A. PERADABAN ISLAM MASA KHALIFAH ABU BAKAR
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak
dapat diganti oleh siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi
kedudukan beliau yang kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera
ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan “Khalifah” artinya yang
menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin (pimpinan komunitas
Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan
hukum-hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu
berdiri diatas kebenaran.
Maka setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pemuka-pemuka Islam segera
bermusyawarah untuk mencari pengganti Rasulullah SAW. Setelah
terjadi perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin,
akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah, artinya
pengganti Rasul SAW yang kemudian disingkat menjadi Khalifah atau Amirul
Mu’minin.
Keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum
beliau wafat dan menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat
merupakan produk budaya Islam yang mengajarkan bagaimana cara
mengendalikan negara dan pemerintah secara bijaksana dan
demokratis.[11]
Terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama dalam
ketatanegaraan Islam merupakan salah satu refleksi dari konsep politik
Islam.
Abu Bakar menerima jabatan Khalifah pada saat sejarah Islam dalam
keadaan krisis dan gawat. Yaitu timbulnya perpecahan, munculnya
para nabi palsu dan terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam
eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang pengangkatan Abu Bakar
berdasarkan keputusan bersama (musyawarah di balai Tsaqifah Bani
Sa’idah) akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya
nabi dianggap sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan
persepsi bahwa Islam telah berakhir.
Abu Bakar bukan hanya dikatakan sebagai Khalifah, namun juga sebagai
penyelamat Islam dari kehancuran karena beliau telah berhasil
mengembalikan ummat Islam yang telah bercerai berai setelah wafatnya
Rasulullah SAW. Disamping itu beliau juga berhasil memperluas wilayah
kekuasaan Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa letak peradaban pada masa
Abu Bakar adalah dalam masalah agama (penyelamat dan penegak agama Islam
dari kehancuran serta perluasan wilayah) melalui sistem
pemerintahan (kekhalifahan) Islam.
Akan tetapi konsep kekhalifahan dikalangan Syi’ah masih ditentang.
Menurut Syi’ah kekhalifahan adalah warisan terhadap Ali dan kerabatnya,
bukan pemilihan sebagaimana terjadi pada Abu Bakar. Terlepas dari
perbedaan interpretasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep
kekhalifahan adalah produk budaya dibidang politik yang orisinil
dari peradaban Islam. Sebab ketika itu tidak ada lembaga manapun yang
memakai konsep kekhalifahan.
Menurut Fachruddin, Abu Bakar terpilih untuk memimpim kaum Muslimin setelah Rasulullah disebabkan beberapa hal:
- Dekat dengan Rasulullah baik dari ilmunya maupun persahabatannya.
- Sahabat yang sangat dipercaya oleh Rasulullah.
- Dipercaya oleh rakyat, sehingga beliau mendapat gelar As–Siddiq, orang yang sangat dipercaya.
- Seorang yang dermawan.
- Abu Bakar adalah sahabat yang diperintah Rasulullah SAW menjadi Imam Shalat jama’ah.
- Abu Bakar adalah termasuk orang yang pertama memeluk Islam.[12]
1. Biografi
Abu Bakar As-Shidiq adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang
mempunyai nama lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Pada zaman pra
Islam ia bernama Abu Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi SAW. menjadi
Abdullah. Beliau lahir pada tahun 573 M, dan wafat pada tanggal 23
Jumadil akhir tahun 13 H bertepatan dengan bulan Agustus 634 M, dalam
usianya 63 tahun, usianya lebih muda dari Nabi SAW 3 tahun. Diberi
julukan Abu Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk orang
laki-laki yang masuk Islam pertama kali. Sedangkan gelar As-Shidiq
diperoleh karena beliau senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa
Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj.
Setelah masuk Islam, beliau menjadi anggota yang paling menonjol
dalam jamaah Islam setelah Nabi SAW. Beliau terkenal karena keteguhan
pendirian, kekuatan iman, dan kebijakan pendapatnya. Beliau pernah
diangkat sebagai panglima perang oleh Nabi SAW., agar ia mendampingi
Nabi untuk bertukar pendapat atau berunding.
Pekerjaan pokoknya adalah berniaga, sejak zaman jahiliyah sampai
setelah diangkat menjadi Khalifah. Sehingga pada suatu hari beliau
ditegur oleh Umar ketika akan pergi ke pasar seperti biasanya : “Jika
engkau masih sibuk dengan perniagaanmu, siapa yang akan melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan?”. Jawab Abu Bakar : “Jadi dengan apa saya
mesti memberi makan keluarga saya? “. Lalu diputuskan untuk menggaji
Khalifah dari baitul mal sekedar mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam
taraf yang amat sederhana.
Abu Bakar adalah putra dari keluarga bangsawan yang terhormat di
Makkah. Semasa kecil dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati
serta kemuliaan akhlaknya, sehingga setiap orang mencintainya. Ketika
Nabi SAW mengajak manusia memeluk agama Islam, Abu Bakar merupakan orang
pertama dari kalangan pemuda yang menanggapi seruan Rasulullah,
sehingga Nabi SAW memberinya gelar “Ash-Siddiq”.
Pengabdian Abu Bakar untuk Islam sangatlah besar. Ia menyerahkan
semua harta bendanya demi kepentingan Islam. Ia selalu mendampingi
Rasulullah dalam mengemban misi Islam sampai Nabi SAW wafat. Waktu itu
sebagian penduduk Arabia telah masuk Islam, sehingga masyarakat Muslim
yang “masih bayi” itu dihadapkan pada wujud krisis konstitusional.
Sebab beliau tidak menunjuk penggantinya,bahkan tidak membentuk
dewan majlis dari garis-garis suku yang ada. Pada akhirnya timbul tiga
golongan yang memperselisihkan tonggak kekhalifahan.
2. Peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah
Memang diakui oleh seluruh sejarawan bahwa Rasulullah yang wafat
tahun 11 H, tidak meninggalkan wasiat tentang orang yang akan
penggantikannya. Oleh karena itu, setelah rasulullah SAW wafat para
sahabat segera berkumpul untuk bermusyawarah di suatu tempat yaitu
Tsaqifah Bani Sa’idah guna memilih pengganti Rasulullah (Khalifah)
memimpin ummat Islam. Musyawarah itu secara spontanitas
diprakarsai oleh kaum Anshor. Sikap mereka itu menunjukkan bahwa
mereka lebih memiliki kesadaran politik dari pada yang lain, dalam
memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam.
Dalam pertemuan itu mereka mengalami kesulitan bahkan hampir terjadi
perpecahan diantara golongan, karena masing-masing kaum mengajukan calon
pemimpin dari golongannya sendiri-sendiri. Pihak Anshar mencalonkan
Sa’ad bin Ubaidah, dengan alasan mereka yang menolong Nabi ketika
keadaan di Makkah genting. Kaum Muhajirin menginginkan supaya pengganti
Nabi SAW dipilih dari kelompok mereka, sebab muhajirinlah yang telah
merasakan pahit getirnya perjuangan dalam Islam sejak awal mula
Islam. Sedang dipihak lain terdapat sekelompok orang yang menghendaki
Ali Bin Abi Thalib, karena jasa-jasa dan kedudukannya selaku menantu
Rasulullah SAW. Hingga peristiwa tersebut diketahui Umar. Ia kemudian
pergi ke kediaman nabi dan mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar.
Kemudian keduanya berangkat dan diperjalanan bertemu dengan Ubaidah bin
Jarroh. Setibanya di balai Bani Sa’idah, mereka mendapatkan dua golongan
besar kaum Anshor dan Muhajirin bersitegang.
Dengan tenang Abu Bakar berdiri di tengah-tengah mereka, kemudian
berpidato yang isinya merinci kembali jasa kaum Anshor bagi tujuan
Islam. Disisi lain ia menekankan pula anugrah dari Allah yang memberi
keistimewaan kepada kaum Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad sebagai
Nabi dan menerima Islam lebih awal dan rela hidup menderita bersama
Nabi. Tetapi pidato Abu Bakar itu tidak dapat meredam situasi yang
sedang tegang. Kedua kelompok masih tetap pada pendiriannya. Kemudia Abu
Ubaidah mengajak kaum Anshor agar bersikap toleransi, begitu juga
Basyir bin Sa’ad dari Khazraj (Anshor) agar kita tidak memperpanjang
perselisihan ini. Akhirnya situasi dapat sedikit terkendali.
Disela-sela ketegangan itu kaum Anshor masih menyarankan bahwa harus
ada dua kelompok. Hal itu berarti kepecahan kesatuan Islam, akhirnya
dengan resiko apapun Abu Bakar tampil ke depan dan berkata “Saya akan
menyetujui salah seorang yang kalian pilih diantara kedua orang ini”
yakni tidak bisa lebih mengutamakan kami sendiri dari pada anda dalam
hal ini”, situasi menjadi lebih kacau lagi, kemudia Umar berbicara untuk
mendukung Abu Bakar dan mengangkat setia kepadanya. Dia tidak
memerlukan waktu lama untuk menyakinkan kaum Anshor dan yang lain, bahwa
Abu Bakar adalah orang yang paling patut di Madinah untuk menjadi
penerus pertama dari Nabi Muhammad SAW.
Sesudah argumentasi demi argumentasi dilontarkan, musyawarah secara
bulat menunjuk Abu Bakar untuk menjabat Khalifah dengan gelar “Amirul
Mu’minin”. Dengan semangat Islamiyyah terpilihlah Abu Bakar . Dia adalah
orang yang ideal, karena sejak mula pertama Islam diturunkan menjadi
pendamping Nabi, dialah sahabat yang paling memahami risalah Rasul.
Disamping itu beliau juga pernah menggantikan Rasulullah sebagai imam
pada saat Rasulullah sakit.
Setelah mereka sepakat dengan gagasan Umar, sekelompok demi
sekelompok maju kedepan dan bersama-sama membaiat Abu Bakar sebagai
Khalifah. Baiat tersebut dinamakan baiat tsaqifah karena bertempat di
balai Tsaqifah Bani Sa’idah. Pertemuan politik itu berlagsung hangat,
terbuka dan demokratis.[13]
Pertemua politik itu merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi
umat Islam. Sesuatu yang megikat mereka tetap dalam satu kepemimpinan
pemerintahan. Dan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah pertama,
menjadi dasar terbentuknya sistem pemerintahan Khalifah dalam Islam.[14]
3. Sistem Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah (pengganti Nabi) sebagaimana
dijelaskan pada peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah, merupakan bukti bahwa
Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil
dari musyawarah mufakat umat Islam. Denga terpilihnya Abu Bakar menjadi
Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan kekhalifahannya, baik sebagai
pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan. Adapun sistem
politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral”, jadi kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun
demikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak
para sahabat untuk bermusyawarah.
Sedang kebijaksanaan politik yang diilakukan Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu:
- Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika beliau masih hidup. Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk Umar bin Khatab banyak yang tidak setuju dengan kebijaksanaan Khalifah ini. Alasan mereka, karena dalam negeri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan dan kemurtadan yang merambah untuk menghancurkan Islam dari dalam. Tetapi Abu Bakar tetap mengirim pasukan Usamah untuk menyerbu Romawi, sebab menurutnya hal itu merupakan perintah Nabi SAW.
Pengiriman pasukan Usamah ke Romawi di bumi Syam pada saat itu
merupakan langkah politik yang sangat strategis dan membawa dampak
positif bagi pemerintahan Islam, yaitu meskipun negara Islam dalam
keadaan tegang akan tetapi muncul interprestasi dipihak lawan, bahwa
kekuatan Islam cukup tangguh. Sehingga para pemberontak menjadi gentar,
disamping itu juga dapat mengalihkan perhatian umat Islam dari
perselisihan yang bersifat intern.[15]
- Timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya
anggapan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala perjanjian
dengan Nabi menjadi terputus. Adapun orang murtad pada waktu itu ada dua
yaitu :
- Mereka yang mengaku nabi dan pengikutnya, termasuk di dalamnya orang yang meninggalkan sholat, zakat dan kembali melakukan kebiasaan jahiliyah.
- Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya.
Dalam menghadapi kemunafikan dan kemurtadan ini, Abu Bakar tetap pada prinsipnya yaitu memerangi mereka sampai tuntas.
- Mengembangkan wilayah Islam keluar Arab. Ini ditujukan ke Syiria dan Persia.
Untuk perluasan Islam ke Syiria yang dikuasai Romawi (Kaisar
Heraklius), Abu Bakar menugaskan 4 panglima perang yaitu Yazid bin Abu
Sufyan ditempatkan di Damaskus, Abu Ubaidah di Homs, Amir bin Ash di
Palestina dan Surahbil bin Hasanah di Yordan.
Usaha tersebut diperkuat oleh kedatangan Khalid bin Walid dan pasukannya serta
Mutsannah bin Haritsah, yang sebelumnya Khalid telah berhasil mengadakan perluasan ke beberapa daerah di Irak dan Persia.[16]
Dalam peperangan melawan Persia disebut sebagai “pertempuran
berantai”. Hal ini karena perlawanan dari Persia yang beruntun dan
membawa banyak korban.
Adapun kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah:
- a. Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah
Apabila terjadi suatu perkara, Abu Bakar selalu mencari hukumnya
dalam kitab Allah. Jika beliau tidak memperolehnya maka beliau
mempelajari bagaimana Rasul bertindak dalam suatu perkara. Dan jika
tidak ditemukannya apa yang dicari, beliaupun mengumpulkan tokoh-tokoh
yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang diputuskan
mereka setelah pembahasan, diskusi, dan penelitian, beliaupun
menjadikannya sebagai suatu keputusan dan suatu peraturan.
- b. Amanat Baitul Mal
Para sahabat Nabi beranggapan bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah
dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengizinkan
pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu darinya yang
berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mereka
mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul Mal untuk
mencapai tujuan-tujuan pribadi.
- c. Konsep Pemerintahan
Politik dalam pemerintahan Abu Bakar telah beliau jelaskan sendiri
kepada rakyat banyak dalam sebuah pidatonya : “Wahai manusia ! Aku telah
diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang
terbaik diantara kamu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan
baik, maka bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka
luruskanlah ! orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku
dapat mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah,
aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan hak kepadanya. Maka
hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah
perlu mentaatiku.
- d. Kekuasaan Undang-undang
Abu Bakar tidak pernah menempatkan diri beliau diatas undang-undang.
Beliau juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang
lebih tinggi dari undang- undang. Dan mereka itu dihadapan undang-undang
adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslim maupun non
Muslim.
4. Penyelesaian Kaum Riddat
Kekhalifahan Abu Bakar yang begitu singkat sangat disibukkan dengan
peperangan. Dalam pertempuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam
dari luar, tetapi juga dari dalam. Hal ini terjadi karena ada sekelompok
orang yang memancangkan panji pemberontakan terhadap negara Islam
di Madinah dan meninggalkan Islam (murtad) setelah Rasulullah
wafat.
Gerakan riddat (gerakan belot agama), bermula menjelang Nabi
Muhammad jatuh sakit. Ketika tersiar berita kemangkatan Nabi Muhammad,
maka gerakan belot agama itu meluas di wilayah bagian tengah, wilayah
bagian timur, wilayah bagian selatan sampai ke
Madinah Al-Munawarah serta Makkah Al-Mukaramah itu sudah berada dalam
keadaan terkepung. Kenyataan itu yang dihadapi Khalifah Abu Bakar.
Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku
dirinya Nabi, guna menyaingi Nabi Muhammad SAW, yaitu: Musailamah,
Thulhah, Aswad Al-Insa. Musailamah berasal dari suku bangsa Bani Hanifah
di Arabia Tengah, Tulaiha seorang kepala suku Bani Asad, Sajah
seorang wanita KRISTEN dari Bani Yarbu yang menikah dengan
Musailamah.[17] Masing-masing orang tersebut berupaya meluaskan pengikutnya dan membelakangi agama Islam.
Para nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati orang-orang Islam
dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti
membolehkan minum-minuman keras, berjudi, mengurangi sholat lima waktu
menjadi tiga, puasa Ramadhan dihapus, pengubah pembayaran zakat yang
wajib menjadi suka rela dan meniadakan batasan dalam perkawinan.
Dalam gerakannya Aswad dan kawan-kawannya berusaha menguasai dan
mempengaruhi masyarakat Islam, dengan mengerahkan pasukan untuk masuk ke
daerah- daerah. Akhirnya pasukan riddatpun berhasil menyebar
kedaerah-daerah, diantaranya: Bahrain, Oman Mahara dan Hadramaut. Para
panglima kaum riddat semakin gencar melaksanakan misinya.
Akan tetapi Khalifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha
untuk memadamkan dan menumpas gerakan kaum riddat. Dengan sigap Khalifah
Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menyerahkan al-liwak (panji
pasukan) kepada masing- masing pasukan. Di samping itu, setiap pasukan
dibekali al-mansyurat (pengumuman) yang harus disampaikan pada
suku-suku Arab yang melibatkan dirinya dalam gerakan riddat. Kandungan
isinya memanggil kembali kepada jalan yang benar. Jikalau masih berkeras
kepala, maka barulah dihadapi dengan kekerasan.
Gerakan itu dikenal sebagai gerakan murtad dibawah komando
para nabi palsu antara lain, Aswad Insa yang menghimpun serdadu dengan
jumlah besar di Yaman, Musailamah berasal dari suku bangsa Bani Hanifah
di Arabia Tengah, Tulaiha seorang kepala suku Bani Asad, Sajah
seorang wanita KRISTEN dari Bani Yarbu yang menikah dengan
Musaylamah.[18]
Para nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati orang-orang Islam
dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti
membolehkan minum-minuman keras, berjudi, mengurangi sholat lima waktu
menjadi tiga puasa Ramadhan dihapus, penghibah pembayaran zakat
dijadikan suka rela dan meniadakan batasan dalam pekawinan.
Abu Bakar sebagai seorang Khalifah, tidak mendiamkan kejadian itu
terus berlanjut. Beliau memandang gerakan murtad itu sebagai bahaya
besar, kemudian beliau menghimpun para prajurit Madinah dan membagi
mereka atas sebelas batalian dengan komando masing-masing panglima dan
ditugaskan keberbagai tempat di Arabia. Abu Bakar menginstruksikan agar
mengajak mereka kembali pada Islam, jika menolak maka harus perangi.
Beberapa dari suku itu tunduk tanpa peperangan, sementara yang
lainnya tidak mau menyerah, bahkan mengobarkan api peperangan. Oleh
karena itu pecahlah peperangan melawan mereka, dalam hal ini Kholid bin
Walid yang diberi tugas untuk menundukan Tulaiha, dalam perang Buzaka
berhasil dengan cemerlang. Sedangkan Musailamah seorang penuntut
kenabian yang paling kuat, Abu Bakar mengirim Ikrimah dan Surabil. Akan
tetapi mereka gagal menundukan Musailamah, kemudia Abu Bakar
mengutus Kholid untuk melawan nabi palsu dari Yaman itu. Dalam
pertempuran itu Kholid dapat mengahacurkan pasukan Musailamah dan
membunuh dalam taman yang berdinding tinggi, sehingga taman disebut
“taman maut”.[19]
Adapaun nabi palsu yang lainnya termasuk Tulaihah dan Sajah serta
kepala suku yang murtad, kembali masuk Islam. Dengan demikian, dalam
waktu satu tahun semua perang Islam diberkahi dengan keberhasilan. Abu
Bakar dengan para panglimanya menghancurkan semua kekuatan pengacau dan
kaum murtad. Oleh karena itu, beliau tidak hanya disebut sebagai
Khalifah umat Islam, tetapi juga sebagai penyelamat Islam dari kekacauan
dan kehancuran bahkan telah menjadikan Islam sebagai agama Dunia.
Keberhasilan perang melawan kelompok riddat membuat Islam memperoleh
kembali kesetiaan dari seluruh Jazirah Arabia. Selain itu, menurut
Nasir kemenangan tersebut dapat menunjukkan bahwa:
1) Kebenaran akan menang;
2) Menunjukkan akan keutamaan kekuatan moral atas kekuatan material;
3) Dapat menggetarkan musuh Islam dan membuktikan bahwa Islam mempunyai cukup kekuatan untuk melawan para musuh-musuhnya;
4) Umat Islam diyakinkan akan keunggulan Islam dan kekuatan moral yang menjadi sifatnya.[20]
Begitulah usaha Khalifah Abu Bakar, dengan perjuangan yang
gigih, penuh kesabaran, kebijakan dan ketegasan, akhirnya Khalifah Abu
Bakar berhasil memberantas kaum riddat, selanjutnya berakhirlah
gerakan kaum riddat di belahan semenanjung Arabia, dan semuanya
menyatakan dirinya kembali sebagai pemeluk agama Islam yang setia.
E. Catatan Simpul
Khalifah Abu Bakar dalam masa yang singkat telah berhasil memadamkan
kerusuhan oleh kaum riddat yang demikian luasnya dan memulihkan
kembali ketertiban dan keamanan diseluruh semenanjung Arabia.
Selanjutkan membebaskan lembah Mesopotamia yang didiami suku-suku
Arab. Disamping itu, Jasa beliau yang amat besar bagi kepentingan agama
Islam adalah beliau memerintahkan mengumpulkan naskah- naskah setiap
ayat-ayat Al-Qur’an dari simpanan Al-Kuttab, yakni para penulis
(sekretaris) yang pernah ditunjuk oleh Nabi Muhammad SAW pada masa
hidupnya, dan menyimpan keseluruhan naskah di rumah janda Nabi SAW,
yakni Siti Hafshah.
Tidak lebih dari dua tahun, Khalifah Abu Bakar mampu menegakkan
tiang-tiang agama Islam, termasuk diluar jazirah Arab yang begitu luas.
Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar berlangsung hanya 2 tahun 3 bulan 11
hari. Masa tersebut merupakan waktu yang paling singkat bila
dibandingkan dengan kepemimpinan Khalifah-Khalifah penerusnya. Meski
demikian beliau dapat disebut sebagai penyelamat dan penegak agama Allah
di muka bumi. Dengan sikap kebijaksanaannya sebagai kepala negara dan
ke-tawadhu’an- nya kepada Allah serta agamanya, beliau dapat
menghancurkan musuh-musuh yang merongrong agama Islam bahkan dapat
memperluas wilayah Islam keluar Arabia.
Adapun kesuksesan yang diraih Khalifah Abu Bakar selama memimpin pemerintahan Islam dapat dirinci sebagai berikut:
- Perhatian Abu Bakar ditujukan untuk melaksanakan keinginan nabi, yang hampir tidak terlaksana, yaitu mengirimkan suatu ekspedisi dibawah pimpinan Usamah keperbatasan Syiria. Meskipun hal itu dikecam oleh sahabat-sahabat yang lain, karena kondisi dalam negara pada saat itu masih labil. Akhirnya pasukan itu diberangkatkan, dan dalam tempo beberapa hari Usamah kembali dari Syiria dengan membawa kemenangan yang gemilang.
- Keahlian Khalifah Abu Bakar dalam menghancurkan gerakan kaum riddat, sehingga gerakan tersebut dapat dimusnahkan dan dalam waktu satu tahun kekuasaan Islam pulih kembali. Setelah peristiwa tersebut solidaritas Islam terpelihara dengan baik dan kemenangan atas suku yang memberontak memberi jalan bagi perkembangan Islam. Keberhasilan tersebut juga memberi harapan dan keberanian baru untuk menghadapi kekuatan Bizantium dan Sasania.
- Ketelitian Khalifah Abu Bakar dalam menangani orang-orang yang menolak membayar zakat. Beliau memutuskan untuk memberantas dan menundukkan kelompok tersebut dengan serangan yang gencar sehingga sebagian mereka menyerah dan kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya. Dengan demikian Islam dapat diselamatkan dan zakat mulai mengalir lagi dari dalam maupun dari luar negeri.
- Melakukan pengembangan wilayah Islam keluar Arabia. Untuk itu, Abu Bakar membentuk kekuatan dibawah komando Kholid bin Walid yang dikirim ke Irak dan Persia. Ekspedisi ini membuahkan hasil yang gemilang. Selanjutnya memusatkan serangan ke Syiria yang diduduki bangsa Romawi. Hal ini didasarkan secara ekonomis Syiria merupakan wilayah yang penting bagi Arabia, karena eksistensi Arabia bergantung pada perdagangan dengan Syiria. Sehingga penaklukan ke wilayah Syiria penting bagi umat Islam. Tetapi kemenangan secara mutlak belum terwujud sampai Abu Bakar meninggal Dunia pada hari Kamis, tanggal 22 Jumadil Akhir, 13 H atau 23 Agustus 634 M.[21]
Dari penjelasan yang terurai diatas, dapat disimpulkan bahwasan
Khalifah Abu Bakar Al–Shiddiq adalah seorang pemimpin yang tegas, adil
dan bijaksana. Selama hayat hingga masa-masa menjadi Khalifah, Abu Bakar
dapat dijadikan teladan dalam kesederhanaan,kerendahan hati,
kehati-hatian, dan kelemah lembutan pada saat dia kaya dan memiliki
jabatan yang tinggi. Ini terbukti dengan keberhasilan beliau
dalam menghadapi dan mengatasi berbagai kerumitan yang terjadi pada masa
pemerintahannya tersebut. Beliau tidak mengutamakan pribadi dan sanak
kerabatnya, melainkan mengutamakan kepentingan rakyat dan juga
mengutamakan masyarakat/ demokrasi dalam mengambil suatu keputusan.
Akhirnya perlu dipahami bahwa suatu kehidupan dakwah senantiasa penuh
dengan tantangan. Sebagai seorang Muslim hendaklah menghadapinya dengan
tanpa putus asa, penuh kesabaran, kebijakan dan ketentraman hati, juga
memohon kepada-Nya serta lebih mempererat ukhuwah Islamiyyah, agar
tercipta suatu tatanan masyarakat yang aman, damai, sentosa dan
sejahtera dengan persatuan dan kesatuan yang kokoh.
B. ISLAM MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
Umar bin Khatab adalah keturunan Quraisy dari suku Bani Ady. Suku
Bani Ady terkenal sebagai suku yang terpandang mulia dan
berkedudukan tinggi pada masa Jahiliah. Umar bekerja sebagai
saudagar. Beliau juga sebagai duta penghubung ketika terjadi suatu
masalah antara kaumnya dengan suku Arab lain. Sebelum masuk Islam beliau
adalah orang yang paling keras menentang Islam, tetapi setelah beliau
masuk Islam dia pulalah yang paling depan dalam membela Islam tanpa rasa
takut dan gentar.[22]
1. Biografi
Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin
Ribaah bin Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya
adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin
Mahzum. Ia berasal dari suku Adiy, suatu suku dalam bangsa Quraisy yang
terpandang mulia, megah dan berkedudukan tinggi. Dia dilahirkan 14
tahun sesudah kelahiran Nabi, tapi ada juga yang berpendapat bahwa ia
dilahirkan 4 tahun sebelum perang Pijar.[23]
Sebelum masuk Islam, dia adalah seorang orator yang ulung, pegulat
tangguh, dan selalu diminta sebagai wakil sukunya bila menghadapi
konflik dengan suku Arab yang lainnya. Terkenal sebagai orang yang
sangat pemberani dalam menentang Islam, punya ketabahan dan kemauan
keras, tidak mengenal bingung dan ragu.[24]
Ia masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh
adiknya (Fatimah binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak
membunuhnya karena mengikuti ajaran Nabi. Dengan masuknya Umar kedalam
Islam, maka terjawablah doa Nabi yang meminta agar Islam dikuatkan
dengan salah satu dari dua Umar (Umar bin Khattab atau Amr bin Hisyam)
dan sebagai suatu kemenangan yang nyata bagi Islam.[25]
Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai
pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka
dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Tolhah
bin Ubaidillah (Hasan, 1989:38). Masa pemerintahan Umar bin Khatab
berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H/634M sampai
tahun 23H/644M. Beliau wafat pada usia 64 tahun. Selama masa
pemerintahannya oleh Khalifah Umar dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran
Islam dan memperluas kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab.[26]
Ia meninggal pada tahun 644 M karena ditikam oleh Fairuz (Abu
Lukluk), budak Mughirah bin Abu Sufyan dari perang Nahrrawain yang
sebelumnya adalah bangsawan Persia. Menurut Suaib alasan pembunuhan
politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa
syu’ubiyah (fanatisme) yang berlebihan pada bangsa Persia dalam
dirinya.[27]
Sebelum meninggal, Umar mengangkat Dewan Presidium untuk memilih
Khalifah pengganti dari salah satu anggotanya. Mereka adalah Usman, Ali,
Tholhah, Zubair, Saad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf. Sedangkan
anaknya (Abdullah bin Umar), ikut dalam dewan tersebut, tapi tidak
dapat dipilih, hanya memberi pendapat saja. Akhirnya, Usmanlah yang
terpilih setelah terjadi perdebatan yang sengit antar anggotanya.[28]
2. Ahlul Hall Wal ‘Aqdi
Secara etimologi, ahlul hall wal aqdi adalah lembaga penengah dan
pemberi fatwa. Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat
yang duduk sebagai anggota majelis syura, yang terdiri dari alim ulama
dan kaum cerdik pandai (cendekiawan) yang menjadi pemimpin-pemimpin
rakyat dan dipilih atas mereka.
Dinamakan ahlul hall wal aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna
menghapuskan dan membatalkan. Penjelasan tentangnya merupakan
deskripsi umum saja, karena dalam pemerintahan Islam, badan ini belum
dapat dilaksanakan. [29]
Anggota dewan ini terpilih karena dua hal yaitu: pertama,
mereka yang telah mengabdi dalam Dunia politik, militer, dan misi
Islam, selama 8 sampai dengan 10 tahun. kedua, orang-orang yang
terkemuka dalam hal keluasan wawasan dan dalamnya pengetahuan tentang
yurisprudensi dan Quran.[30]
Dalam masa pemerintahannya, Umar telah membentuk
lembaga-lembaga yang disebut juga dengan ahlul hall wal aqdi, di
antaranya adalah:
- Majelis Syura (Diwan Penasihat), ada tiga bentuk :
- Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair.
- Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.
- Dewan antara Penasihat Tinggi dan Umum. Beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus.
- Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
- Nidzamul Maly (Departemen Keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan lain-lain.
- Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di antaranya adalah diwanul jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
- Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam negara.
- Departemen Pendidikan dan lain-lain.[31]
Pada masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara resmi,
dalam arti secara de jure belum terbentuk, tapi secara de facto telah
dijalankan tugas-tugas badan tersebut. Meskipun demikian, dalam
menjalankan roda pemerintahannya, Umar senantiasa mengajak musyawarah
para sahabatnya.[32]
3. Perluasan Wilayah
Ketika para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh
Khalifah Abu Bakar dan era penaklukan militer telah dimulai, maka Umar
menganggap bahwa tugas utamanya adalah mensukseskan ekspedisi yang
dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun memerintah, Umar
telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan
Islam. Pada tahun 635 M, Damascus, Ibu kota Syuriah, telah ia tundukkan.
Setahun kemudian seluruh wilayah Syuriah jatuh ke tangan kaum muslimin,
setelah pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai
Yordania.
Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Syuriah di masa Khalifah
Umar tidak lepas dari rentetan penaklukan pada masa sebelumnya.
Khalifah Abu Bakar telah mengirim pasukan besar dibawah pimpinan Abu
Ubaidah Ibn al-Jarrah ke front Syuriah. Ketika pasukan itu terdesak, Abu
Bakar memerintahkan Khalid Ibn al-Walid yang sedang dikirim untuk
memimpin pasukan ke front Irak, untuk membantu pasukan di Syuriah.
Dengan gerakan cepat, Khalid bersama pasukannya menyeberangi gurun pasir
luas ke arah Syuriah. Ia bersama Abu Ubaidah mendesak pasukan
Romawi. Dalam keadaan genting itu, wafatlah Abu Bakar dan diganti oleh
Umar bin al-Khattab.
Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang
dipercaya untuk memimpin pasukan di masa Abu Bakar, diberhentikan oleh
Umar dan diganti oleh Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah. Hal itu tidak
diberitahukan kepada pasukan hingga selesai perang, dengan maksud supaya
tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damascus jatuh ke
tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasukan Muslim
yang dipimpin oleh Abu Ubaidah itu melanjutkan penaklukan ke Hamah,
Qinisrun, Laziqiyah dan Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya
meneruskan penaklukan atas Baysan dan Jerussalem di Palestina. Kota suci
dan kiblat pertama bagi umat Islam itu dikepung oleh pasukan Muslim
selama empat bulan. Akhirnya kota itu dapat ditaklukkan dengan syarat
harus Khalifah Umar sendiri yang menerima “kunci kota” itu dari Uskup
Agung Shoporonius, karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan Muslim
yang akan menghancurkan gereja-gereja.[33]
Dari Syuriah, laskar kaum muslimin melanjutkan langkah ke Mesir dan
membuat kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika Utara. Bangsa Romawi
telah menguasai Mesir sejak tahun 30 SM. Dan menjadikan wilayah subur
itu sebagai sumber pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam
pajak naik sehingga menimbulkan kekacauan di negeri yang pernah
diperintah oleh raja Fir’aun itu. ‘Amr bin Ash meminta izin Khalifah
Umar untuk menyerang wilayah itu, tetapi Khalifah masih ragu-ragu karena
pasukan Islam masih terpencar dibeberapa front pertempuran. Akhirnya,
permintaan itu dikabulkan juga oleh Khalifah dengan mengirim 4000
tentara ke Mesir untuk membantu ekspedisi itu. Tahun 18 H, pasukan
muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemudian
menundukkan Poelisium (Al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang
merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh
pasukan kaum muslimin dan dapat ditaklukkan pada tahun 19 H. Satu demi
satu kota-kota di Mesir ditaklukkan oleh pasukan muslimin. Kota
Babylonia juga dapat ditundukkan pada tahun 20 H, setelah tujuh bulan
terkepung.
Iskandariah (ibu kota Mesir) dikepung selama empat bulan sebelum
ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Ubaidah Ibn as-Samit
yang dikirim oleh Khalifah dari Madinah sebagai bantuan pasukan ‘Amr bin
Ash yang sudah berada di front peperangan Mesir. Cyrus menandatangani
perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dengan jatuhnya Iskandariah
ini, maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. Ibu kota
negeri itu dipindahkan ke kota Fusthat yang dibangun oleh Amr bin Ash
pada tahun 20 H. Dengan Syuriah sebagai basis, gerak maju pasukan ke
Armenia , Mesopotamia bagian utara, Georgia, dan Azerbaijan menjadi
terbuka.
Demikian juga dengan serangan-serangan terhadap Asia Kecil yang
dilakukan selama bertahun-tahun. Seperti halnya perang Yarmuk yang
menentukan nasib Syuriah, perang Qadisia pada tahun 637 M, menentukan
masa depan Persia. Khalifah Umar mengirim pasukan di bawah pimpinan Saad
bin Abi Waqash untuk menundukkan kota itu. Kemenangan yang diraih di
daerah itu membuka jalan bagi gerakan maju tentara Muslim ke dataran
Eufrat dan Tigris. Setelah dikepung selama 2 bulan, Yazdagrid III, raja
Persia melarikan diri. Pasukan Islam kemudian mengepung Nahawan dan
menundukkan Ahwaz tahun 22 H. Pada tahun itu pula, seluruh Persia
sempurna berada dalam kekuasaan Islam, sesudah pertempuran sengit di
Nahawan. Isfahan juga ditaklukan. Demikian juga dengan Jurjan (Georgia)
dan Tabristan, Azerbaijan. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih
besar dari pada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1, menderita
kerugian besar. Kaum muslimin menyebut sukses ini dengan “kemenangan
dari segala kemenangan” (fathul futuh).[34]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Islam
pada masa itu meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, Mesir dan
sebagian besar Persia.
4. Pengembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik
Periode kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “abad emas”
Islam dalam segala zaman. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti
langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya, terutama
pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi
seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri
sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum
Ilahiyah (syariat) sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat
Islam yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan
bahwa beliaulah pendiri daulah islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa
Khalifah sebelumnya).
Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah,
sehingga musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum
Muslim. Di situlah letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya,
pasukan kaum Muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan
hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk Diwanul Jund.[35]
Sedangkan untuk pegawai biasa, di samping menerima gaji tetap
(rawatib), juga menerima tunjangan (al-itha’). Khusus untuk Amr bin
Ash, Umar menggajinya sebesar 200 dinar mengingat jasanya yang besar
dalam ekspansi. Dan untuk Imar bin Yasar, diberi 60 dinar disamping
tunjangan (al-jizyaat) karena hanya sebagai kepala daerah (al-amil).
Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin
pemerintahan pusat tetap dipegang oleh Khalifah Umar bin
Khattab. Sedangkan di propinsi, ditunjuk Gubernur (oramg Islam)
sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan. Di
antaranya adalah :
- Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syiria, dengan ibukota Damaskus.
- Nafi’ bin Abu Harits, Gubernur Hijaz, dengan ibu kota Mekkah.
- Abu Musa Al Asy’ary, Gubernur Iran, dengan ibu kota Basrah.
- Mughirah bin Su’bah, Gubernur Irak, dengan ibu kota Kufah.
- Amr bin Ash, Gubernur Mesir, dengan ibu kota Fustat.
- Alqamah bin Majaz, Gubernur Palestina, dengan ibu kotai Jerussalem.
- Umair bin Said, Gubernur jazirah Mesopotamia, dengan ibu kota Hims.
- Khalid bin Walid, Gubernur di Syiria Utara dan Asia Kecil.
- Khalifah sebagai penguasa pusat di Madinah.[36]
Tentang ghanimah, harta yang didapat dari hasil perang Islam setelah
mendapat kemenangan, dibagi sesuai dengan syariat Islam yang berlaku.
Setelah dipisahkan dari as- salb, ghanimah dimasukkan ke baitul maal.
Bahkan ketika itu, peran diwanul jund, sangat berarti dalam mengelola
harta tersebut, tidak seperti zaman Nabi yang membagi menurut ijtihad
beliau.[37]
Khalifah Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau
juga memperbaiki dan mengadakan perbaikan terhadap peraturan-peraturan
yang perlu direvisi dan dirubah. Umpamanya aturan yang telah berjalan
tentang sistem pertanahan, bahwa kaum muslimin diberi hak menguasai
tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang. Umar mengubah
peraturan ini, tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya
semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj).
Umar juga meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan
kepada orang-orang yang dijinaki hatinya (al-muallafatu qulubuhum).[38]
Di samping itu, Umar juga mengadakan “dinas malam” yang nantinya
mengilhami dibentuknya as-syurthah pada masa kekhalifahan Ali. Disamping
itu Nidzamul Qadhi (departemen kehakiman) telah dibentuk, dengan hakim
yang sangat terkenal yaitu Ali bin Abu Thalib. Dalam masyarakat, yang
sebelumnya terdapat penggolongan masyarakat berdasarkan kasta, setelah
Islam datang, tidak ada lagi istilah kasta tersebut (thabaqatus sya’by).
Kedudukan wanita sangat diperhatikan dalam semua aspek kehidupan.
Istana dan makanan Khalifah dikelola sesederhana mungkin. Terhadap
golongan minoritas (Yahudi- Nasrani), diberikan kebebasan
menjalankan perintah agamanya. Tidak ada perbedaan kaya-miskin. Hal
ini menunjukkan realisasi ajaran Islam telah nampak pada masa Umar.
Mengenai ilmu keislaman pada saat itu berkembang dengan pesat. Para
ulama menyebarkan ke kota-kota yang berbeda, baik untuk mencari ilmu
maupun mengajarkannya kepada muslimin yang lainnya. Hal ini sangat
berbeda dengan sebelum Islam datang, dimana penduduk Arab, terutama
Badui, merupakan masyarakat yang terbelakang dalam masalah ilmu
pengetahuan. Buta huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.
Di samping ilmu pengetahuan, seni bangunan, baik itu bangunan sipil
(imarah madaniyah), bangunan agama (imarah diniyah), ataupun bangunan
militer (imarah harbiyah), mengalami kemajuan yang cukup pesat pula.
Kota-kota gudang ilmu, di antaranya adalah Basrah, Hijaz, Syam, dan
Kuffah seakan menjadi idola ulama dalam menggali keberagaman dan
kedalaman ilmu pengetahuan.
Ahli-ahli kebudayaan membagi ilmu Islam menjadi 3 kelompok, yait :
- Al ulumul islamiyah atau al adabul islamiyah atau al ulumun naqliyah atau al ulumus syariat yang meliputi ilmu-ilmu Quran, hadis, kebahasaan (lughat), fikih, dan sejarah (tarikh).
- Al adabul arabiyah atau al adabul jahiliyah yang meliputi syair dan khitabah (retorika) yang sebelumnya memang telah ada, tapi mengalami kemajuan pesat pada masa permulaan Islam.
- Al ulumul aqliyah yang meliputi psikologi, kedokteran, tehnik, falak, dan filsafat.
Pada saat itu, para ulama berlomba-lomba menyusun berbagai ilmu pengetahuan karena:
- Mereka mengalami kesulitan memahami Al Qur’an .
- Sering terjadi perkosaan terhadap hukum
- Dibutuhkan dalam istimbath (pengambilan) hukum d. Kesukaran dalam membaca Al Qur’an.
Oleh karena itulah, banyak orang yang berasumsi bahwa kebangkitan
Arab masa itu didorong oleh kebangkitan Islam dalam menyadari pentingnya
ilmu pengetahuan. Apabila ada orang menyebut, “ilmu pengetahuan Arab”,
pada masa permulaan Islam, berarti itu adalah “ilmu pengetahuan Islam”.
5. Catatan Simpul
Konsep Khalifah pada zaman Umar masih tetap berjalan melalui proses
pemilihan, kendati Khalifah sebelumnya (Abu Bakar) telah menunjuk
Khalifah penerusntya. Hal penting yang perlu dicatat dari
pemerintahan Khalifah Umar diantaranya adalah :
- a. Munculnya Pemerintahan Arab
Berkat jasa Khalifah Abu Bakar, seluruh jazirah telah berada dibawah
pemerintahan Islam bahkan pernah memasuki wilayah Byzantium Syria tetapi
mengalami kegagalan. Kemudian pada zaman Khalifah Umar, Islam baru bisa
dikembangkan ke wilayah Persia dan Byzantium. Dalam waktu singkat
Persia dan Byzantium telah di kuasai oleh Islam, dan menyusul Mesir yang
ketika itu dikuasai oleh Romawi. Masuknya Islam ke wilayah Persia,
Irak dan Byzantium berarti kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia
yang sejak dulu memang terlibat sentimen permusuhan. karena itulah
pemerintahan Khalifah Umar disebut pemerintahan Arab.[39]
Kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia merupakan pukulan berat
bagi Persia, baik secara ekonomi maupun dilihat dari sudut politik.
Sebab ketika itu Persia termasuk bangsa besar sehingga ketika jatuh ke
tangan Arab, mereka kehilangan kedudukan sebagai raja dan seluruh harta
kekayaannya dikuasai oleh pemerintahan Arab.
Oleh karena itu, sebagai puncak kebencian dari orang Persia, mereka
mengirim pembunuh bayaran untuk membunuh Khalifah Umar. Pada saat usai
sholat Subuh, Kholifah Umar dibunuh oleh pembunuh bayaran bangsa
Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah, seorang budak yang dibawa oleh
Al–Mughirah dari Irak.[40]
Pembunuhan yang dilakukan oleh budak dari Persia tersebut menunjukkan
rasa ketidak puasan orang–orang Persia terhadap orang Arab yang telah
menundukkan negara dan kebesaran kekaisaran Persia. Karena sebelum Islam
datang Persia lebih maju dari pada bangsa Arab.
- b. Pembangunan Kota Baru
Khalifah Umar terkenal sebagai Khalifah yang berani dan dermawan.
Oleh karena itu, setiap beliau berhasil mengusai pusat kerajaan, beliau
tidak menempati pusat kerajaan yang telah ada, akan tetapi ia lebih suka
membangun daerah baru yang jauh dari kota dan cocok untuk peternakan
sebagai pusat dari kerajaan baru yang telah ia taklukkan. Berdasarkan
konsep pemikiran tersebut Khalifah Umar mendirikan kota Basrah
pada tahun 16 H, Kufah pada tahun 17 H dan Fustat pada tahun 19 H
sekarang menjadi Kairo Kuno.[41]
Adapun cara Khalifah Umar dalam mendirikan kota baru adalah pertama
membangun Masjid dan pengadaan air minum baru kemudian kantor
pemerintahan. Dari sinilah daerah tersebut berangsur–angsur
menjadi kota dan sebagai pusat kebudayaan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dengan masjid sebagai sentralnya. Hal ini
terbukti sampai sekarang Kufah, Basrah dan Kairo menjadi pusat ilmu dan
kebudayaan Dunia Islam. Oleh karena itu, daerah tersebut banyak
didatangi oleh bangsa lain seperti: Cina dan Bangsa Eropa.
- c. Lembaga Perpajakan
Ketika wilayah kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Persia, Irak
dan Syria serta Mesir sudah barang tentu yang menjadi persoalan adalah
pembiayaan , baik yang menyangkut biaya rutin pemerintah maupun biaya
tentara yang terus berjuang menyebarkan Islam ke wilayah tetangga
lainnya. Oleh karena itu, dalam kontek ini Ibnu Khadim mengatakan bahwa
institusi perpajakan merupakan kebutuhan bagi kekuasaan raja yang
mengatur pemasukan dan pengeluaran.[42]
Sebenarnya konsep perpajakan secara dasar berawal dari keinginan
Umar untuk mengatur kekayaan untuk kepentingan rakyat. Kemudian secara
tehnis beliau banyak memperoleh masukan dari orang bekas kerajaan
Persia, sebab ketika itu Raja Persia telah mengenal konsep perpajakan
yang disebut sijil, yaitu daftar seluruh pendapatan dan pengeluaran
diserahkan dengan teliti kepada negara. Berdasarkan konsep inilah Umar
menugaskan stafnya untuk mendaftar pembukuan dan menyusun kategori
pembayaran pajak.
C. PERADABAN ISLAM PADA MASA KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN
Diantara Khulafaurrasyidin adalah Ustman Ibnu Affan (Khalifah
ketiga) yang memerintah umat Islam paling lama dibandingkan ketiga
Khalifah lainnya. Ia memerintah selama 12 tahun. Dalam
pemerintahannya, sejarah mencatat telah banyak kemajuan dalam
berbagai aspek yang dicapai untuk umat Islam. Akan tetapi juga
tidak sedikit polemik yang terjadi di akhir pemerintahannya.
Pada masa Khalifah Ustman, konsep kekhalifaan sudah mulai mundur,
dalam arti interest politik disekitar Khalifah mulai banyak diwarnai
oleh dinamika kepentingan suku dan perbedaan interpretasi konsep
kepemimpinan dalam Islam. Ketika itu sebenarnya Umar telah memilih
jalan demokratis dalam menentukan penggantinya. Akan tetapi beliau
berada dalam pada posisi dilematis, ia diminta oleh sebagian sahabat
untuk menunjukkan penggantinya. Maka jalan keluar yang ditempuh Khalifah
Umar adalah memilih formatur 6 orangyang terdiri dari: Ustman bin
Affan, Ali Ibnu Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Ibnu Awwam, Sa’ad
Ibnu Abi Waqqas dan Abdurrahman Ibnu Auf.[43] (Syalaby, 1 Kemudian formatur sepakat memilih Ustman sebagai Khalifah.
Terpilihnya Ustman sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan
dikalangan pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal
dari persaingan kesukuan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau
Alawiyah yang memang bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karena itu,
ketika Ustman terpilih masyarakat menjadi dua golongan, yaitu golongan
pengikut Bani Ummayyah, pendukung Ustman dan golongan Bani Hasyim
pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak dipenghujung pemerintahan
Ustman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang menyebabkan
disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya.
1. Biografi
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abdi Syams bin Abdi
Manaf bin Qushay al-Quraisyi. Nabi sangat mengaguminya karena ia
adalah orang yang sederhana, shaleh dan dermawan. Ia dikenal dengan
sebutan Abu Abdullah. Ia dilahirkan pada tahun 573 M di Makkah dari
pasangan suami isteri Affan dan Arwa. Beliau merupakan salah satu
keturunan dari keluarga besar Bani Umayyah suku Quraisyi. Sejak kecil,
ia dikenal dengan kecerdasan, kejujuran dan keshalehannya sehingga
Rasulullah SAW sangat mengaguminya. Oleh karena itu, ia memberikan
kesempatan untuk menikahi dua putri Nabi secara berurutan, yaitu
setelah putri Nabi yang satu meninggal Dunia.[44]
Ustman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Berawal dari
kedekatannya dengan Abu Bakar, beliau dengan sepenuh hati masuk Islam
bersama sahabatnya Thalhah bin Ubaidillah. Meskipun masuk Islamnya
mendapat tantangan dari pamannya yang bernama Hakim, ia tetap pada
pendiriannya. Karena pilihan agamanya tersebut, Hakim sempat menyiksa
Ustman bin Affan dengan siksaan yang amat pedih. Siksaan terus
berlangsung hingga datang seruan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang
Islam berhijrah ke Habsyi.[45]
Di kalangan bangsa Arab ia tergolong konglomerat, tetapi
perilakunya sederhana. Selama tinggal di Madinah, ia memperlihatkan
komitmen sosialnya yang tinggi pada Islam. Seluruh hidupnya diabdikan
untuk syiar agama Islam dan seluruh kekayaannya didermakan untuk
kepentingan umat Islam. Ia menyumbangkan 950 ekor unta dan 50 ekor
kuda serta 1000 dirham dalam perang Tabuk, Juga membeli mata air dari
orang Romawi dengan harga 20.000 dirham guna diwakafkan bagi kepentingan
umat Islam.[46]
Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Ustman menjadi
pejabat yang amat dipercaya yaitu sebagai anggota dewan inti yang selalu
diminta pendapatnya tentang masalah-masalah kenegaraan, misalnya
masalah pengangkatan Umar sebagai pengganti Abu Bakar.
Ustman bin Affan menjabat Khalifah pada usia 70 tahun hingga usia
82 tahun. Adalah Khalifah yang paling lama memerintah dibanding ketiga
Khalifah lainnya. Ia memerintah Dunia Islam selama 12 tahun (24–36
H/644–656 M). Dalam pemerintahannya, banyak kemajuan yang telah
dicapainya, disamping tidak sedikit pula polemik dan kesan negatif yang
terjadi di akhir pemerintahannya. Secara dramatik bahkan muncul
pendapat dan argumen bahwa Khalifah Ustman melakukan penyimpangan
terhadap ajaran Islam, sihingga ia dianggap tidak layak menyandang gelar
Khalifah ar-Rasyidin. Sebab selama menjadi Khalifah, ia diasumsikan
banyak melakukan nepotisme dan prilaku menyimpang lainnya.
2. Proses Kekhalifahan Ustman bin Affan
Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, tepatnya ketika beliau
sakit dibentuklah dewan musyawarah yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib,
Ustman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalha bin Ubaidillah, Zubair
bin Awwam dan Abdur Rahman bin Auf. Salah seorang putra Umar, Abdullah
ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya punya hak pilih dan tidak
berhak dipilih.[47]
Dewan tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan
tugas pokok menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar
bin Khattab dalam memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini
dimaksudkan untuk menyatukan kembali kesatuan umat Islam yang pada
saat itu menunjukkan adanya indikasi disintegrasi.
Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak
ada yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah
seorang dari mereka sebagai pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam
sidang terjadi tarik ulur pendapat yang sangat alot, walau pada
akhirnya, mereka memutuskan Ustman bin Affan sebagai Khalifah setelah
Umar nin Khattab. Diantara kelima calon hanya Tholhah yang sedang tidak
berada di Madinah ketika terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil
inisiatif untuk menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah
pengganti Umar. Ia meminta pendapat masing-masing nominasi. Saat
itu, Zubair dan Ali mendukung Ustman. Sedangkan
Ustman sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya
terhadap Ustman. Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan
pendapat-pendapat sahabat besar lainnya. Akhirnya suara mayoritas
menghendaki dan mendukung Ustman. Lalu ia dinyatakan resmi sebagai
Khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam. Pemilihan itu
berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik
pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Tholhah kembali ke Madinah
Ustman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Tholhah menolaknya
seraya menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Ustman
bin Affan berdasarkan suara mayoritas.[48]
Dalam sejarahnya kemudian, tarik ulur perbedaan pendapat tersebut
mengandung banyak interpretasi. Misalnya, dikatakan bahwa dalam
pemilihan Khalifah Ustman ditemui beberapa kecurangan, dan sebenarnya
yang pantas menduduki kursi Khalifah setelah umar adalah Ali bin
Abi Thalib. Keberhasilan Ustman bin Affan menjadi Khalifah
ditentukan oleh peran lima tokoh yaitu Umar bin Khattab, Abdur Rahman
bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin
Awwam. Mereka ini masuk Islam secara kolektif atas pengaruh Abu Bakar
as-Shiddiq.
Dengan demikian, bila dewan itu dipetakan dapat ditemukan dua
kekuatan yang bersaing, yaitu poros Abu Bakar dan Umar yang pro
Ustman dengan poros Ali. Kini penganut Syi’ah berpendapat bahwa
terbentuknya dewan musyawarah dengan 6 anggota tersebut merupakan
“taktik politik” pro Ustman yang ingin agar Ustman menjadi Khalifah.[49]
Pendapat ini sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, bila
dihadapkan pada pertanyaan: sebenarnya dewan tersebut mewakili siapa,
dan apa dasar representasinya menentukan 6 anggota ?.
3. Perluasan Wilayah
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat
daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan
tersebut ditimbulkan oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama
atau dengan perkataan lain pamong praja dari pemerintahan lama
(pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah kekuasaan Islam)
ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang dilakukan
oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia
agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi dengan
kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan
pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia
lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna,
Balkh dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap
pemerintahan Islam adalah Khurosan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman
mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta
beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan sampai di
Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah
dan meminta damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai
Khurazan.
Adapun tentang Iskandariyah, bermula dari kedatangan kaisar Konstan
II dari Roma Timur atau Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan
mendadak, sehingga pasukan Islam tidak dapat menguasai serangan.
Panglima Abdullah bin Abi Sarroh yang menjadi wali di daerah tersebut
meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat kembali panglima Amru bin
‘Ash yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di Iskandariyah.
Abdullah bin Abi Sarroh memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih cakap
dalam memimpin perang dan namanya sangat disegani oleh pikak lawan.
Permohonan tersebut dikabulkan, setelah itu terjadilah perpecahan dan
menyebabkan tewasnya panglima di pihak lawan.
Selain itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman Robiah
Al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama
penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan
dan kaum muslimin dapat menguasai Armenia. Perluasan Islam memasuki
Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Zarrah.
Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi.
Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia
berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus.[50]
Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam
kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan
negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara
Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria),
Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan.
Jadi Enam tahun pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan
perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa
pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan,
Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri
Cyprus. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan
Cyprus bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan
sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.[51]
4. Pembangunan Angkatan Laut
Pembangunan angkatan laut bermula dari adanya rencana Khalifah
Ustman untuk mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus dan Konstatinopel
Cyprus. Untuk sampai ke daerah tersebut harus melalui lautan. Oleh
karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah, Ustman pun menyetujui
pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana yang
memadai.[52]
Pada saat itu, Mu’awiyah, Gubernur di Syiria harus menghadapi
serangan-serangan Angkatan Laut Romawi di daerah-daerah pesisir
provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada Khalifah Utsman
untuk membangun angkatan laut dan dikabulkan oleh Khalifah. Sejak itu
Muawiyah berhasil menyerbu Romawi.
Mengenai pembangunan armada itu sendiri, Muawiyah tidaklah
membutuhkan tenaga asing sepenuhnya, karena bangsa Kopti, begitupun juga
penduduk pantai Levant yang berdarah Punikia itu, ramai-ramai
menyediakan dirinya untuk membuat dan memperkuat armada tersebut. Itulah
pembangunan armada yang pertama dalam sejarah Dunia Islam.
Selain itu, Keberangkatan pasukan ke Cyprus yang melalui lautan, juga
mendesak ummat Islam agar membangun armada angkatan laut. Pada saat
itu, pasukan di pimpin oleh Abdullah bin Qusay Al-Harisy yang ditunjuk
sebagai Amirul Bahr atau panglima Angkatan Laut. Istilah ini kemudian
diganti menjadi Admiral atau Laksamana. Ketika sampai di Amuria dan
Cyprus pasukan Islam mendapat perlawanan yang sengit, tetapi semuanya
dapat diatasi hingga sampai di kota Konstatinopel dapat dikuasai pula.
Di samping itu, serangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir
melalui laut juga memaksa ummat Islam agar segara mendirikan angkatan
laut. Bahkan pada tahun 646 M, bangsa Romawi telah menduduki
Alexandria dengan penyerangan dari laut.
Penyerangan itu mengakibatkan jatuhya Mesir ke tangan kekuasan bangsa
Romawi. Atas perintah Khalifah Ustman, Amr bin Ash dapat mengalahkan
bala tentara bangsa Romawi dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M
di Mesir.[53]
Berawal dari sinilah Khalifah Ustman bin Affan perlu diingat sebagai
Khalifah pertama kali yang mempunyai angkatan laut yang cukup
tangguh dan dapat membahayakan kekuatan lawan.
5. Pendewanan Mushaf Ustmani
Penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di
berbagai daerah, sehinga perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan
berbedanya qiro‘at dari qori‘ yang sampai pada mereka. Sebagian orang
Muslim merasa puas karena perbedaan tersebut disandarkan pada
Rasullullah SAW. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak menimbulkan
keraguan kepada generasi berikutnya yang tidak secara langsung bertemu
Rasullullah.
Ketika terjadi perang di Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak,
diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat tersebut adalah
Hudzaifah bin Aliaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara membaca
Al-Qur‘an. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan tetapi
masing-masing berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka
saling mengkafirkan. Melihat hal tersebut beliau melaporkannya kepada
Khalifah Ustman. Para sahabat amat khawatir kalau
perbedaan tersebut akan membawa perpecahan dan penyimpangan pada
kaum muslimin. Mereka sepakat menyalin lembaran pertama yang
telah di lakukan oleh Khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh istri
Rasulullah, Siti Hafsah dan menyatukan umat Islam dengan satu bacaan
yang tetap pada satu huruf.[54]
Selanjutnya Ustman mengirim surat pada Hafsah yang isinya
kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami
akan menyalinnya dalam bentuk mushaf dan setelah selesai akan kami
kembalikan kepada anda. Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Ustman.
Ustman memerintahkan para sahabat yang antara lain: Zaid Ibn Tsabit,
Abdullah Ibn Zubair, Sa‘ad Ibn Al-‘Ash dan Abdurahman Ibnu Harist Ibn
Hisyam, untuk menyalin mushaf yang telah dipinjam. Khalifah Ustman
berpesan kepada kaum Quraisy bila anda berbeda pendapat tentang hal
Al-Qur‘an maka tulislah dengan ucapan lisan Quraisy karena Al-Qur‘an
diturunkan di kaum Quraisy. Setelah mereka menyalin ke dalam beberapa
mushaf Khalifah Ustman mengembalikan lembaran mushaf asli kepada
Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf yang yang telah di salinnya ke
seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran
mushaf yang lain dibakar.[55]
Al-Mushaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah
Islam supaya disalin kembali dan supaya dipedomani, satu buah disimpan
di Madinah untuk Khalifah Ustman sendiri dan mushaf ini disebut mushaf
Al-Imam dan dikenal dengan mushaf Ustmani.[56]
Jadi langkah pengumpulan mushaf ini merupakan salah satu langkah
strategis yang dilakukan Khalifah Ustman bin Affan yakni dengan
meneruskan jejak Khalifah pendahulunya untuk menyusun dan
mengkodifikasikan ayat-ayat al-Qur an dalam sebuah mushaf. Karena selama
pemerintahan Ustman, banyak sekali bacaan dan versi al-Qur’an di
berbagai wilayah kekuasaan Islam yang disesuaikan dengan bahasa
daerah masing- masing. Dengan dibantu oleh Zaid bin Tsabit dan
sahabat-sahabat yang lain, Khalifah berusaha menghimpun kembali
ayat-ayat al-Qur an yang outentik berdasarkan salinan Kitab Suci yang
terdapat pada Siti Hafsah, salah seorang isteri Nabi yang telah dicek
kembali oleh para ahli dan huffadz dari berbagai kabilah yang sebelumnya
telah dikumpulkan.[57]
Keinginan Khalifah Ustman agar kitab al-Qur’an tidak
mempunyai banyak versi bacaan dan bentuknya tercapai setelah kitab
yang berdasarkan pada dialek masing-masing
kabilah semua dibakar, dan yang tersisa hanyalah mushaf yang telah
disesuaikan dengan naskah al-Qur’an aslinya. Hal tersebut sesuai dengan
keinginan Nabi Muhammad SAW yang menghendaki adanya penyusunan al-Qur’an
secara standar.[58]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif pengumpulan mushaf oleh
Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman berbeda. Pengumpulam mushaf yang
dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dikarenakan adanya kekhawatiran akan
hilangnya Al-Qur‘an karena banyak huffadz yang meninggal karena
peperangan, sedangkan motif Khalifah Ustman karena banyaknya perbedaan
bacaan yang dikhawatirkan timbul perbedaan.[59]
6. Konflik dan Kemelut Politik Islam
Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa awal
pemerintahannya, beliau berhasil memerintahan Islam dengan baik sehingga
Islam mengalami kemajuan dan kemakmuran dengan pesat. Namun pada paruh
terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tak puas dan kecewa umat
Islam terhadapnya. Khalifah Ustman adalah pemimpin yang sangat
sederhana, berhati lembut dan sangat shaleh, sehingga kepemimpinan
beliau dimanfaatkan oleh sanak saudaranya dari keluarga besar Bani
Umayah untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah.
Oleh karena itu, orang-orang menuduh Khalifah Ustman melakukan
nepotisme, dengan mengatakan bahwa beliau menguntungkan sanak saudaranya
Bani Umayyah, dengan jabatan tinggi dan kekayaannya. Mereka juga
menuduh pejabat-pejabat Umayyah suka menindas dan menyalahkan harta
baitul maal. Disamping itu Khalifah Utsman dituduh sebagai
orang yang boros mengeluarkan belanja, dan kebanyakan diberikan
kepada kaum kerabatnya sehingga hampir semuanya menjadi orang kaya.
Dalam kenyataannya, menurut Mufradi (1997:62) satu persatu
kepemimpinan di daerah-daerah kekuasaan Islam diduduki oleh keluarga
Khalifah Ustman. Adapun pejabat- pejabat yang diangkat Ustman antara
lain:
- Abdullah bin Sa‘ad (saudara susuan Ustman) sebagai wali Mesir menggantikan Amru bin Ash.
- Abdullah bin Amir bin Khuraiz sebagai wali Basrah menggantikan Abu Musa Al-Asyari.
- Walid bin Uqbah bin Abi Muis (saudara susuan Ustman) sebagai wali Kufah menggantikan Sa‘ad bin Abi Waqos.
- Marwan bin Hakam (keluarga Ustman ) sebagai sekretaris Khalifah Ustman.[60]
Pengangkatan pejabat di kalangan keluarga oleh Khalifah Ustman telah
menimbulkan protes keras di daerah dan menganggap Ustman telah melakukan
nepotisme. Menurut Ali (1997:125), protes orang dengan tuduhan
nepotisme tidaklah beralasan karena pribadi Ustman itu bersih.
Pengangkatan kerabat oleh Ustman bukan tanpa pertimbangan. Hal ini
ditunjukkan oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad
dalam melawan pasukan Romawi di Afrika Utara dan juga
keberhasilannya dalam mendirikan angkatan laut. Ini menunjukkan Abdullah
bin Sa’ad adalah orang yang cerdas dan cakap, sehingga pantas
menggantikan Amr ibn ‘Ash yang sudah lanjut usia. Hal lain ditunjukkan
ketika diketahui Walid bin Uqbah melakukan pelanggaran berupa
mabuk-mabukkan, ia dihukum cambuk dan diganti oleh Sarad bin Ash. Hal
tersebut tidak akan dilakukan oleh Ustman, kalau beliau hanya
menginginkan kerabatnya duduk di pemerintahan.[61]
Situasi politik di akhir masa pemerintahan Ustman benar-benar
semakin mencekam bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik untuk
kamaslahatan umat disalahfahami dan melahirkan perlawanan dari
masyarakat. Misalnya kodifikasi al-Qur’an dengan tujuan supaya tidak
terjadi kesimpangsiuran telah mengundang kecaman melebihi dari apa yang
tidak diduga. Lawan-lawan politiknya menuduh Ustman bahwa ia sama
sekali tidak punya otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang ia
bukukan. Mereka mendakwa Ustman secara tidak benar telah menggunakan
kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya.[62]
Tentang tuduhan pemborosan uang negara antara lain pembangunan rumah
mewah lengkap dengan peralatan untuk Ustman, istrinya dan anak-anaknya
ditolak keras oleh Ustman. Demikian pula terhadap tuduhan keji tentang
pemborosan dan korupsi uang negara untuk dibagi-bagikan pada saudaranya.
Tuduhan lain terhadap Ustman yaitu mengambil harta baitul maal adalah
tidak benar, karena beliau dan keluarga hanya makan dari hasil gajinya
saja. Semua tuduhan tersebut di bantah oleh Ustman sendiri:
“Ketika kendali pemerintahan dipercaya kepadaku, aku adalah pemilik
unta dan kambing paling besar di Arab. Sekarang aku tidak mempunyai
kambing atau unta lagi, kecuali dua ekor unta untuk menunaikan
haji. Demi Allah tidak ada kota yang aku kenakan pajak di luar
kemampuan penduduknya sehingga aku dapat disalahkan. Dan apapun yang
telah aku ambil dari rakyat aku gunakan untuk kesejahteraan mereka
sendiri.[63]
Penyebab utama dari semua protes terhadap Khalifah Ustman adalah
diangkatnya Marwan ibnu Hakam, karena pada dasarnya dialah yang
menjalankan semua roda pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang
gelar Khalifah.
Rasa tidak puas memuncak ketika pemberontak dari Kufah dan Basrah
bertemu dan bergabung dengan pemberontak dari Mesir. Wakil-wakil mereka
menuntut diangkatnya Muhammad Ibnu Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir.
Tuntutan dikabulkan dan mereka kembali. Akan tetapi di tengah perjalanan
mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang isinya bahwa
wakil-wakil itu harus dibunuh ketika sampai di Mesir. Yang menulis
surat tersebut menurut mereka adalah Marwan ibn Hakam.
Mereka meminta Khalifah Ustman menyerahkan Marwan, tetapi ditolak
oleh Khalifah. Ali bin Abi Tholib mencoba mendamaikan tapi pemberontak
berhasil mengepung rumah Ustman dan membunuh Khalifah yang tua itu
ketika membaca al-Qur’an pada 35 H/17 Juni 656 M. Pembunuhan ini
menimbulkan berbagai gejolak pada tahun-tahun berikutnya, sehingga
bermula dari kejadian ini dikenal sebutan al-bab al-maftukh (terbukanya
pintu bagi perang saudara).
Menurut ahli sejarah berkebangsaan Jerman Mr. Welhausen “Pembunuhan
Ustman yang bermotif politik itu lebih berpengaruh terhadap lembaran
sejarah Islam dibandingkan dengan sejarah-sejarah Islam yang lainnya.
Kesatuan umat Islam yang baru terbentuk oleh dua Khalifah pendahulunya
mulai sirna dan keruwetan muncul di tengah-tengah umat Islam.
Selanjutnya masyarakat Muslim terpecah menjadi dua golongan yaitu
Umaiyah dan Hasyimiyah. Golongan Umaiyah menuntut pembalasan atas darah
Ustman sepanjang pemerintahan Ali hingga terbentuknya Dinasti Umaiyah”.
Ibnu Saba’, nama lengkapnya Abdullah bin Saba’, adalah seorang Yahudi
dari Yaman yang masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada di
balik pemberontakan terhadap Khalifah Ustman bin Affan. Ibnu Saba’
melakukan semuanya itu didasarkan motivasi dirinya untuk meruntuhkan
dasar-dasar Islam yang telah dipegang teguh oleh umat Islam. Niatnya
masuk Islam hanyalah sebagai kedok belaka untuk merongrong kewibawaan
pemerintahan Khalifah Ustman, sehingga muncullah kerusuhan yang terjadi
di berbagai wilayah kekuasaan Islam di antaranya adalah Fustat (Kairo),
Kufah, Basrah, dan Madinah.[64]
Selain faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu
Saba’), dalam internal kekhalifahan Ustman bin Affan terdapat
konfrontasi lama yang mencuat kembali. Permasalahan tersebut semata-mata
berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah.
Sedangkan Ustman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga
besar Bani Umayyah. Pada konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu
berada di atas Bani Umayyah terutama pada masalah-masalah perpolitikan
orang-orang Quraisy.[65] (
Lemahnya karakter kepemimpinan Ustman menjadikan kekuatan dan
kekuasaanya semakin terancam. Artinya, pribadi Ustman bin Affan yang
sederhana dan berhati lembut membuat para pemberontak lebih leluasa
dalam melakukan provokasi dan kerusuhan di wilayah kekuasaan Islam.
Sikap sederhana dan lemah lembut dalam ilmu politik sebenarnya
kurang relevan diterapkan, apalagi pada saat itu kondisi pemerintahan
dalam saat-saat kritis. Dan lagi-lagi pada beberapa kasus, Ustman bin
Affan begitu mudah memaafkan orang lain, meskipun pada kenyataannya
orang tersebut adalah termasuk kelompok yang memerangi dan sangat tidak
suka dengan beliau.
7. Catatan Simpul
Khalifah Utsman adalah orang yang berhati mulia, sabar dan dermawan
terutama untuk kepentingan jihad Islam. Usaha Khalifah Utsman dalam
meluaskan wilayah Islam sangatlah banyak, diantaranya merebut daerah
Iskandariyah dan Khurosan sehingga muncullah suatu usaha untuk membuat
armada laut.
Hal lain yang berhasil dilakukan oleh Khalifah Ustman dan sangat
bermanfaat bagi Umat sepanjang masa adalah menyusun Mushaf al-Quran yang
dikumpulkannya dari istri Nabi Muhammad SAW yaitu Siti Hafsah.
D. PERADABAN ISLAM MASA KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
1. Biografi
Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang
dikenal sebagai orang yang alim, cerdas dan taat beragama. Beliau juga
saudara sepupu Nabi SAW (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang jadi
menantu Nabi SAW, suami dari putri Rasulullah yang bernama Fathimah.
Fathimah adalah satu-satunya putri Rasulullah yang ada serta mempunyai
keturunan. Dari pihak Fathimah inilah Rasulullah mempunyai keturunan
sampai sekarang.
Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang pertama kali masuk
Islam dari kalangan anak-anak. Nabi Muhammad SAW, semenjak kecil
diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, kemudian setelah kakeknya
meninggal di asuh oleh pamannya Abu Thalib. Karena hasrat hendak
menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka Ali di asuh Nabi SAW
dan di didik. Pengetahuannya dalam agama Islam amat luas. Karena
dekatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak
meriwayatkan Hadits Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan
hampir di seluruh peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali
senantiasa berada di barisan muka.
Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali
untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin
Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa
musyawarah dengan Ali. Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya
dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan.
Demikian pula, Ali juga tampil membela Utsman ketika berhadapan
dengan pemberontak.[66]
2. Pembaiatan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Dalam pemilihan Khalifah terdapat perbedaan pendapat antara
pemilihan Abu bakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua
pemilihan Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman
ibn Affan), meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang menentang,
tetapi setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi Khalifah, semua
orang menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan kesetiaannya.
Namun lain halnya ketika pemilihannya Ali bin Abi Thalib, justru
sebaliknya.
Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, masyarakat beramai-ramai
datang dan membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Beliau
diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka. Akan tetapi
suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh
senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan
pengangkatan Ali bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat
termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali masih
menjadi Khalifah dalam pemerintahan Islam.
Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah di karenakan beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai
Ali diangkat menjadi Khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak.
Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umaiyyah) yaitu keluarga yang
selama ini telah hidup bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah
Ustman. Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan dan kesenangan
mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali.
Adapun rakyat terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan
menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau akan dijadikan tempat
berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.[67] (Syalaby, 1997:283).
3. Permasalahan Masa Ali bin Abi Thalib
Tidak berfungsinya konsep kekhalifahan pada masa Ali ibn Abi Thalib,
pertama disebabkan karena pembunuhan terhadap Khalifah Ustman masih
misterius, tidak diketahui siapa pembunuhnya. Karena itu ada dugaan
bahwa yang membunuh adalah kelompok Ali. Keadaan ini oleh sebagian
pendapat dipolitisir untuk mempertajam pertentangan kesukuan antara Bani
Hasyim (Ali) dengan Bani Umayyah (Ustman).
Kedua, elite pemerintahan khususnya dari kalangan Gubenur Syiria
tidak menginginkan Ali tampil sebagai Khalifah. Sebab Ali yang alim dan
zuhud itu sudah barang tentu tidak suka melihat gubenurnya yang
berorientasi pada kemewahan Dunia. Dengan kata lain munculnya Ali
sebagai Khalifah akan merugikan orang elite Islam yang cinta pada
kedudukan dan kekuasaan. Sedangkan rakyat memimpikan kualitas
kepemimpinan seperti pada zaman Khalifah sebelumnya.
Berdasarkan skenario inilah muncul konsep pemboikotan terhadap
Ali sebagai Khalifah.
Pemerintahan Ali adalah pemerintahan yang mencoba mendasarkan pada
dasar-dasar hukum agama Islam. Hal tersebut terlihat ketika Ali hendak
mengembalikan umat kepada
kehidupan seperti zaman Rasulullah, dimana orang-orang bekerja dan
berjihad semata- mata karena Allah. Disamping itu fakta sejarah juga
menunjukkan adanya klaim bahwa Ali adalah seorang pemuda yang cerdas,
berani dan mempunyai pengetahuan agama yang dalam, hal ini juga diakui
Rasulullah lewat Hadist beliau yang berbunyi: “aku adalah bagaikan kota
ilmu dan Ali adalah pintunya”
Dengan pemahaman yang dalam tentang agama Islam maka langkah pertama
yang ia lakukan setelah menjabat menjadi Khalifah, antara lain yaitu
mengganti seluruh Gubernur/wali-wali daerah yang dulu diangkat Ustman
secara nepotisme dan mencabut kembali segala fasilitas yang diberikan
Ustman pada familinya. Karena hal tersebut bertentangan dengan ajaran
agama yang memerintahkan agar berlaku adil kepada siapa saja.
Sementara itu sejak awal berlangsungnya proses pemilihan,
pembai’atan, sampai pada saat Ali menjabat sebagai Khalifah ia terus
saja dihadapkan pada suasana politik yang rumit karena banyaknya
rongrongan dari berbagai pihak yang bermaksud menjatuhkan kekhalifahan
Ali. Adapun alasan pihak-pihak yang merongrong kekhalifahan Ali adalah:
- Sebagian kaum muslimin memandang bahwa menyerahkan kursi Khalifah kepada Ali berarti penyerahannya turun-temurun kepada Bani Hasyim.
- Jika pemerintahan dipegang Ali maka dikhawatirkan tipe kepemimpinan Ali akan sama dengan tipe kepemimpinan Umar Ibn Khatab yang terkenal jujur, keras dan disiplin. Sehingga orang-orang yang pada masa Ustman merasakan kesenangan hidup enggan untuk melepas kesenangan tersebut.[68]
Selain adanya pihak-pihak yang tidak menyukainya, Ali juga direpotkan
dengan gencarnya desakan yang menuntut penuntasan tragedi
pembunuhan Ustman, yang ternyata mereka tidak sekedar mendesak bahkan
akhirnya mereka menyatakan perang dengan Ali dan merongrongnya selama
Ali belum mengabulkan tuntutannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka banyak orang-orang yang
tidak menyukai Ali. Akan tetapi tidak ada orang yang ingin diangkat
sebagai Khalifah, karena Ali masih ada. Maka setelah memperhatikan
situasi yang sulit pada waktu itu dapatlah diambil kesimpulam bahwa
pembaiatan Ali sebagai Khalifah tidaklah dilakukan kaum Muslim
dengan sepenuh hati, terutama bani Umayyah, yang akhirnya mereka
mempelopori orang- orang agar tidak menyetujui Ali.
4. Kebijaksanaan Politik Ali bin Abi Thalib
Menurut Thabani yang dikutip oleh Syalaby setelah Ali
dibaiat menjadi Khalifah, ia mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang
sangat radikal yaitu:
- Memecat kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru.
- Mengambil kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.[69]
Menanggapi kebijakan yang dilakukan okleh Ali tersebut, ada
yang berpendapat bahwa kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal dan kurang
persuasive, sehingga menimbulkan perlawanan politik dari gubenur
khususnya gubenur Syiria (Bani Ummayyah) yang tidak mau tunduk pada
Khalifah Ali, terbukti ia menolak kehadiran gubenur yang baru diangkat
Ali.
Penulis memandang bahwa tindakan politik Ali yang radikal itu kendati
strategis tapi tidak taktis, sebab pada masa Khalifah Ustman konflik
etnis antara Bani Ummayyah dan Bani Hasyim sudah ada, terbukti
ketika Ustman terbunuh secara misterius Bani Ummayyah
mengeksploitasi tuduhan pada Ali, karena didasari Bani Umayyah
yang memang ambisi menjadi Khalifah.
Semestinya gerakan radikal Ali untuk mengusir elite Bani Umayyah
dilakukan secara bertahap, sebab walau bagaimanapun elite baru
yang telah lama berkuasa seperti Muawiyah sulit ditundukkan,
sedangkan Ali yang mengandalkan idealisme dan dukungan masyarakat bawah
beberapa kelompok tua terlalu intelektual tapi kurang pengalaman dalam
menyelesaikan konflik dalam pemerintahan, sehingga dengan demikian yang
muncul dalam pemerintahan bukan integrasi tetapi disintegrasi yang
ditandai dengan lahirnya perang saudara yang pertama kali dalam Islam,
yakni perang jamal.
5. Perang Jamal
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan,
tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil.
Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat Gubernur yang diangkat oleh
Khalifah Ustman. Beliau yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu beliau juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan oleh Ustman kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali
sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana
pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab.[70]
Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali,
kemudian pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan.
Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan yang merupakan keluarga Usman sendiri dengan alasan:
- Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman.
- Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru. Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang berada di Madinah saja.[71]
Namun karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga
permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam
waktu dekat. Seperti yang telah ditulis para sejarawan suasana politik
pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai
pihak, terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan mengakui Ali
menjabat sebagai Khalifah keempat.
Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan
penanganan serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur
dan menguatkan kembali posisinya sebagai Khalifah dan berusaha
mengatasi segala kekacauan yang terjadi.[72]
Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan Ustman. Namun
sejak tahun 35 H/656 M, tahun pengangkatan Ali sebagai Khalifah
sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti
untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Ustman.
Sehingga Siti Aisyah bergabung dengan Tolhah dan Zubair
menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas
kematian Ustman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar Siti
Aisyah dan pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di
Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk menghadapi
tantangan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin
menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair
agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai.
Namun ajakan tersebut ditolak.
Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang
selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”. Pertempuran tersebut
dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Pertempuran inilah yang
terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh
kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali
lebih berpengalaman dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah
mengalami kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya
sebagai Ummul Mu’minin. Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali
mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah
dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh
saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah
terjadinya perang jamal yang merupakan perang pertama antara sesama umat
Islam dalam sejarah Islam.
6. Perang Shiffin
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan
perlawanan dari Gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh
sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan
kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat
Ustman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Ali mengadili
pembunuh Ustman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan
Ustman. Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali.[73]
Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka
menggantung jubah Ustman yang berlumuran darah bersama potongan jari
janda almarhum dimimbar masjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi
rombongan yang berkunjung. Dengan adanya peristiwa tersebut pihak umum
berpendapat bahwa Khalifah Ali yang bertanggung jawab atas pembunuhan
Ustman.
Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, Khalifah Ali dengan pasukan
gabungan menuju ke Syiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri
arus sungai Euprate, namun arus sungai tersebut telah dikuasai oleh
pihak Mu’awiyyah dan pihak Muawiyyah tidak mengijinkan pihak Ali memakai
air sungai tersebut. Awalnya Khalifah Ali mengirim utusan pada
Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun
Mu’awiyah menolak. Akhirnya Khalifah Ali mengirim tentaranya dibawah
pimpinan panglima Asytar al Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai
tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali, mereka ini tetap
mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.
Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis
pertahanan didataran siffin, dan Khalifah Ali masih berharap dapat
mencapai penyelesaian dengan cara damai. Beliau mengirim utusan dibawah
pimpinan panglima Basyir Ibn Amru untuk melangsungkan perundingan dengan
pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 M mereka mencapai
persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara dan
masing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.
Sebenarnya hal ini sangat merugikan Khalifah Ali karena akan
mengurangi semangat tempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar
kekuatannya. Namun sebagai Khalifah ia terikat oleh ketetapan firman
Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat Nisa’ ayat 59. Dengan mengenali
prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat di fahami mengapa Khalifah
Ali menempuh jalan damai dahulu. Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah
menolak untuk mengangkat bai’at Ali dan sebaliknya menuntut Ali
mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka bulan saffar 37H/685 M
terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95 000 orang dari pihak Ali dan
85 000 orang dari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar Ibn Yasir
(orang pertama yang masuk Islam di kota Makkah) tewas. Tewasnya tokoh
yang sangat dikultuskan ini membangkitklan semangat tempur yang tak
terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korban pada pihak
Mu’awiyah dan panglima Asytar al Nahki berhasil menebas pemegang panji-
panji perang pihak Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh
pada pihak lawan maka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat
terdesak itulah pihak Mu’awiyah, Amru Ibn Ash memerintahkan mengangkat
al-mushaf pada ujung tombak dan berseru marilah kita bertahkim
kepada kitabullah. Namun pada saat itu Khalifah Ali
memerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu
muslihat musuh. Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan
berkata jikalau mereka telah meminta bertahkim kepada kitabullah apakah
pantas untuk tidak menerimanya, bahkan diantara panglima pasukannya
Mus’ar Ibn Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali , mari berserah kepada
kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap anda
seperti apa yang kami perbuat pada Usman”[74]
Akhirnya Khalifah Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi
orang-orang sendiri. Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini
35.000 orang dari pihak Ali dan 45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.
Peperangan ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase). Akan tetapi hal
itu tidak dapat menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya
umat Islam menjadi tiga golongan.[75]
Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikut Mu’awiyah
dan Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya,
diujung masa pemerintahan Ali, Umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan
politik.
7. Perang Nahrawan
Setelah terjadi tahkim sebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap
Khalifah yang menerima arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak
Ali yang selanjutnya dikenal dengan nama Khawarij. Pihak Khawarij
berkesimpulan bahwa:
- Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karena telah mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang siffin, maka mereka wajib di basmi.
- Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah ragu terhadap kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuh untuk membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.
- Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ah dan membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.
- Pemuka kelompok ini adalah Abdullah Ibn Wahhab al Rasibi. Sebenarnya Khalifah Ali tidak ingin memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalam bersikap diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah Ibn Habbab dengan sadis sekali hanya karena menolak untuk menyatakan ke empat Khalifah sepeningggal nabi adalah kufur, selain itu mereka juga membunuh utusan yang diutus oleh Khalifah Ali.
- Khalifah Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatu tempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah).
Sebelum perang diumumkan, Khalifah Ali masih punya harapan untuk
menyadarkan kaum Khawarij. Dan dia memberikan amnesti bersyarat
yang berbunyi: barang siapa pulang kembakli ke Kufah, akan memperoleh
jaminan keamanan. Sejarah mencatat setelah itu 500 orang diantara
mereka ber-iktijal sebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagi pindah ke
pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang.[76]
Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak
Ali karena keberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal,
walaupun demikian kemenangan berada dipihak Ali dan tokoh/pemuka
Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah Ibn Wahab tewas dalam peperangan
ini.
Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi
Thalib) yang bermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga
memberikan kesempatan pada pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan
memperluas kekuasannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya sangat
fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah, sementara
kekuatan Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah
mengambil posisi Mesir berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan
suplai ekonomi dari pihak Ali.
8. Pengangkatan Hasan Ibn Ali dan ‘Am al-jama’ah
Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib tidak pernah mengalami keadaan
stabil. Tak ubahnya beliau sebagai seorang yang menambal kain
usang, jangankan menjadi baik justru sebaliknya bertambah sobek dan
rusak.
Pada saat Ali bin Abi Thalib bersiap-siap hendak mengirim bala
tentaranya sekali lagi untuk memerangi Mu’awiyah, muncullah suatu
komplotan untuk mengakhiri hidup Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan dan ‘Amr bin al ‘Ash yang dianggapnya penipu pada peristiwa
takhkim (arbitrase).
Mereka adalah dari golongan Khawarij yang mengutus Abdur Rahman bin
Muljam ke Kufah untuk membunuh Khalifah Ali, Barak bin Abdillah untuk
membunuh Mu’awiyah di Syam dan ‘Amr bin Bakr al Tamimi untuk membunuh
‘Amr bin al ‘Ash di Mesir.[77]
Akan tetapi ketiga pembunuh itu hanyalah Ibnu Muljam yang berhasil
menjalankan misinya yaitu membunuh Khalifah Ali pada tanggal 20 Ramadlan
40 H(660 M). Kemudian Ibnu Muljam berhasil ditangkap dan akhirnya
dibunuh juga.
Dengan berpulangnya Ali bin Abi Thalib ke rahmatullah
kedudukannya sebagai Khalifah digantikan dan dijabat oleh anaknya yaitu
Hasan Ibnu Ali bin Abi Thalib selama beberapa bulan. Namun karena
Hasan ternyata lemah sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah
kuat, maka Hasan bin Ali membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik
dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 41 H
(661 M) merupakan tahun persatuan, yang dikenal dalam sejarah sebagai
tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah).
Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa khulafa’ al
rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umaiyyah dalam sejarah politik
Islam.[78]
Hasan Ibn Ali adalah putra sulung Ali bin Abi Thalib ra. Ia diangkat
beramai-ramai sebagai Khalifah oleh orang-orang Kufah setelah ayahnya
wafat. Orang-orang yang setia pada Ali turut berpartisipasi dalam
pemilihan Hasan dan juga menerimanya sebagai Khalifah yang baru. Tidak
ada bukti yang menyatakan pertentangan terhadap penobatan Hasan.
Sedangkan pemilihan Hasan sebagai Khalifah dilakukan secara spontan oleh
sebagian besar rakyat Irak. Adapun alasan penunjukan Hasan sebagai
Khalifah adalah:
- Pada saat itu hampir semua sahabat istimewa Rasulullah dikalangan kaum muhajirin telah meninggal, demikian juga anggota elit terkemuka dalam masyarakat Islam telah wafat.
- Rakyat Makkah dan Madinah tidak akan menerima Mu’awiyah menjadi pemimpin mereka. Karena bapaknya, Abu sofyan dianggap telah menentang Rasulullah semasa hidupnya.[79]
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Hasan memperoleh dukungan yang
besar dari rakyatnya, karena pada waktu itu yang menjadi rival dari
Hasan adalah Mu’awiyah putra Abu sufyan dan Hindun yang mempunyai
reputasi buruk dimata rakyat Irak. Selanjutnya antara keduanya terjadi
ketegangan yang mereka lakukan dengan cara korespondensi. Salah satu
surat Hasan yang penting yang di tujukan kepada Mu’awiyah mengatakan
bahwa: “dirinya lebih berhak atas Khalifah ketimbang Mu’awiyah dimata
Allah dan semua insan yang mengetahui”. Dan jawaban Mu’awiyyah intinya
adalah: Mu’awiyah tidak mengingkari kedudukan tinggi Hasan dalam
hubungannya dengan Rasulullah dan kedudukannnya dalam Islam. Tetapi ia
mengklaim bahwa Hasan bukan kriteria pemimpin masyarakat. Bahwa
persoalan kepemimpinan adalah kepentingan negara dan masyarakat,
sehingga perlu pemisahan yang jelas antara prinsip politik dan religius.
Itulah jawaban dari Mu’awiyah yang mengandung gagasan pembentukan
pemisahan antara kepemimpinan negara dan agama.
Pimpinan negara hanya mengurusi pemerintahan sedangkan pimpinan agama
khusus mengurusi masalah-masalah agama. Sehingga pada waktunya,
masyarakat Muslim menempatkan kepemimpinan religius dan totalitas
masyarakat (jama’ah) sebagai penjaga agama dan eksponen al-quran dan
hadist, yang masih dalam otoritas negara sebagai pengikat.[80]
Adapun mengenai proses pengunduran diri Hasan sebagai Khalifah dan
menyerahkannya pada Mu’awiyah terdapat versi yang berbeda. Pengunduran
diri Hasan menurut Thabari dalam Jafri. (1995:211-212) menyebutkan:
- Bahwa Khalifah akan dikembalikan kepada Hasan setelah Muawiyah mati.
- Bahwa Hasan akan menerima lima juta dirham tiap tahun dari kantong negara.
- Bahwa Hasan akan menerima pendapatan tahunan dari Darabjirk.
- Bahwa rakyat akan dijamin untuk saling damai.[81]
Kemudian Muawiyah menyetujui syarat-syarat Hasan tersebut dan meminta
Hasan menuliskannya sendiri pada blanko kosong. Lalu Hasan menjawab:
mengenai uang, Mu’awiyah tak dapat hanya menyerahkan persoalan padaku,
karena masalah itun merupakan masalah Muslim (masyarakat). Sedangkan
masalah Khalifah dia tak tertarik lagi. Berikut ini syarat damai Hasan
bin Ali kepada Muawiyah:
- Bahwa Mu’awiyah harus memerintah menurut kitab Allah, sunnah rasulullah dan perangai khulafaur rasyidin.
- Bahwa Muawiyah untuk selanjutnya akan menyerahkan jabatan Khalifah kepada syura kaum muslimin.
- Bahwa rakyat akan dibiarkan damai di bumi Allah.
- Bahwa para sahabat dan pengikut Ali akan di jamin aman dan damai. Ini adalah persetujuan dan perjanjian sesuai yang di buat dengan nama Allah.
- Bahwa tidak ada gangguan secara rahasia atau terbuka akan ditimpakan kepada Hasan bin Ali atau saudaranya Husain ataupun terhadap seorang dari keluarga rasulullah.
Demikian perjanjian penyerahan kekhalifahan dibuat. Namun
pengunduran diri Hasan tidak disenangi para pendukungnya yang telah
mendukung dirinya dan ayahnya sebelumnya, terlebih lagi karena kebencian
mereka atas dominasi Syiria. Adapun sebab umum pengunduran diri Hasan
didorong karena sifat cinta damai, tidak menyetujui politik dan
perselisihan dan hasrat menghindari tumpah darah lebih banyak.
9. Catatan Simpul
Pembaiatan Ali sebagai Khalifah sebenarnya merupakan simbol ketidak
mapanan konsep Khalifah sebagai instrumen legitimasi kepemimpinan
Islam. Dalam arti lembaga musyawarah untuk memilih pemimpin yang
disebut lembaga kekhalifahan belum diakui oleh para elite politik
itu sendiri. Sehingga kekhalifahan Ali dapat diguncang oleh
kelompok opposisi yang berambisi menjadi Khalifah atau Amirul Mukminin.
Ketika Ali menjadi Khalifah ada dua kelompok oposisi yang menentang
kekhalifahan Ali, yaitu kelompok oposisi yang dipimpin oleh Abdullah
Ibnu Zubair ( anak angkat Siti Aisyah ) dan kelompok oposisi yang
dipimpin oleh gubenur Syria, yaitu Muawiyah Ibnu Sufyan. Kelompok
oposisi pimpinan Abdullah Ibnu Zubair melahirkan perang yang populer
dengan sebutan perang Jamal, karena dalam perang tersebut terlibat Siti
Aisyah dengan mengendarai unta yang berdiri dipihak oposisi. Mengapa
Aisyah dalam perang tersebut berada dipihak oposisi. Hal tersebut
semata–mata karena kuatnya exploitasi Abdullah Ibnu Zubair atas
ambisinya untuk menjadi Khalifah setelah Ali terguling. Yang secara
kebetulan Aisyah pada saat itu sedang menaruh kecurigaan pada kelompok
Ali tentang siapa yang membunuh Khalifah Ustman. Kondisi yang demikian
inilah dimanfaatkan oleh Abdullah bin Zubair.
Kelompok oposisi pimpinan Mu’awiyah, gubenur Syiria melahirkan
peperangan yang terkenal dengan sebutan Perang Shiffin. Perang tersebut
diakhiri dengan genjatan senjata, mengangkat Mushaf Al–Qur’an.
Peperangan ini terjadi tidak disebabkan oleh interest politik pribadi
Mu’awiyah, tetapi juga disebabkan oleh konflik etnis yang bersifat laten
zaman sebelum Islam, yaitu antara Bani Ummayyah dan Bani Hasyim.
Sebenarnya Ali telah berusaha menghindari terjadinya peperangan. Akan
tetapi pendukung Ali sendiri tanpa instruksi beliau, memulainya
sehingga pecahlah perang yang sangat merugikan integrasi Islam itu.
Kekalahan Ali dalam diplomasi perang tersebut, menyebabkan Dunia
Islam diperintah berdasarkan sistem monarchi, yaitu suksesi kepemimpinan
yang berdasarkan turun- temurun. Disamping itu, kekalahan Ali dalam
perangan tersebut, menyebabkan lahirnya golongan Syi’ah, dengan doktrin,
bahwa hanya Ali dan keturunannyalah yang berhak menjadi Khalifah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulah, Taufik, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.Arif, Muhammad. 2011. “Pengantar Kajian Sejarah”. Bandung: Yrama Widya.
Anwar Rosihan H. 1962.”Ajaran Dan Sejarah Islam Untuk Anda”. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kuntowijoyo. 1995. “Pengantar Ilmu Sejarah”. Yogyakarta.: Bentang
Maulana Muhammad Sa’ad al Kandhalawi, 2004, Muntakhab Ahadits: Tuntunan Sifat- sifat Mulia Para Sahabat Nabi SAW, Pustaka Ramadhan: Jakarta.
Sjamsudin, Helius. 2007. “Metodologi Sejarah”. Yogyakarta: Ombak.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
https://agantuger.wordpress.com/2014/02/02/peradaban-islam-pada-masa-khulafaur-rasyidin/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar