2.1 Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
Kekuasaan
Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah.
Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah
keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia
dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada
tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari
tahun 750-1258 M (Syalaby,1997:44).
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan
diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari
segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan
Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh
pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti
Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini
dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti
akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi.
Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu
revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang
menjadi identitas revolusi yaitu :
1.
Bahwa pada masa sebelum revolusi
ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan
kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari
ideologi yang berkuasa itu.
2.
Mekanisme pemerintahannya tidak efesien
karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan
keadaan dan tuntuta zaman
3.
Terjadinya penyeberangan kaum
intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan
oleh para kritikus.
4.
Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di
pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan
dilakukan oleh para penguasa oleh karena halhal tertentu yang merasa tidak puas
dengan syistem yang ada . Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3
tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang
lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan
kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari
namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan
Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim,
baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah
terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya
menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara
terang-terangan dengan
golongan Bani Umayyah.
golongan Bani Umayyah.
Demikian
pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai
warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh
pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan
kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah
mendapatkan dukungan. Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan
Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase
terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211). Selama Imam Muhammad masih
hidup gerakan dilakukan sangat rahasia.
Propaganda
dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama
dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada
mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh
anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas
bernama Abu Muslim al-Khusarany,
bergabubg dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.[1]
bergabubg dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.[1]
2.2 Sistem Politik, Pemerintahan dan
Sosial
1.
Sistem
Politik dan Pemerintahan
Khalifah
pertama Bani Abbasiyah, Abdul Abbas yang sekaligus dianggap sebagai pendiri
Bani Abbas, menyebut dirinya dengan julukan Al-Saffah yang berarti Sang
Penumpah Darah. Sedangkan Khalifah Abbasiyah kedua mengambil gelar Al-Mansur
dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan Abbasiyah. Di bawah Abbasiyah,
kekhalifahan berkembang sebagai system politik. Dinasti ini muncul dengan
bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan terhadap Bani Umayyah di dalam
masalah sosial dan politik diskriminastif. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang
memakai gelar ”Imam”, pemimpin masyarakat muslim bertujuan untuk menekankan
arti keagamaan kekhalifahan. Abbasiyah mencontoh tradisi Umayyah di dalam
mengumumkan lebih dari satu putra mahkota raja.
Al-Mansur
dianggap sebagai pendiri kedua dari Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahannya
Baghdad dibagun menjadi ibu kota Dinasti Abbasiyah dan merupakan pusat
perdagangan serta kebudayaan. Hingga Baghdad dianggap sebagai kota terpenting
di dunia pada saat itu yang kaya akan ilmu pengetahuan dan kesenian. Hingga
beberapa dekade kemudian dinasti Abbasiyah mencapai masa kejayaan. Ada beberapa
sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, yaitu:
a.
Para
Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil
dari kaum mawalli.
b.
Kota
Bagdad dijadikan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik,
ekonomi, sosial dan ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk
bangsa dan penganut agama lain.
c.
Ilmu
pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang
harus dikembangkan.
d.
Kebebasan
berpikir sebagai hak asasi manusia.
2.
Sistem
Sosial
Pada masa ini, sistem sosial adalah
sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umaiyah). Akan tetapi, pada masa
ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok, yaitu:
a. Tampilnya kelompok mawali dalam
pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial.
b. Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah
terdiri dari beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab
dll.)
c. Perkawinan campur yang melahirkan darah
campuran
d. Terjadinya pertukaran pendapat,
sehingga muncul kebudayaan baru .[2]
2.3
Periodesasi
Masa Abbasiyah
Para sejarawan mengklasifikasi periode Abbasiyah berbeda-beda.
Al-Khudri, Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Mesir (Egyptian University) membagi kedalam lima masa, yaitu:
1.
Masa kuat-kuasa dan bekerja membangun,
berjalan 100 tahun lamanya, dari 132 s.d. 232 H.;
2. Masa
berkuasanya panglima-panglima Turki, berjalan 100 tahun lamanya, dari 232 s.d.
334 H.;
3. Masa
berkuasanya Bani Buyah (Buwayhid), berjalan 100 tahun lamanya, dari 334 s.d.
447 H.;
4. Masa
berkuasanya Bani Saljuk (Seljuqiyak), berjalan 100 tahun lamanya, dari 447 s.d.
530 H.;
5. Masa
bergerak balik kekuasaan politik Khalifah-khalifah Abbasiyah dengan
merajalelanya para panglima perang, selama 125 tahun, dari 530 H. sampai
musnahnya Abbasiyah di bawah serbuan Jengiz Khan dan putranya Hulagu Khan dari
Tartar pada tahun 656 H.[3]
Menurut
B.G Stryzewki membagi masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah menjadi lima periode,
yaitu:
1.
Periode pertama (132 H./750 M. s.d. 232
H./847 M.), disebut periode pengaruh Persia pertama;
Pada periode pertama pemerintahan Bani
Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di
sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat
singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya
dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu
kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan
dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu
kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota
Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti
bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini
al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat
sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai
koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi
perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun
berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir
yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin
Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya,
menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi
Gubernur Persia Barat
dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi Negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad
ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah. Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi Negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluarga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab. Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad
ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah. Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah
kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi
sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar
pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin. Popularitas Daulah
Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid (786-809 M) dan
putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun
al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan
farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman
Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim, 2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah. Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim, 2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah. Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak
gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain semuanya dapat dipadamkan.
Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat
politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya,
stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah
pengaruh kekuasaan yang lain.[4]
2.
Periode kedua (232 H./847 M. s.d. 334
H./945 M.), disebut periode pegaruh turki pertama;
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta
kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan
mewah para Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat.
Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula
diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka,
sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah
yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun. Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal.
yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun. Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal.
Dari dua belas Khalifah pada periode
kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan
dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot
tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh
kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti
kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun
faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada
periode ini adalah sebagai berikut:
periode ini adalah sebagai berikut:
a.
Luasnya wilayah kekuasaan Daulah
Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan
dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
b.
Dengan profesionalisasi tentara,
ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c.
Kesulitan keuangan karena beban
pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak
sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.[5]
3.
Periode ketiga (334 H./945 M. s.d. 447
H./1105 M.), masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam pemerintahan khalifah
Abbasiyah. Periode ini disebut juga pengaruh Persia kedua;
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada
di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih. Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.[6]
Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih. Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.[6]
4.
Periode keempat (447 H./1105 M. s.d. 590
H./1195 M.), masa kekuasaan dinasti saljuk yang biasa disebut dengan masa
pengaruh turki kedua;
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani
Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan
Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah
memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali
setelah beberapa lama dikuasai oleh orangorang Syi’ah. Sebagaimana pada periode
sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk,
perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah
Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabangcabang Madrasah
Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini
menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah
lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para
cendekiawan
Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk
mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.[7]
Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk
mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.[7]
5.
Periode kelima (590 H./1194 M. s.d. 656
H./1258 M.), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif di Baghdad.
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas
Baghdad atau khilafah Abbasiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah
Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor
penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat
kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani
Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan
sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan. Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain
yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut
saling berkaitan satu sama.
Kedua pola periodesasi diatas, pada
dasarnya sama dan tidak signifikan. Untuk memudahkan pembahasan, periode
Abbasiyah dibagi menjadi empat tahap, yaitu pendirian, kemajuan, kemunduran,
dan kehancuran.[8]
2.4 Pendirian Bani Abbas (750-857 M. –
132-232 H.)
Babak ketiga dalam drama besar politik
islam dibuka oleh Abu Al-Abbas (750-754) yang berperan sebagai pelopor. Irak
menjadi panggung besar drama itu. Dalam khotbah penobatannya, yang disampaikan
setahun sebelumya di masjid kufah, khalifah Abbasiyah pertama itu menyebut
dirinya as-saffih, penumpah darah, yang kemudian menjadi julukannya. Julukan
itu merupakan pertanda buruk karena disnati yang baru muncul ini mengisyaratkan
bahwa mereka lebih mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah islam, disisi singgasana khalifah tergelar karpet
yang digunakan sebagai tempat eksekusi. As-saffah menjadi pendiri dinasti arab
islam ketiga- setelah khulafa Ar-rasyidun dan dinasti umayah yang sangat besar
dan berusia lama. Dari 750 M. hingga 1258 M., penerus Abu Al-Abbas memegang
pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa. Orang Abbasiyah mengklaim
dirinya sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan Negara
teokrasi, yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) dinasti umayah. Sebagai
ciri khas keagamaan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai kesempatan
seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah dan pada shalat jumat,
khalifah mengenakan jubbah (burdah) yang pernah dikenakan oleh saudara
sepupunya, Nabi Muhammad. Akan tetapi, masa pemerintahanya, begitu singkat.
As-saffah meninggal (754-775 M.) karena penyakit cacar air ketika berusia
30-an.
Saudaranya yang juga penerusnya, Abu
Ja’far (754-775), yang mendapat julukan Al-Manshur adalah khalifah terbesar
dinasti abbasiyah. Meskipun bukan seorang muslim yang saleh, dialah sebenarnya,
bukan as-saffah, yang benar-benar membangun dinasti baru itu. Seluruh khalifah
yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Masa kejayaan abbasiyah terletak pada
khalifah setelah as-saffah. Penulis mengutip Philip K.Hitty, bahwa masa keemasan
(golden prime) abbasiyah terletak pada 10 khalifah.[9]
Hal ini bereda dengan badri yatim, yang memasukan 7 khalifah sebagai masa kejayaan
abbasiyah. Begitu pula, Harun nasution, hanya memasukan 9 khalifah ke dalam
kategori sebagai khalifah yang memajukan abbasiyah.
Kekhalifahan Baghdad yang didirikan oleh
as-saffah dan al-mansyur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga,
al- Mahdi, dan khalifah yang kesembilan, al-watsiq, dan lebih khusus lagi pada
masa harun ar-rasyid dan anaknya, al-ma’mun. karena kehebatan dua public, dan
menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah islam.[10]
2.5
Kemajuan
Masa Abbasiyah
Masa
ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat islam sebagai pusat dunia
dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek
kehidupan:
a.
Administrative pemerintahan dengan
biro-bironya;
b.
Sistem organisasi militer;
c.
Administrasi wilayah pemerintahan;
d.
Pertanian, perdagangan, dan industry;
e.
Islamisasi pemerintahan;
f.
Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi,
matematika, geografi, historiografi, filsafat islam, teologi, hukum (fiqh), dan
etika islam, sastra, seni, dan penerjamahan;
g.
Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi
pendidikan dasar (kuttab), menengah dan perguruan tinggi; perpustakan dan toko
buku, media tulis, seni rupa, sei music, dan arsitek.
Rincian berbagai kemajuan tersebut,
dapat dilihat dari temuan Philip K. Hitti sebagai berikut:
1. Biro-biro
Pemerintahan Abbasiyah
Dinasti
abbasiyah memiliki kantor pengawasan (dewan az-zimani) yang pertama kali
diperkenalkan oleh al-mahdi; dewan korespondensi atau kantor arsip (dewan
at-tawqi) yang menangani semua surat resmi, dokumen politik serta instruksi dan
ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos.
dewan penyelidik keluhan (dewan an-nazhar fi al-mazhalini) adalah sejeni
pengadilan tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus-kasus
yang diputuskan secara keliru pada departemen administrative dan politik. Cikal
bakal dewan ini dapat dilacak paa masa dinasti umayah, karena al-mawardi
meriwayatkan bahwa abad al-malik adalah khalifah pertama yang menyediakan salah
satu hari khusus untuk mendengar secara langsung permohonan dan keluhan
rakyatnya. Umar II meneruskan praktik tersebut. Praktik itu kemudian
diperkenalkan ole al-mahdi ke dalam pemerintahan dinasti abbasiyah.
Penggantinya, al-hadi, harun, al-ma’mun, dan khalifah selanjutya menerima
keluhan itu dalam sebuah dengar public; al-muhtadi (869-870) adalah khalifah
terakhir yang memelihara kebiasaan tersebut. Raja normandia, roger II,
(1130-1154) memperkenalkan lembaga tersebut kesisilia, yang kemudian mengakar
di daratan eropa.[11]
2. Sistem
Militer
Sistem
militer terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan
dan pengajaran secara regular. Pasukan pengawal khalifah (hams) mungkin
merupakan satu-satunya pasukan tetap yang masing-masing mengepalai sekelompok
pasukan. Selain mereka, ada juga pasukan bayaran dan sukarelawan, serta
sejumlah pasukan dari berbagai suku dan distrik. Pasukan tetap (jund) yang
bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan yang dibayar secara berkala oleh pemerintah).
Unit pasukan lainnya disebut muta-thawwih’ah (sukarelawan), yang hanya menerima
gaji ketika bertugas. Kelompok sukarelawan ini direkrut dari orang badui, para
petani, dan orang kota. Pasukan pengawal istana memperoleh bayaran lebih
tinggi, bersenjata lengkap, dan beseragam. Pada masa-masa awal pemerintahan
khalifah dinasti abbasiyah, rata-rata gaji pasukan infanteri, disamping gaji
dan santunan rutin sekitar 960 dirharn per tahun, pasukan kavaleri menerima dua
kali lipat dari itu.
3. Wilayah
Pemerintahan
Pembagian wilayah kerajaan umayah ke dalam
provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur (tunggal amir atau ‘amil) sama
dengan pola pemerintahan pada kekuasaan bizantium dan Persia. Pembagian ini
tidak mengalami perubahan berarti pada masa dinasti abbasiyah. Provinsi dinasti
abbasiyah mengalami perubahan dari masa ke masa, dan klasifikasi politik juga
tidak selalu terkait dengan klasifikasi geografis, seperti yang terekam dalam
karya al-ishthakhri, ibn hawqal, ibn al-faqih, dan karya-karya sejenis. Berikut
ini merupakan provinsi-provinsi utama pada masa awal kekhalifahan baghdad:
1)
Afrika disebelah barat gurun Libya
bersama dengan sisilia;
2)
Mesir;
3)
Suriah dan palestina, yang terkadang
dipisahkan;
4)
Hijaz dan yamamah (arab tengah);
5)
Yaman dan arab selatan;
6)
Bahrain dan oman, dengan bashrah dan
irak sebagai ibukotanya;
7)
Sawad atau irak (Mesopotamia bawah),
dengan kota utamanya setelah Baghdad, yaitu kufah dan wash;
8)
Jazirah (yaitu kawasan assyiria kuno,
bukan semenanjung arab), dengan ibukota mosul;
9)
Azerbaijan, dengan kota-kota besarnya,
seprti Ardabil, tibriz, dan maraghah;
10) Jibal
(perbukitan, media kuno), kemudian dikenal denga irak ajami (iraknya orang
Persia), dengan kota utamanya adalah Ramadan.[12]
4.
Perdagangan dan Industri
Sejak masa khalifah kedua abbasiyah,
AL-Manshur, sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan maritime
Arab dan Parsia dengan India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulaiman
At-Tajir dan para pedagang muslim lainnya pada abad ke-3 hijriah. Tulang
punggung pedagang ini adalah sutra, kontribusi terbesar orang Cina kepada dunia
barat. Biasanya, jalur perdagangan yang disebut “jalan sutra”, menyusuri
Samarkand dan Turkistan Cina, sebuah wilayah yang kini tidak banyak dilalui dibanding
wilayah-wilayah dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadaban. Barang-barang
dagangan biasanya diangkut secara estafet, hanya sedikit khalifah yang menempuh
sendiri perjalanan sejauh itu. Akan tetapi, hubungan diplomatic telah dibangun
sebelum orang Arab terjun ke dunia perdagangan. Diriwayatkan bahwa Sa’d Ibn Abi
Waqqash, penakluk Persia, menjadi duta yang dikirim nabi ke Cina. “Makam” Sa’d
masih bisa ditemukan di kanton. Tulisan-tulisan tertentu pada monument Cina lama
tentang agama islam di Cina jelas merupakan tulisan palsu yang dibuat oleh para
tokoh agama. Pada pertengahan abad ke-8 telah dilakukan pertukaran duta. Dalam
catatan Cina abad itu, kata amir al-muminin diucapkan dengan hanmi mom o ni
oleh abu al-abbas, khalifah dinasti abbasiyah pertama, A bo lo bs; dan Harun, A
lun. Pada masa khalifah-khalifah itu terdapat sejumlah orang islam yang menetap
di Cina. Pada mulanya, orang islam itu dikenal dengan sebutan Ta Syih dan
kemudia Hui Hui (pengikut Muhammad).
Disebelah barat, para pedagang islam
telah mencapai Maroko dan Spanyol. Seribu tahun sebelum de Lesseps, khalifah
Harun mengemukakan gagasan tentang menggali kanal di sepanjang Ists-mus di
Suez.Namun, perdagangan di mediterania Arab tidak pernah mencapai kemajuan yang
berarti.Laut hitam juga tidak bisa mendukung perdagangan maritime, meskipun
pada abad ke-10 dilakukan perdagangan singkat melalui jalur darat ke utara
dengan orang yang tinggal di kawasan valda. Namun, karena jaraknya yang dekat
dengan pusat kota Persia dan kota-kota makmur di Samarkand dan Bukhara, laut
Caspian menjadi titik pertemuan dagang yang favorit. Para pedagang muslim
membawa kurma, gula, kapas, dan kain wol, juga peralatan dari baja dan gelas.
Pada masa Abbasiyah, orang-orang
justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur barus, dan
sutra dari kawasan assia yang lebih jauh, juga mengimpor gading, kayu eboni,
dan budak kulit hitam dari afrika. Gambaran tentang jumlah keuntungan yang
diperoleh Rotaschild dan Rockefeller pada abad tersebut mungkin juga telah
diraih oleh seorang penjual permata dari Baghdad, ibn al-jashshash, yang tetap
kaya meskipun Al-muqtadir telah menyita hartanya sebesar 16 juta dinar, dan
menjadi keluarga pertama yang dikenal sebagai pengusaha permata. Para pengusaha
dari Bashrah yang membawa dagangannya dengan kapal laut ke berbagai negeri yang
jauh, masing-masing membawa muatan bernilai lebih dari 1juta dirham. Seorang
pemilik penggilingan di Bashrah dan Baghdad yang tidak berpendidikan mampu berderma
untuk orang miskin sebesar 100 dinar perhari, dan kemudian diangkat oleh
Al-mu’tashim menjadi wazirnya.
Tingkat aktivitas perdangan seperti itu
didukung pula oleh pengembangan industry rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri
kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan. Daerah Asia Barat
menjadi pusat industri karpet, sutra, kapas, dan kain wol, satin dan brokat
(dibaj), sofa (dari bahasa arab, suffah) dan kain pembungkus bantal, juga
perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Mesin penganyam Persia dan irak
membuat karpet dan kain berkualitas tinggi. Ibu Al-Musta’in memiliki sehelai
karpet yang dipasang khusus seharga 130 juta dirham dengan corak berbagai jenis
burung dari emas yang dihiasi batu rubi dan batu-batuan indah lainnya. Sebuah
pusat industri di Baghdad yang namanya diambil dari nama seorang pangeran
Umayyah, Attab, memberi merk kain buatannya dengan ‘attabi yang pertama kali
dibuat disana pada abad ke-12. Kain tersebut ditiru oleh perajin arab di
Spayol, dan terkenal di prancis, italia, dan negara eropa lainnya dengan nama
tabi. Istilah tersebut kemudian berubah menjadi tabby, yang merujuk pada seekor
kucing yang unik dan berwarna kufah memproduksi kain sutra atau separuh sutra
untuk penutup kepala yang masih digunakan hingga sekarang dengan nama kauftyah.
Tawaj, fasa, dan kota-kota lainnya di Paris memiliki sejumlah pabrik kelas 1
yang membuat karpet, sulaman, brokat, dan gaun panjang untuk kalangan atas.
Barang-barang semacam itu dikenal sebagai thiraz (dari bahasa Persia) yang
memuat nama atau kode sultan.[13]
5.
Perkembangan Bidang Pertanian
Bidang pertanian maju pesat pada
awal pertahanan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya berada di daerah
yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad. Pertanian
merupakan sunber utama pemasukan negara pengolahan tanah hampir sepenuhnya di
kerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami peningkatan pada masa
rezim baru. Lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa-desa yang hancur di
berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap. Daerah
rendah di lembah Tigris-Efrat, yang merupakan daerah terkaya setelah mesir, dan
dipandang sebagai surga Aden, mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Mereka
membuka kembali saluran irigasi yang lama dari sungai Efrat, dan membuat
saluran irigasi baru sehingga membentuk sebuah “jariungan yang sempurna”. Ada
113 Kanal besar pertama, yang di sebut Nahr ‘Isa setelah di gali kembali oleh
keluarga Al-Manshur, menghungkan aliran sungai Efrat di Anbar sebelah barat
laut dengan sungai Tigris di baghdad.Salah satu cabang utama Nahr ‘Isa adalah
sharah. Kanal terbesar kedua adalah Nahr Sharshar, yang bertemu dengan
sungai tigris di daerah Madain. Kanal
ketiga adalah Nahr Al-Malik (“sungai raja”), yang tersambung ke sungai tigris
di bawah Madain. Di bawah dua sungai itu terdapat Nahr Kutsa dan SharahBesar,
yang mengairi sejumlah saluran. Kenal lainnya, Dujayl (sungai yang lebih kecil
dari Diljah, Tigris), yang awalnya menghubungkan Tigris dengan Efrat, semakin
dangkal pada abad ke-10, dan nama itu kemudian menjadi nama kanal baru
berbentuk oval, yang merupakan cabang dari sungai Tigris. Kanal lainnya yang
kurang penting adalah Nahr Ash-Shihah yang digali di Wash oleh Al-Mahdi. Para
ahli geografi Arab menyebutkan beberapa khalifah yang “menggali” atau “membuka”
“saluran”, yang dalam kebanyakan kasus, sebenarnya hanya menggali dan membuka
kembali kanal-kanal yang pernah ada sebelumnya sejak masa Babilonia. Di Irak
dan Mesir, yang dilakukan adalah pengaktifan kembali jaringan kanal lama.
Bahkan, sebelum Perang Dunia Pertama, Sir William Willcock yang ditugaskan oelh
pemerintahan Utsmani untuk mengkaji
persoalan irigasi di Irak, merekomendasikan untuk membuka lagi aliran sungai
yang lama, daripada membangun kanal-kanal baru.
Tanaman asli Irak terdiri atas
gandung, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Daerah yang sangat subur berada
di bantaran tepian sungai ke selatan, sawad, yang menumbuhkan berbagai jenis
buah dan sayuran, yang tumbuh di daerah panas maupun dingin. Kacang, jeruk,
terong, tebu, dan beragam bunga, seperti bunga mawar dan violet juga tumbuh
subur.
6.
Islamisasi Masyarakat
Sebanyak 5.000 orang Kristen Banu Tanukh di dekat Alleppo
mengikuti perintah khalifah AL-Mahdi untuk masuk islam. Proses konversi secara
normal berjalan lebih gradual, damai, dan bersifat pasti. Kebanyakan konversi yang dilakukan oleh penduduk
taklukan didorong oleh motif kepentingan individu, agar mendapat prestise
sosial dan pengaruh politik, serta menikmati kebebasan dan keamanan yang lebih
besar. Penduduk Persia baru beralih ke agama Ialam pada abad ketiga setelah
wilayah itu dikuasai Ialam.Sebelumnya mereka menganut Zoroaster.
7.
Bidang Kedokteran
Dari tulisan Ibn Maskawayh, kita
mendapatkan sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua tentang
optalmologi. Belakangan ini, sebuah buku berjudul Al-Asyr Maqalat fi Al-Ayn
(sepuluh risalah tentang Mata) yang di anggap sebagai karya muridnya, Hunayn
ibn Ishqaq, telah di terbitkan dalam bahasa Inggris sebagai buku teks tentang
optalmologi paling awal yang kita miliki. Minat orang arab terhadap ilmu
kedokteran di ilhami oleh hadis Nabi yang membagi pengetahuan ke dalam dua
kelompok teologi dan kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus
merupakan seorang teolog.
Ali ibn Al-Abbass (Haly Abbas, w.994),
yang awalnya menganut ajaran Zoroaster, sebagaimana terlihat dari namanya,
Al-majusi, dikenal sebagai penulis buku Al-kitab Al-maliki(buku raja, liber
regius), yang ia tulis untuk Raja Buwayhi, adhud Ad-Dawlah Fnna Khusraw, yang
memerintah antara 949 hingga 983. Karya ini yang disebut juga kamil Ash-Shind
ah Ath-Thibbiyah, sebuah “kamus penting yang meliputi pengetahuan dan praktik
kedokteran”.
Nama paling terkenal dalam catatan
kedokteran Arab setelah Ar-Razi adalah Ibn Sina (Avicenna, yang masuk kebahasa
latin melalui bahasa Ibrani, Aven Sina, 980-1037), yang di sebut oleh orang
Arab sebagai Asy-Syaikh Ar-Ra’is, “pemimpin” (orang terpelajar) dan “pangeran”
( para pejabat). Ar-Rezi lebih menguasai kedokteran daripada Ar-Razi .dalam
diri seorang Dokter, filosof, dan penyair inilah, ilmu pengetahuan Arab
mencapai titik puncaknya dan berinkarnasi.
Diantara karya-karya ilmiahnya, dua buku
yang paling unggul adalah Kitab Asy-asyifa (buku tentang penyembuhan), sebuah
buku ensiklopedia filsafat yang di sasarkan atas tradisi Aristotelian yang
telah di pengaruhi oleh neo-Platonisme dan teologi Ialam, serta Al-Qanun fi
Ath-Thibb, yang merupakan kodifikasi pemikiran kedokteran Yunani-Arab. Teks
berbahasa arab dari buku Al-Qanun diterbitkan di Roma pada 1593, dan kemudian
menjadi salah satu buku berbahasa Arab tertua yang pernah diterbitkan. Di
terjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke 12, buku
tersebut, dengan seluruh kandungan ensiklopedisnya, susunannya yang sistematis,
dan penuturannya yang filosofis, segera menempati posisi penting dalam
literatur kedokteran masa itu, menggantikan karya-karya Galen, Ar-Razi, dan
AL-Majusi, serta menjadi buku teks pendidikan kedokteran di sekolah-sekolah
Eropa.
8.
Pendidikan, Perputakaan, dan Toko Buku
Lembaga pendidikan Islam pertama
untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al-Hikmah (Rumah
Kebijakan ) yang di dirikan oleh Al-ma’mun (830 M) di Baghdad, ibukota negara.
Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal sebagai
pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah
observatorium. Pada saat itu, observatorium-observatorium yang banyak bermunculan
juga berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran astronomi. Fungsi lembaga itu
persis sama dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus
berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran. Akan tetapi, akademi Islam
pertama yang menyediakan berbagai kebutuhan fisik untuk mahasiswanya, dan
menjadi model bagi pembangunan akademi-akademi lainnya adalah Nizhamiyah yang
didirikan pada tahun 10651-1067 oleh Nizham Al-Mulk, seorang menteri dari
Persia pada kekhalifahan Bani Saljuk, Sultan Alp Arslan, dan Maliksyah, yang
juga merupakan penyokong Umar Al-Khayyam. Dinasti Saljuk, sebagai Dinasti
Buwaihiyah dan sultan-sultan non-Arab lainnya yang mengemban kekuasaan besar
atas kehidupan umat islam, bersaing satu sama lain dalam hal pengembangan seni
dan pendidikan yang lebih tinggi.
Perpustakaan (khizanat al-kutub)
dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad-Dawlah (977-982) yang semua
buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar catalog, dan diatur dengan
baik oleh staf administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang
sama, kota Bashrah memiliki sebuah perpustkaan yang didalamnya para sarjana
bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat
sebuah tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat itu menyimpan
ribuan manuskrip yang diangkut oleh lebih dari mepat ratus ekor unta. Seluruh
naskah itu kemudian didaftar dalam sepuluh jilid catalog.
Selain perpustakaan, gambaran tentang
budaya baca pada periode ini bisa juga dilihat dari banyaknya toko buku.
Toko-toko itu, yang juga berfungsi selain agen pendidikan, mulai muncul sejak
awal kekhalifahan Abbasiyah. Al-Ya’kub meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar
891) ibu kora Negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet
di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko tersebut, sebagaimana toko-toko
yang muncul di Damaskus dan Kairo.[14]
2.6
Kemunduran
Dinasti Abbasiyah
Faktor-faktor
penyebab Kemunduran
a.
Faktor Intern
1)
Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah
pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan
cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada
pendahulunya. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal Turki
untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
2)
Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani
Abbasiyah
Perebutan
kekuasaan dimulai sejak masa Al-Ma’mun dengan Al-Amin. Ditambah dengan masuknya
unsur Turki dan Parsi. Setelah Al-Mutawakkil wafat, pergantian khalifah terjadi
secara tidak wajar. Dari ke dua belas khalifah pada periode kedua Dinasti
Abbasiyah, hanya empat orang khalifah yang wafat dengan wajar. Selebihnya, para
khalifah itu wafat karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.
3)
Konflik keagamaan
Sejak
terjadinya konflik antara Muawiyah dan khalifah Ali yang berakhir dengan
lahirnya tiga kelompok umat: pengikut Muawiyah Syi’ah, dan Khawarij, ketiga
kelompok ini senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh pada masa
ke khalifahan Muawiyah maupun masa kekhalifahan Abbasiyah adalah kelompok Sunni
dan kelompok Syi’ah. Walaupun pada masa-masa tertentu antara kelompok Sunni dan
Syi’ah saling mendukung, misalnya pada pada masa pemerintahan Buwaihi, antara
kedua kelompok tak pernah ada satu kesepakatan .
b.
Faktor ekstern
1)
Banyaknya pemberontakan
Banyaknya
daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah, akibat kebijakan yang lebih
menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan islam, secara real,
daerah-daerah itu berada dibawah kekuasaan gubernur-gubernur yang bersangkutan.
Akibatnya, provinsi-provinsi tersebut banyak yang melepaskan diri dari
genggaman penguasa Bani Abbas. Adapun cara provinsi-provinsi tersebut
melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad adalah :
a. Seorang
pemimpin local memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan
penuh, seperti Daulah Umayah di Spanyol dan Inrisiyah di Maroko.
b. Seorang
yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah
kuat kemudian melepaskan diri, seperti daulat Aglabiyah di Tunisia dan
Thahiriyah di Kurasan.
2)
Dominasi Bangsa Turki
Sejak
abad kesembilan, kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai
gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di
bidang kemiliteran, khususnya tentara turki, kemudian mengangkatnya menjadi
panglima-panglima. Pengangkatan anggota Militer inilah, dalam perkembangan
selanjutnya, yang mengancam kekuasaan khalifah. Tentara Turki berhasil merebut
kekuasaan tersebut. Walaupun khalifah dipegang oleh Bani Abbas, di tangan
mereka, khalifah bagaikan boneka yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan,
merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah yang sesuai dengan politik mereka.
Khalifah
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada masa kekuasaan Bangsa Turki I, mulai
khalifah ke-10, Khalifah Al-Mutawwakil (tahun 232 H) hingga Khalifah ke-22,
Khalifah Al-Mustaqfi Billah (Abdullah Suni-Qasim tahun 334 H). Pada masa
kekuasaan bangsa Turki II (Banu Saljuk), mulai dari khalifah ke-27, khalifah
Muqtadie bin Muhammad (tahun 467 H) hingga khalifah ke-37, khalifah Musta’shim
bin Mastanshir (tahun 656 H).
3)
Dominasi bangsa Persia
Masa
kekuasaan Bangsa Parsi (Banu Buyah) berjalan lebih dari 150 tahun. Pada masa
ini, kekuasaan pusat di Baghdad dilucuti dan di berbagai daerah muncul
Negara-negara baru yang berkuasa dan membuat kemajuan dan perkembangan baru.
Pada
awal pemerintahan Bani Abbasiyah, ketentuan parsi bekerja sama dalam mengelola
pemerintahan dan Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam
berbagai bidang. Pada periode kedua, saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang
mengadakan pergantian khalifah, yaitu dari Khalifah Muttaqi (khalifah ke-22)
kepada Khalifah Muthie’ (khalifah ke-23) tahun 334 H, Banu Buyah (parsi)
berhasil merebut kekuasaan.
Pada
mulanya mereka berkhidmat kepada pembesar-pembesar dari para khalifah, sehingga
banyak dari mereka yang menjadi panglima tentara, diantaranya menjadi panglima
besar. Setelah mereka memiliki kedudukan yang kuat, para khalifah Abbasiyah
berada dibawah telunjuk mereka dan seluruh pemerintahan berada di tangan
mereka. Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja, hanya disebut dalam
doa-doa di atas mimbar, bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi
dan nama mereka ditulis atas mata uang, dinas, dan dirham.[15]
2.7
Sebab-sebab
Kehancuran dinasti Abbasiyah
1.
Faktor intern
a.
Lemahnya semangat patriotism Negara,
menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan Islam tidak berdaya lagi menahan segala amukan
yang datang, baik dari dalam maupun dari luar.
b.
Hilangnya sifat amanah dalam segala
perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi
menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung Negara selama ini.
c.
Tidak percaya pada kekuatan sendiri.
Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing.
Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.
d.
Fanatik Mazhab persaingan dan perebutan
yang tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah menyebabkan kekuatan umat Islam
menjadi lemah, bahkan hancur berkeping-keping.
Perang ideology antara Syi’ah dari Fatimiah melawan Ahlu
Sunnah dari Abbasiyah, banyak menimbulkan korban. Aliran Qaramithah yang sangat
ektrem dalam tindakan-tindakannya yang dapat menimbulkan bentrokan di
masyarakat. Kelompok Hashshashin yang dipimpin oleh Hasan bin Shabah yang
berasal dari Thus di Parsi merupakan aliran Ismailiyah , salah satu sekte
Syi’ah adalah kelompok yang sangat dikenal kekejamannya, yang sering melakukan
pembunuhan terhadap penguasa Bani Abbasiyah yang beraliran Sunni.
Pada saat terakhir dari hayatnya Abbasiyah, Tentara Tartar
yang datang dari luar dibantu dari dalam dan dibukakan jalannya oleh golongan
Awaliyin yang dipimpin oleh Alqamiy.
e.
Kemerosotan ekonomi terjadi karena
banyaknya biaya yang digunakan untuk anggaran tentara, banyaknya pemberontakan
dan kebiasaan para penguasa untuk berfoya-foya, kehidupan para khalifah dan
keluarganya serta pejabat-pejabat Negara yang hidup mewah, jenis pengeluaran
yang makin beragam, serta pejabat yang korupsi, dan semakin sempitnya wilayah
kekuasaan khalifah karena telah banyak provinsi yang telah memisahkan diri.
2.
Faktor Ekstern
Disintegrasi,
akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan peradaban dan kebudayaan
islam daripada politik, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai
melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekedar
memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan berusaha
merebut pusat kekuasaan di Baghdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan
banyak mengorbankan umat, yang berarti juga menggunakan SDM. (provinsi-provinsi
yang melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyah, dijelaskan selanjutnya). Yang
paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan Fatimah di Mesir walaupun pemerintahan
lainnya pun cukup menjadi perhitungan para khalifah di Baghdad. Pada akhirnya,
pemerintah-pemerintah tandingan ini dapat ditaklukan atas bantuan Bani Saljuk
atau Buyah.[16]
[1]
Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah_Aqius Blog.htm (Pada Tanggal 10 April
Pukul 20.30)
[2]
Ibid
[3]
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, Hlm. 127
[4]
Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah_Aqius Blog.htm (Pada Tanggal 10 April
Pukul 20.30)
[5]
Ibid
[6]
Ibid
[7]
Ibid
[8]
Ibid
[9]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 2010,
Hlm. 52
[10]
Dedi Supriyadi, Op. Cit. Hlm. 128
[11]
Ibid, Hlm. 130
[12]
Ibid, Hlm. 131
[13]
Ibid, Hlm 132-133
[14]
Ibid, 133-137
[15]
Ibid, Hlm. 137-139
[16]
Ibid, Hlm. 139-141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar