Rabu, 29 April 2015

Peradaban Islam Pada Masa Bani Abbasiyah



2.1  Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
          Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M (Syalaby,1997:44).
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1.        Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2.        Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntuta zaman
3.        Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4.        Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena halhal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang ada . Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan
golongan Bani Umayyah.
Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan. Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211). Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia.
Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany,
bergabubg dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.[1]

2.2  Sistem Politik, Pemerintahan dan Sosial
1.        Sistem Politik dan Pemerintahan
Khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang sekaligus dianggap sebagai pendiri Bani Abbas, menyebut dirinya dengan julukan Al-Saffah yang berarti Sang Penumpah Darah. Sedangkan Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah, kekhalifahan berkembang sebagai system politik. Dinasti ini muncul dengan bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap Bani Umayyah di dalam masalah sosial dan politik diskriminastif. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang memakai gelar ”Imam”, pemimpin masyarakat muslim bertujuan untuk menekankan arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja.
Al-Mansur dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan. Ada beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu:
a.         Para Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil dari kaum mawalli.
b.         Kota Bagdad dijadikan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial dan ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk bangsa dan penganut agama lain.
c.         Ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang harus dikembangkan.
d.        Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia.

2.        Sistem Sosial
Pada masa ini, sistem sosial adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umaiyah). Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok, yaitu:
a.    Tampilnya kelompok mawali dalam pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial.
b.    Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri dari beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.)
c.    Perkawinan campur yang melahirkan darah campuran
d.   Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga muncul kebudayaan baru .[2]

2.3    Periodesasi Masa Abbasiyah
      Para sejarawan mengklasifikasi periode Abbasiyah berbeda-beda. Al-Khudri, Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Mesir (Egyptian University) membagi kedalam lima masa, yaitu:
1.    Masa kuat-kuasa dan bekerja membangun, berjalan 100 tahun lamanya, dari 132 s.d. 232 H.;
2.    Masa berkuasanya panglima-panglima Turki, berjalan 100 tahun lamanya, dari 232 s.d. 334 H.;
3.    Masa berkuasanya Bani Buyah (Buwayhid), berjalan 100 tahun lamanya, dari 334 s.d. 447 H.;
4.    Masa berkuasanya Bani Saljuk (Seljuqiyak), berjalan 100 tahun lamanya, dari 447 s.d. 530 H.;
5.    Masa bergerak balik kekuasaan politik Khalifah-khalifah Abbasiyah dengan merajalelanya para panglima perang, selama 125 tahun, dari 530 H. sampai musnahnya Abbasiyah di bawah serbuan Jengiz Khan dan putranya Hulagu Khan dari Tartar pada tahun 656 H.[3]
            Menurut B.G Stryzewki membagi masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah menjadi lima periode, yaitu:
1.        Periode pertama (132 H./750 M. s.d. 232 H./847 M.), disebut periode pengaruh Persia pertama;
     Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat
dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi Negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad
ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah. Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
     Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman
Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim, 2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah. Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
     Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.[4]
2.        Periode kedua (232 H./847 M. s.d. 334 H./945 M.), disebut periode pegaruh turki pertama;
     Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah
yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun. Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal.
          Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada
periode ini adalah sebagai berikut:
a.       Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b.      Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c.       Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.[5]

3.        Periode ketiga (334 H./945 M. s.d. 447 H./1105 M.), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga pengaruh Persia kedua;
     Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih. Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.[6]
4.        Periode keempat (447 H./1105 M. s.d. 590 H./1195 M.), masa kekuasaan dinasti saljuk yang biasa disebut dengan masa pengaruh turki kedua;
     Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orangorang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabangcabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan
Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk
mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.[7]
5.        Periode kelima (590 H./1194 M. s.d. 656 H./1258 M.), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad.
     Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
     Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan. Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama.
            Kedua pola periodesasi diatas, pada dasarnya sama dan tidak signifikan. Untuk memudahkan pembahasan, periode Abbasiyah dibagi menjadi empat tahap, yaitu pendirian, kemajuan, kemunduran, dan kehancuran.[8]
2.4    Pendirian Bani Abbas (750-857 M. – 132-232 H.)
      Babak ketiga dalam drama besar politik islam dibuka oleh Abu Al-Abbas (750-754) yang berperan sebagai pelopor. Irak menjadi panggung besar drama itu. Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan setahun sebelumya di masjid kufah, khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut dirinya as-saffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk karena disnati yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah islam, disisi singgasana khalifah tergelar karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-saffah menjadi pendiri dinasti arab islam ketiga- setelah khulafa Ar-rasyidun dan dinasti umayah yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M. hingga 1258 M., penerus Abu Al-Abbas memegang pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan Negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) dinasti umayah. Sebagai ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai kesempatan seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah dan pada shalat jumat, khalifah mengenakan jubbah (burdah) yang pernah dikenakan oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad. Akan tetapi, masa pemerintahanya, begitu singkat. As-saffah meninggal (754-775 M.) karena penyakit cacar air ketika berusia 30-an.
      Saudaranya yang juga penerusnya, Abu Ja’far (754-775), yang mendapat julukan Al-Manshur adalah khalifah terbesar dinasti abbasiyah. Meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya, bukan as-saffah, yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
      Masa kejayaan abbasiyah terletak pada khalifah setelah as-saffah. Penulis mengutip Philip K.Hitty, bahwa masa keemasan (golden prime) abbasiyah terletak pada 10 khalifah.[9] Hal ini bereda dengan badri yatim, yang memasukan 7 khalifah sebagai masa kejayaan abbasiyah. Begitu pula, Harun nasution, hanya memasukan 9 khalifah ke dalam kategori sebagai khalifah yang memajukan abbasiyah.
      Kekhalifahan Baghdad yang didirikan oleh as-saffah dan al-mansyur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, al- Mahdi, dan khalifah yang kesembilan, al-watsiq, dan lebih khusus lagi pada masa harun ar-rasyid dan anaknya, al-ma’mun. karena kehebatan dua public, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah islam.[10]

2.5    Kemajuan Masa Abbasiyah
            Masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan:
a.         Administrative pemerintahan dengan biro-bironya;
b.        Sistem organisasi militer;
c.         Administrasi wilayah pemerintahan;
d.        Pertanian, perdagangan, dan industry;
e.         Islamisasi pemerintahan;
f.         Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, historiografi, filsafat islam, teologi, hukum (fiqh), dan etika islam, sastra, seni, dan penerjamahan;
g.        Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar (kuttab), menengah dan perguruan tinggi; perpustakan dan toko buku, media tulis, seni rupa, sei music, dan arsitek.
            Rincian berbagai kemajuan tersebut, dapat dilihat dari temuan Philip K. Hitti sebagai berikut:
1.      Biro-biro Pemerintahan Abbasiyah
            Dinasti abbasiyah memiliki kantor pengawasan (dewan az-zimani) yang pertama kali diperkenalkan oleh al-mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan at-tawqi) yang menangani semua surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejeni pengadilan tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administrative dan politik. Cikal bakal dewan ini dapat dilacak paa masa dinasti umayah, karena al-mawardi meriwayatkan bahwa abad al-malik adalah khalifah pertama yang menyediakan salah satu hari khusus untuk mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyatnya. Umar II meneruskan praktik tersebut. Praktik itu kemudian diperkenalkan ole al-mahdi ke dalam pemerintahan dinasti abbasiyah. Penggantinya, al-hadi, harun, al-ma’mun, dan khalifah selanjutya menerima keluhan itu dalam sebuah dengar public; al-muhtadi (869-870) adalah khalifah terakhir yang memelihara kebiasaan tersebut. Raja normandia, roger II, (1130-1154) memperkenalkan lembaga tersebut kesisilia, yang kemudian mengakar di daratan eropa.[11]

2.      Sistem Militer
            Sistem militer terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan pengajaran secara regular. Pasukan pengawal khalifah (hams) mungkin merupakan satu-satunya pasukan tetap yang masing-masing mengepalai sekelompok pasukan. Selain mereka, ada juga pasukan bayaran dan sukarelawan, serta sejumlah pasukan dari berbagai suku dan distrik. Pasukan tetap (jund) yang bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan yang dibayar secara berkala oleh pemerintah). Unit pasukan lainnya disebut muta-thawwih’ah (sukarelawan), yang hanya menerima gaji ketika bertugas. Kelompok sukarelawan ini direkrut dari orang badui, para petani, dan orang kota. Pasukan pengawal istana memperoleh bayaran lebih tinggi, bersenjata lengkap, dan beseragam. Pada masa-masa awal pemerintahan khalifah dinasti abbasiyah, rata-rata gaji pasukan infanteri, disamping gaji dan santunan rutin sekitar 960 dirharn per tahun, pasukan kavaleri menerima dua kali lipat dari itu.

3.      Wilayah Pemerintahan
      Pembagian wilayah kerajaan umayah ke dalam provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur (tunggal amir atau ‘amil) sama dengan pola pemerintahan pada kekuasaan bizantium dan Persia. Pembagian ini tidak mengalami perubahan berarti pada masa dinasti abbasiyah. Provinsi dinasti abbasiyah mengalami perubahan dari masa ke masa, dan klasifikasi politik juga tidak selalu terkait dengan klasifikasi geografis, seperti yang terekam dalam karya al-ishthakhri, ibn hawqal, ibn al-faqih, dan karya-karya sejenis. Berikut ini merupakan provinsi-provinsi utama pada masa awal kekhalifahan baghdad:
1)        Afrika disebelah barat gurun Libya bersama dengan sisilia;
2)        Mesir;
3)        Suriah dan palestina, yang terkadang dipisahkan;
4)        Hijaz dan yamamah (arab tengah);
5)        Yaman dan arab selatan;
6)        Bahrain dan oman, dengan bashrah dan irak sebagai ibukotanya;
7)        Sawad atau irak (Mesopotamia bawah), dengan kota utamanya setelah Baghdad, yaitu kufah dan wash;
8)        Jazirah (yaitu kawasan assyiria kuno, bukan semenanjung arab), dengan ibukota mosul;
9)        Azerbaijan, dengan kota-kota besarnya, seprti Ardabil, tibriz, dan maraghah;
10)    Jibal (perbukitan, media kuno), kemudian dikenal denga irak ajami (iraknya orang Persia), dengan kota utamanya adalah Ramadan.[12]

4.        Perdagangan dan Industri
            Sejak masa khalifah kedua abbasiyah, AL-Manshur, sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan maritime Arab dan Parsia dengan India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulaiman At-Tajir dan para pedagang muslim lainnya pada abad ke-3 hijriah. Tulang punggung pedagang ini adalah sutra, kontribusi terbesar orang Cina kepada dunia barat. Biasanya, jalur perdagangan yang disebut “jalan sutra”, menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina, sebuah wilayah yang kini tidak banyak dilalui dibanding wilayah-wilayah dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadaban. Barang-barang dagangan biasanya diangkut secara estafet, hanya sedikit khalifah yang menempuh sendiri perjalanan sejauh itu. Akan tetapi, hubungan diplomatic telah dibangun sebelum orang Arab terjun ke dunia perdagangan. Diriwayatkan bahwa Sa’d Ibn Abi Waqqash, penakluk Persia, menjadi duta yang dikirim nabi ke Cina. “Makam” Sa’d masih bisa ditemukan di kanton. Tulisan-tulisan tertentu pada monument Cina lama tentang agama islam di Cina jelas merupakan tulisan palsu yang dibuat oleh para tokoh agama. Pada pertengahan abad ke-8 telah dilakukan pertukaran duta. Dalam catatan Cina abad itu, kata amir al-muminin diucapkan dengan hanmi mom o ni oleh abu al-abbas, khalifah dinasti abbasiyah pertama, A bo lo bs; dan Harun, A lun. Pada masa khalifah-khalifah itu terdapat sejumlah orang islam yang menetap di Cina. Pada mulanya, orang islam itu dikenal dengan sebutan Ta Syih dan kemudia Hui Hui (pengikut Muhammad).
            Disebelah barat, para pedagang islam telah mencapai Maroko dan Spanyol. Seribu tahun sebelum de Lesseps, khalifah Harun mengemukakan gagasan tentang menggali kanal di sepanjang Ists-mus di Suez.Namun, perdagangan di mediterania Arab tidak pernah mencapai kemajuan yang berarti.Laut hitam juga tidak bisa mendukung perdagangan maritime, meskipun pada abad ke-10 dilakukan perdagangan singkat melalui jalur darat ke utara dengan orang yang tinggal di kawasan valda. Namun, karena jaraknya yang dekat dengan pusat kota Persia dan kota-kota makmur di Samarkand dan Bukhara, laut Caspian menjadi titik pertemuan dagang yang favorit. Para pedagang muslim membawa kurma, gula, kapas, dan kain wol, juga peralatan dari baja dan gelas.
            Pada masa Abbasiyah, orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur barus, dan sutra dari kawasan assia yang lebih jauh, juga mengimpor gading, kayu eboni, dan budak kulit hitam dari afrika. Gambaran tentang jumlah keuntungan yang diperoleh Rotaschild dan Rockefeller pada abad tersebut mungkin juga telah diraih oleh seorang penjual permata dari Baghdad, ibn al-jashshash, yang tetap kaya meskipun Al-muqtadir telah menyita hartanya sebesar 16 juta dinar, dan menjadi keluarga pertama yang dikenal sebagai pengusaha permata. Para pengusaha dari Bashrah yang membawa dagangannya dengan kapal laut ke berbagai negeri yang jauh, masing-masing membawa muatan bernilai lebih dari 1juta dirham. Seorang pemilik penggilingan di Bashrah dan Baghdad yang tidak berpendidikan mampu berderma untuk orang miskin sebesar 100 dinar perhari, dan kemudian diangkat oleh Al-mu’tashim menjadi wazirnya.
Tingkat aktivitas perdangan seperti itu didukung pula oleh pengembangan industry rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan. Daerah Asia Barat menjadi pusat industri karpet, sutra, kapas, dan kain wol, satin dan brokat (dibaj), sofa (dari bahasa arab, suffah) dan kain pembungkus bantal, juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Mesin penganyam Persia dan irak membuat karpet dan kain berkualitas tinggi. Ibu Al-Musta’in memiliki sehelai karpet yang dipasang khusus seharga 130 juta dirham dengan corak berbagai jenis burung dari emas yang dihiasi batu rubi dan batu-batuan indah lainnya. Sebuah pusat industri di Baghdad yang namanya diambil dari nama seorang pangeran Umayyah, Attab, memberi merk kain buatannya dengan ‘attabi yang pertama kali dibuat disana pada abad ke-12. Kain tersebut ditiru oleh perajin arab di Spayol, dan terkenal di prancis, italia, dan negara eropa lainnya dengan nama tabi. Istilah tersebut kemudian berubah menjadi tabby, yang merujuk pada seekor kucing yang unik dan berwarna kufah memproduksi kain sutra atau separuh sutra untuk penutup kepala yang masih digunakan hingga sekarang dengan nama kauftyah. Tawaj, fasa, dan kota-kota lainnya di Paris memiliki sejumlah pabrik kelas 1 yang membuat karpet, sulaman, brokat, dan gaun panjang untuk kalangan atas. Barang-barang semacam itu dikenal sebagai thiraz (dari bahasa Persia) yang memuat nama atau kode sultan.[13]

5.        Perkembangan Bidang Pertanian
            Bidang pertanian maju pesat pada awal pertahanan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad. Pertanian merupakan sunber utama pemasukan negara pengolahan tanah hampir sepenuhnya di kerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami peningkatan pada masa rezim baru. Lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa-desa yang hancur di berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap. Daerah rendah di lembah Tigris-Efrat, yang merupakan daerah terkaya setelah mesir, dan dipandang sebagai surga Aden, mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Mereka membuka kembali saluran irigasi yang lama dari sungai Efrat, dan membuat saluran irigasi baru sehingga membentuk sebuah “jariungan yang sempurna”. Ada 113 Kanal besar pertama, yang di sebut Nahr ‘Isa setelah di gali kembali oleh keluarga Al-Manshur, menghungkan aliran sungai Efrat di Anbar sebelah barat laut dengan sungai Tigris di baghdad.Salah satu cabang utama Nahr ‘Isa adalah sharah. Kanal terbesar kedua adalah Nahr Sharshar, yang bertemu dengan sungai  tigris di daerah Madain. Kanal ketiga adalah Nahr Al-Malik (“sungai raja”), yang tersambung ke sungai tigris di bawah Madain. Di bawah dua sungai itu terdapat Nahr Kutsa dan SharahBesar, yang mengairi sejumlah saluran. Kenal lainnya, Dujayl (sungai yang lebih kecil dari Diljah, Tigris), yang awalnya menghubungkan Tigris dengan Efrat, semakin dangkal pada abad ke-10, dan nama itu kemudian menjadi nama kanal baru berbentuk oval, yang merupakan cabang dari sungai Tigris. Kanal lainnya yang kurang penting adalah Nahr Ash-Shihah yang digali di Wash oleh Al-Mahdi. Para ahli geografi Arab menyebutkan beberapa khalifah yang “menggali” atau “membuka” “saluran”, yang dalam kebanyakan kasus, sebenarnya hanya menggali dan membuka kembali kanal-kanal yang pernah ada sebelumnya sejak masa Babilonia. Di Irak dan Mesir, yang dilakukan adalah pengaktifan kembali jaringan kanal lama. Bahkan, sebelum Perang Dunia Pertama, Sir William Willcock yang ditugaskan oelh pemerintahan Utsmani  untuk mengkaji persoalan irigasi di Irak, merekomendasikan untuk membuka lagi aliran sungai yang lama, daripada membangun kanal-kanal baru.
            Tanaman asli Irak terdiri atas gandung, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Daerah yang sangat subur berada di bantaran tepian sungai ke selatan, sawad, yang menumbuhkan berbagai jenis buah dan sayuran, yang tumbuh di daerah panas maupun dingin. Kacang, jeruk, terong, tebu, dan beragam bunga, seperti bunga mawar dan violet juga tumbuh subur.

6.        Islamisasi Masyarakat
            Sebanyak 5.000 orang Kristen Banu Tanukh di dekat Alleppo mengikuti perintah khalifah AL-Mahdi untuk masuk islam. Proses konversi secara normal berjalan lebih gradual, damai, dan bersifat pasti. Kebanyakan  konversi yang dilakukan oleh penduduk taklukan didorong oleh motif kepentingan individu, agar mendapat prestise sosial dan pengaruh politik, serta menikmati kebebasan dan keamanan yang lebih besar. Penduduk Persia baru beralih ke agama Ialam pada abad ketiga setelah wilayah itu dikuasai Ialam.Sebelumnya mereka menganut Zoroaster.
7.        Bidang Kedokteran
            Dari tulisan Ibn Maskawayh, kita mendapatkan sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua tentang optalmologi. Belakangan ini, sebuah buku berjudul Al-Asyr Maqalat fi Al-Ayn (sepuluh risalah tentang Mata) yang di anggap sebagai karya muridnya, Hunayn ibn Ishqaq, telah di terbitkan dalam bahasa Inggris sebagai buku teks tentang optalmologi paling awal yang kita miliki. Minat orang arab terhadap ilmu kedokteran di ilhami oleh hadis Nabi yang membagi pengetahuan ke dalam dua kelompok teologi dan kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus merupakan seorang teolog.
Ali ibn Al-Abbass (Haly Abbas, w.994), yang awalnya menganut ajaran Zoroaster, sebagaimana terlihat dari namanya, Al-majusi, dikenal sebagai penulis buku Al-kitab Al-maliki(buku raja, liber regius), yang ia tulis untuk Raja Buwayhi, adhud Ad-Dawlah Fnna Khusraw, yang memerintah antara 949 hingga 983. Karya ini yang disebut juga kamil Ash-Shind ah Ath-Thibbiyah, sebuah “kamus penting yang meliputi pengetahuan dan praktik kedokteran”.
            Nama paling terkenal dalam catatan kedokteran Arab setelah Ar-Razi adalah Ibn Sina (Avicenna, yang masuk kebahasa latin melalui bahasa Ibrani, Aven Sina, 980-1037), yang di sebut oleh orang Arab sebagai Asy-Syaikh Ar-Ra’is, “pemimpin” (orang terpelajar) dan “pangeran” ( para pejabat). Ar-Rezi lebih menguasai kedokteran daripada Ar-Razi .dalam diri seorang Dokter, filosof, dan penyair inilah, ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi.
Diantara karya-karya ilmiahnya, dua buku yang paling unggul adalah Kitab Asy-asyifa (buku tentang penyembuhan), sebuah buku ensiklopedia filsafat yang di sasarkan atas tradisi Aristotelian yang telah di pengaruhi oleh neo-Platonisme dan teologi Ialam, serta Al-Qanun fi Ath-Thibb, yang merupakan kodifikasi pemikiran kedokteran Yunani-Arab. Teks berbahasa arab dari buku Al-Qanun diterbitkan di Roma pada 1593, dan kemudian menjadi salah satu buku berbahasa Arab tertua yang pernah diterbitkan. Di terjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke 12, buku tersebut, dengan seluruh kandungan ensiklopedisnya, susunannya yang sistematis, dan penuturannya yang filosofis, segera menempati posisi penting dalam literatur kedokteran masa itu, menggantikan karya-karya Galen, Ar-Razi, dan AL-Majusi, serta menjadi buku teks pendidikan kedokteran di sekolah-sekolah Eropa.

8.        Pendidikan, Perputakaan, dan Toko Buku
            Lembaga pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al-Hikmah (Rumah Kebijakan ) yang di dirikan oleh Al-ma’mun (830 M) di Baghdad, ibukota negara. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah observatorium. Pada saat itu, observatorium-observatorium yang banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran astronomi. Fungsi lembaga itu persis sama dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran. Akan tetapi, akademi Islam pertama yang menyediakan berbagai kebutuhan fisik untuk mahasiswanya, dan menjadi model bagi pembangunan akademi-akademi lainnya adalah Nizhamiyah yang didirikan pada tahun 10651-1067 oleh Nizham Al-Mulk, seorang menteri dari Persia pada kekhalifahan Bani Saljuk, Sultan Alp Arslan, dan Maliksyah, yang juga merupakan penyokong Umar Al-Khayyam. Dinasti Saljuk, sebagai Dinasti Buwaihiyah dan sultan-sultan non-Arab lainnya yang mengemban kekuasaan besar atas kehidupan umat islam, bersaing satu sama lain dalam hal pengembangan seni dan pendidikan yang lebih tinggi.
Perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar catalog, dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Bashrah memiliki sebuah perpustkaan yang didalamnya para sarjana bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat sebuah tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat itu menyimpan ribuan manuskrip yang diangkut oleh lebih dari mepat ratus ekor unta. Seluruh naskah itu kemudian didaftar dalam sepuluh jilid catalog.
Selain perpustakaan, gambaran tentang budaya baca pada periode ini bisa juga dilihat dari banyaknya toko buku. Toko-toko itu, yang juga berfungsi selain agen pendidikan, mulai muncul sejak awal kekhalifahan Abbasiyah. Al-Ya’kub meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891) ibu kora Negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko tersebut, sebagaimana toko-toko yang muncul di Damaskus dan Kairo.[14]
2.6    Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Faktor-faktor penyebab Kemunduran
a.         Faktor Intern
1)        Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
2)        Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
Perebutan kekuasaan dimulai sejak masa Al-Ma’mun dengan Al-Amin. Ditambah dengan masuknya unsur Turki dan Parsi. Setelah Al-Mutawakkil wafat, pergantian khalifah terjadi secara tidak wajar. Dari ke dua belas khalifah pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, hanya empat orang khalifah yang wafat dengan wajar. Selebihnya, para khalifah itu wafat karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.
3)        Konflik keagamaan
Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dan khalifah Ali yang berakhir dengan lahirnya tiga kelompok umat: pengikut Muawiyah Syi’ah, dan Khawarij, ketiga kelompok ini senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh pada masa ke khalifahan Muawiyah maupun masa kekhalifahan Abbasiyah adalah kelompok Sunni dan kelompok Syi’ah. Walaupun pada masa-masa tertentu antara kelompok Sunni dan Syi’ah saling mendukung, misalnya pada pada masa pemerintahan Buwaihi, antara kedua kelompok tak pernah ada satu kesepakatan .
b.        Faktor ekstern
1)        Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah, akibat kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan islam, secara real, daerah-daerah itu berada dibawah kekuasaan gubernur-gubernur yang bersangkutan. Akibatnya, provinsi-provinsi tersebut banyak yang melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbas. Adapun cara provinsi-provinsi tersebut melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad adalah :
a.    Seorang pemimpin local memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayah di Spanyol dan Inrisiyah di Maroko.
b.    Seorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat kemudian melepaskan diri, seperti daulat Aglabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Kurasan.

2)        Dominasi Bangsa Turki
Sejak abad kesembilan, kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khususnya tentara turki, kemudian mengangkatnya menjadi panglima-panglima. Pengangkatan anggota Militer inilah, dalam perkembangan selanjutnya, yang mengancam kekuasaan khalifah. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Walaupun khalifah dipegang oleh Bani Abbas, di tangan mereka, khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah yang sesuai dengan politik mereka.
Khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada masa kekuasaan Bangsa Turki I, mulai khalifah ke-10, Khalifah Al-Mutawwakil (tahun 232 H) hingga Khalifah ke-22, Khalifah Al-Mustaqfi Billah (Abdullah Suni-Qasim tahun 334 H). Pada masa kekuasaan bangsa Turki II (Banu Saljuk), mulai dari khalifah ke-27, khalifah Muqtadie bin Muhammad (tahun 467 H) hingga khalifah ke-37, khalifah Musta’shim bin Mastanshir (tahun 656 H).
3)        Dominasi bangsa Persia
Masa kekuasaan Bangsa Parsi (Banu Buyah) berjalan lebih dari 150 tahun. Pada masa ini, kekuasaan pusat di Baghdad dilucuti dan di berbagai daerah muncul Negara-negara baru yang berkuasa dan membuat kemajuan dan perkembangan baru.
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, ketentuan parsi bekerja sama dalam mengelola pemerintahan dan Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang. Pada periode kedua, saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian khalifah, yaitu dari Khalifah Muttaqi (khalifah ke-22) kepada Khalifah Muthie’ (khalifah ke-23) tahun 334 H, Banu Buyah (parsi) berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya mereka berkhidmat kepada pembesar-pembesar dari para khalifah, sehingga banyak dari mereka yang menjadi panglima tentara, diantaranya menjadi panglima besar. Setelah mereka memiliki kedudukan yang kuat, para khalifah Abbasiyah berada dibawah telunjuk mereka dan seluruh pemerintahan berada di tangan mereka. Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja, hanya disebut dalam doa-doa di atas mimbar, bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas mata uang, dinas, dan dirham.[15]
2.7    Sebab-sebab Kehancuran dinasti Abbasiyah
1.        Faktor intern
a.         Lemahnya semangat patriotism Negara, menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan Islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan yang datang, baik dari dalam maupun dari luar.
b.         Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung Negara selama ini.
c.         Tidak percaya pada kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.
d.        Fanatik Mazhab persaingan dan perebutan yang tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah menyebabkan kekuatan umat Islam menjadi lemah, bahkan hancur berkeping-keping.
          Perang ideology antara Syi’ah dari Fatimiah melawan Ahlu Sunnah dari Abbasiyah, banyak menimbulkan korban. Aliran Qaramithah yang sangat ektrem dalam tindakan-tindakannya yang dapat menimbulkan bentrokan di masyarakat. Kelompok Hashshashin yang dipimpin oleh Hasan bin Shabah yang berasal dari Thus di Parsi merupakan aliran Ismailiyah , salah satu sekte Syi’ah adalah kelompok yang sangat dikenal kekejamannya, yang sering melakukan pembunuhan terhadap penguasa Bani Abbasiyah yang beraliran Sunni.
          Pada saat terakhir dari hayatnya Abbasiyah, Tentara Tartar yang datang dari luar dibantu dari dalam dan dibukakan jalannya oleh golongan Awaliyin yang dipimpin oleh Alqamiy.
e.         Kemerosotan ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk anggaran tentara, banyaknya pemberontakan dan kebiasaan para penguasa untuk berfoya-foya, kehidupan para khalifah dan keluarganya serta pejabat-pejabat Negara yang hidup mewah, jenis pengeluaran yang makin beragam, serta pejabat yang korupsi, dan semakin sempitnya wilayah kekuasaan khalifah karena telah banyak provinsi yang telah memisahkan diri.

2.        Faktor Ekstern
              Disintegrasi, akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam daripada politik, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekedar memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan berusaha merebut pusat kekuasaan di Baghdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga menggunakan SDM. (provinsi-provinsi yang melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyah, dijelaskan selanjutnya). Yang paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan Fatimah di Mesir walaupun pemerintahan lainnya pun cukup menjadi perhitungan para khalifah di Baghdad. Pada akhirnya, pemerintah-pemerintah tandingan ini dapat ditaklukan atas bantuan Bani Saljuk atau Buyah.[16]





[1] Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah_Aqius Blog.htm (Pada Tanggal 10 April Pukul 20.30)
[2] Ibid
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, Hlm. 127
[4] Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah_Aqius Blog.htm (Pada Tanggal 10 April Pukul 20.30)
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2010, Hlm. 52
[10] Dedi Supriyadi, Op. Cit. Hlm. 128
[11] Ibid, Hlm. 130
[12] Ibid, Hlm. 131
[13] Ibid, Hlm 132-133
[14] Ibid, 133-137
[15] Ibid, Hlm. 137-139
[16] Ibid, Hlm. 139-141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar