, Hukum tata Negara dan Hhukum Administrasi
Negara, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, hlm. 94
[7] Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm.136
[8]
https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/10/nilai-nilai-konstitusi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar